Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu
Taubatkah Ibnu Taimiyyah
oleh mutiarazuhud
Taubatkah Ibnu Taimiyyah
Salah seorang pengunjung blog kami menyampaikan sebuah tulisan berjudul “Taubatkah Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/04/23/taubatkah-ibnu-taimiyah-kedalam-aqidah-asyariyah/
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami (W 974H) pernah ditanya tentang ungkapan yang berbunyi, “Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para ahli fikih,” apakah itu hadits atau bukan, dan apa maknanya, padahal mengetahui hadits termasuk salah satu syarat seseorang disebut sebagai ahli fikih? Mana yang lebih mulia dan utama, ahli fikih atau ahli hadits ?
Beliau menjawab: Itu bukan hadits, melainkan ucapan Ibnu ‘Uyainah (*) atau selainnya. Makna ungkapan itu adalah bahwa hadits seperti Al Quran, ada yang lafalnya umum tapi maknanya khusus dan sebaliknya, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, ada juga yang tidak diamalkan, ada yang lafalnya musykil (bermasalah), jika dipahami secara dzahir (literal) dapat menimbulkan pemahaman tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) seperti hadits yang berbunyi, “yanzilu Rabbuna… dst.” Tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fikih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Dari sini, dapat diketahui keutamaan para ahli fikih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli hadits yang tidak memiliki pemahaman. (Al Fatawa Al Haditsiyah halaman 202)
*) Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Di atas, Imam Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa hadits itu dapat menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fikih) seperti hadits yang mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya (jika dipahami selalu dengan makna dzahir) membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… dan kesesatan tersebut di alami Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat dan para pengikutnya.
Contoh kesalahpahaman Ibnu Taimiyyah diungkapkan oleh salah satu pengikut firqah Wahabi yakni Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam 100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah (kitab karya Ibnu Taimiyyah) menyampaikan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat sebagaimana yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Mereka menemukan “pertentangan” dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Mereka menemukan “pertentangan” ketika memahami “Allah turun ke langit dunia” dan di sisi lain mereka memahami bahwa Tuhan berada, bertempat, menetap tinggi di atas ‘Arsy sehingga mereka mengatakan “tidak kosong” ruang di atas ‘Arsy.
Allah Ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)
Firman Allah Ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahamannya.
Imam Malik bin Anas ra menghadapi hadits ”Allah turun di setiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi ( turunnya perintah dan rahmat Allah ) pada setiap sepertiga malam “adapun Allah Azza wa Jalla, adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yang tiada tuhan selainNya“ (lihat pada “siyaru a’lamun nubala” 8 / 105 “arrisalatul wafiyah” hal 136 karangan Abi Umar Addani dan dalam kitab al-inshaaf karangan ibnu Sayyit al-Bathliyusi hal 82)
Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
****** awal kutipan ******
Sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Ke dua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
***** akhir kutipan ******
Al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
****** awal kutipan ******
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi”.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
****** akhir kutipan *******
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
******* awal kutipan ******
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah: ”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
****** akhir kutipan ******
Jadi tidak ada satupun ulama di atas yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tuhan umat Islam, Allah Ta'ala tidak dibatasi oleh ciptaanNya, tidak di batasi oleh 'Arsy
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Begitupula kalau “Tuhan mereka berada, bertempat, menetap tinggi di atas ‘Arsy” maka bertentangan dengan sabda Rasulullah bahwa “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu”.
Berikut riwayat selengkapnya
Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, 3109)
Dalam riwayat di atas sudah jelas Rasulullah bersabda : “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu”
Begitupula Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata : “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)
Sedangkan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah merujuk dari kitab Bayan Talbisul Jahmiyyah jilid 4, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa makna : “فلَيس دونك شيء adalah “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.”
Mereka mengikuti pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa kata ‘duuna’ di sini diambil dari kata ‘ad dunuww‘ yang artinya dekat, bukan dari kata ‘ad-duun‘ yang artinya ‘rendah’ atau ‘di bawah’
Padahal “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu” atau “tidak ada sesuatu di dekat -Mu” sama saja dengan “tidak ada sesuatu di bawah-Mu” karena dalam riwayat di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya”
Sayyidina Ali ~radiyallahu ‘anhu~ berkata: “Allah ada tanpa tempat. Dia saat ini pada apa adanya Dia ada.”
Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”
Begitupula kalau mereka mengatakan awalnya “Tuhan mereka tidak berada di atas 'Arsy” kemudian berubah “berada di atas ‘Arsy” maka bertentangan pula dengan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)
Berdasarkan firman Allah Ta’ala tersebut sudah jelas bahwa Allah Ta’ala tidak berubah, sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.
Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘’Arsy
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)
Untuk membenarkan aqidah mereka bahwa Tuhan mereka berada, bertempat, menetap tinggi di atas ‘Arsy mereka menyampaikan riwayat sebagai berikut,
Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”
Ternyata riwayat ini adalah riwayat yang sama sekali tidak benar sebab ghoiru tsabit.
Jika kita lihat di dalam kitab-kitab Adh-Dhu’afa’, Abdullah bin Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah bin Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Al-Imam bin Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan gharaib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah bin Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis”. (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)
Dalam matan / redaksi di atas disebutkan “ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya” artinya ilmuNya pun meliputi langit maupun ‘Arsy
Allah Ta’ala berfirman bahwa yang meliputi ‘Arsy maupun langit dan segala sesuatu adalah ilmuNya bukan DzatNya
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)
“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)
Sedangkan namaNya, sifatNya, perbuatanNya bukanlah DzatNya. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Contoh lainnya mereka mengutip perkataan Imam Abu Hanifah sebagaimana disebutkan dalam kitab Mukhtashar al-Uluw
Imam Abu Hanifah ditanya tentang seseorang yang berkata, “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Dia kafir, karena Allah berfirman, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.’(Thaha: 5), dan ArsyNya di atas langitNya.”
Imam Abu Hanifah ditanya lagi, dia berkata, “Aku berkata, Allah bersemayam di atas Arsy, tetapi aku tidak mengetahui apakah Arsy di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Jika dia mengingkari bahwa ia di langit maka dia kafir.”
Mereka mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah menetapkan sifat istiwa` bagi Allah, bahwa Allah bersemayam dalam arti bertempat atau berada di atas ArsyNya, di atas langitNya, beliau menetapkan kekufuran orang yang mengingkari hal ini. Hal ini sesuai pula dengan hadits yang meriwayatkan jawaban seorang budak “di langit” atas pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, aina Allah (di mana Allah)
Padahal yang dimaksud dengan kutipan perkataan Imam Abu Hanifah bahwa ada dua ungkapan seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod yakni
“Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?”
“Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod dengan kedua ungkapan tersebut karena menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah.dan setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Contoh yang lain, mereka ada yang menyampaikan bahwa Imam Malik pernah berkata
“al Istiwa ma’lum wa al kaifiyyah majhulah”
“Istiwa (bersemayam) Allah seperti yang kita ketahui maknanya, mengimaninya wajib dan bagaimana Istiwa (bersemayam) Allah tidak diketahui”.
Perkataan semacam itu sama sekali bukan riwayat yang berasal dari al Imam Malik atau lainnya.
Dengan mereka menetapkan istiwa (bersemayam) Allah berdasarkan makna yang diketahui pada umumnya alias berdasarkan makna dzahir yakni berada atau bertempat atau menetap tinggi maka mereka justru menetapkan adanya kaifiyyah bagi istawa Allah walaupun mereka mengikutinya dengan perkataan “kaifiyyah-nya tidak diketahui”.
Oleh karenanya mereka seringkali mengatakan: “Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui” atau terkadang ada juga mereka yang berkata: “Allah duduk di atas Arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui”
Riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) berkata: “al-Istiwa ghair majhul wa al-kaif ghair ma’quul” artinya, Istawa sudah jelas diketahui dan adanya al-kaif (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal”
Jadi yang dimaksud “ghair majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an.
Dalam riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa ghair majhul” atau “al-Istiwa madzkur” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an
Al-Hafizh al-Baihaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: “Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata:
Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘alal ‘arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?
Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata:
“al-Istawa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istawa ghair majhul), dan pertanyaan kaif (bagaimana – sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-kaif ghair ma’qul),
beriman kepada al-Istawa adalah wajib, dan mempertanyakan kaifiyyah (bagaimana) Istawa bagi Allah tersebut adalah perbuatan bid’ah.
Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”.
Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya.
Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan kaifiyyah Istawa bagi Allah (kesalahan orang itu karena bertanya “bagaimanakah Istawa Allah”).
Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna dzahirnya. Tentu makna dzahir istawa adalah menetap, duduk, bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yang lain. Makna dzhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang kaifiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.
Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya kaifiyyah bagi (istawa) Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Al-Qaraafiyy, salah satu ulama besar dalam sejarah, dan ahli mazhab Imam Malik berkata:
“Makna ucapan Imam Malik “istawa diketahui” adalah bahwa pikiran kita menuntun kita untuk istawa ‘yang layak bagi Allah Yang Mulia dan layak dengan kebesaranNya yakni istiilaa’ (menguasai) dan bukan makna duduk atau sejenisnya yang tidak bisa kecuali untuk jisim (benda).
Adapun Imam Malik mengatakan “kaif tidak mungkin” artinya bahwa Allah sendiri tidak dikaitkan dengan apa yang digunakan oleh orang-orang Arab dengan kata “kaif” yaitu pertanyaan untuk sifat yang baharu dan untuk jisim (benda)
dan ini tidak mungkin, karena mustahil Allah dikaitkan dengan arti tersebut (Dħakħiirah, 13/243).
Jadi yang ditetapkan sebagai ahli bid’ah adalah orang yang mempertanyakan bagaimana (kaifiyyah) istawa Allah dan dikafirkan (kufur dalam i’tiqod) oleh para ulama terdahulu adalah orang yang mengingkari lafaz atau penyebutan “istawa Allah” dalam Al Qur’an bukan mengingkari memahami istawa dengan berada atau bertempat atau menetap tinggi.
Mereka yang mensifatkan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala salah satunya akibat mereka salah memahami firman Allah Ta’ala,
a-amintum man fiis samaa-i an yakhsifa bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru (QS Al Mulk [67]:16)
Mereka memahami fiis samaa adalah “berada di atas langit” sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/2665-keberadaan-allah-azza-wa-jalla.html
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan penjelasan dari ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi terhadap firman Allah Ta’ala tersebut,
**** awal kutipan *****
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri)
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan ******
Al-Kirmâni berkata, “Sabda: مَنْ فى السَّمَاء makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian (keagungan / kemuliaan) Dzat dan sifat-Nya.“ dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab / menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.”(Fathu al Bâri,28/193)
Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16
***** awal kutipan ******
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man
bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian
****** akhir kutipan ******
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,
Berikut contoh penjelasan mereka untuk pembenaran bahwa fiis samaa adalah “berada di atas langit” yang bersumber dari http://buletin.muslim.or.id/aqidah/kelirunya-keyakinan-tuhan-di-mana-mana
***** awal kutipan ******
Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’.
Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:
(1) Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit, dan
(2) Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian.
Dua makna ini tidaklah bertentangan.
Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang.
****** akhir kutipan ******
Berikut penjelasan mereka lainnya untuk pembenaran bahwa fiis samaa adalah “berada di atas langit” yang bersumber dari http://almanhaj.or.id/3343-aqidah-imam-syafii-allah-subhanahu-wa-taala-ada-di-atas.html
***** awal kutipan ******
Di antara dalil bahwa (في) bermakna “di atas” juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menceritakan perkataan Fir’aun kepada para penyihirnya,
“dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di atas pohon kurma” (QS Thaha [20]:71).
Dalam ayat ini Fir’aun mengancam para penyihir yang beriman dengan kenabian Musa. Mereka diancam akan disalib di atas pohon kurma.
Apakah mungkin orang yang berakal mengatakan makna (في) dalam ayat tersebut adalah “di dalam”?
Lalu apa gunanya ancaman Fir’aun ini kalau para penyihir disalib di dalam pohon kurma?
Bukankah Fir’aun melakukan ancaman ini supaya yang lain takut dengan kekejamannya?
Bagaimana yang lain akan takut kalau tidak bisa melihat apa yang terjadi?
****** akhir kutipan ******
Jadi mereka memahaminya “menyalib di atas pohon kurma” dalam arti tidak menempel atau “melayang di atas pohon kurma” karena mereka mengi’tiqodkan Tuhan berada atau bertempat di atas langit (di atas langit ke tujuh) bukan dalam arti Tuhan menempel di atas langit ke tujuh.
Para mufassir (ahli tafsir) menafsirkan fii judzuu’i pada (QS Thaahaa [20]:71) adalah “dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pohon kurma” atau “dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di pohon kurma”
Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk pembenaran aqidah mereka bahwa Tuhan bertempat di langit, seperti dengan menyerupakan fiis samaa (di langit) dengan fii judzuu’i (di pohon kurma) adalah sebuah kekeliruan karena konteks ayat yang berbeda. Fii judzuu’i (di pohon kurma) adalah konteks ayat yang berlaku pada makhluk.
Hal serupa dengan orang-orang yang melakukan pembenaran terhadap aqidah mereka bahwa Tuhan istawa (bersemayam) dalam arti bertempat di atas ‘Arsy berdalilkan “waistawat alal judiy” (Qs Huud [ 11] : 44) maka mereka telah menetapkan ada keserupaan Allah dengan makhluk-makhlukNya, karena konteks ayat-ayat yang mereka sebutkan adalah berlaku pada makhluk, padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian membuat keserupaan-keserupaan bagi Allah” (QS. An-Nahl [16] : 74).
Dengan demikian mereka telah jatuh dalam keyakinan tasybîh dan tamtsîl karena telah menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada hak makhluk yang berarti bertempat, atau menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada perahu Nabi Nuh di atas pegunungan al-Judiyy. Ini jelas sebagai keyakinan tasybîh yang sangat buruk.
Bahkan kata Istawâ dalam ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh mereka untuk menetapkan Allah Ta’ala istawa (bersemayam) dalam arti bertempat di atas arsy memiliki makna tidak hanya dalam pengertian bertempat saja.
Contohnya (Qs Huud [ 11] : 44) adalah untuk mengungkapkan bahwa perahu Nabi Nuh yang semula berjalan kemudian berhenti dan menetap di atas gunung al-Judiyy.
Dengan demikian ketika mereka menjadikan ayat-ayat serupa dengan (Qs Huud [ 11] : 44) sebagai dalil dalam menetapkan Allah Ta’ala istawa (bersemayam) dalam arti bertempat atau berada di atas arsy berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Allah Ta’ala semula berada di suatu arah kemudian bergerak dan pindah ke arah atas, dan lalu bertempat di atas arsy tersebut, sebagaimana seorang yang menaiki binatang tunggangan atau menaiki perahu, sebelumnya ia berada di bawah tunggangannya tersebut lalu pindah dan menetap di atasnya. (kami berlindung kepada Allah dari aqidah seperti itu)
Ada kita temukan kitab-kitab terjemahan Al Qur’an yang mengartikan kata Istawa dengan kata bersemayam, namun kata bersemayam janganlah dimaknai dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat yang menurut kamus bahasa Indonesia adalah
1. duduk; Contohnya, “Pangeran bersemayam di kursi kerajaan”
2. tinggal; berkediaman, bertempat; Contohnya, “Presiden bersemayam di Istana Negara”
Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna kiasan) atau makna yang tersirat yakni
Terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Contohnya “sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”. “Bersemayam di hati” dapat diartikan pula dengan “menguasai hati”
Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”
Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat membolehkan memaknai istiwa dengan bersemayam dalam makna majaz artinya menguasai dan terlarang dimaknai bersemayam dalam makna dzahir yakni menetap atau bertempat karena menetap atau bertempat mensifatkan Allah dengan sifat makhluk.
Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini jauh berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra (menetap atau bertempat), penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).
Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.
Sedangkan orang-orang yang menolak memahami istiwa sebagai menguasai berpendapat bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara dan Ghalaba memberikan indikasi adanya “pertentangan” antara Allah dengan arsy, dan kemudian Allah memenangkan “pertentangan” tersebut. Artinya, menurut mereka seakan pada awalnya Allah dikalahkan (Maghlûb), lalu kemudian Dia dapat mengalahkan (Ghâlib). Mereka memandang bahwa di sini ada pemahaman Sabq al-Mughâlabah, artinya seakan Allah dikalahkan terlebih dahulu.
Berikut penjelasan para ulama yang termuat pada kitab-kitab mereka
Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, hlm. 108, menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada orang yang menentang pemaknaan Istawâ dengan Istawlâ, Qahara atau Ghalaba dengan alasan karena hal itu memberikan indikasi bahwa Allah dikalahkan lalu kemudian mengalahkan, kita jawab: Pemahaman semacam itu sama sekali tidak benar. Pemahaman semacam demikian itu hanya terjadi bila arsy dianggap sesuatu yang qadim; tanpa permulaan, dan bukan makhluk. Ini jelas tidak benar, karena arsy adalah makhluk Allah. Segala sesuatu apapun (selain Allah); semuanya adalah makhluk Allah dan di bawah kekuasaan Allah. Jika arsy atau selain arsy tidak diciptakan oleh Allah maka semua itu tidak akan pernah ada. Adapun penyebutan arsy dalam ayat tersebut secara khusus adalah karena arsy itu makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Ini untuk memberikan isyarat, jika makhluk yang paling besar bentuknya dikuasai oleh Allah maka secara otomatis demikian pula dengan makhluk-makhluk yang bentuknya berada di bawah arsy”.
Imam Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H) dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah sebagaimana dikutip oleh Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, j. 2, hlm. 108, menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada yang mengatakan bahwa pemaknaan Istawâ dengan Qahara atau Ghalaba memberikan indikasi seakan Allah terlebih dahulu dikalahkan, maka kita jawab: ”Jika demikian, lantas bagaimanakah pemahaman kalian tentang firman Allah: ”Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), apakah dengan dasar ayat ini kalian juga akan mengatakan bahwa Allah terlebih dahulu dikalahkan oleh hamba-hamba-Nya?! Pemahaman kalian benar-benar keliru. Bagaimana kalian akan berani mengatakan bahwa hamba-hamba Allah mengalahkan Allah, padahal mereka semua adalah makhluk-makhluk-Nya?! Justeru sebaliknya, jika makna Istawâ ini di artikan seperti yang dipahami oleh kaum Musyabbihah yang bodoh itu bahwa Allah bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya di atas arsy maka berarti hal tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah berubah, dari sebelumnya bukan di atas arsy, kemudian menjadi di atas arsy, karena sesungguhnya arsy itu adalah ciptaan Allah”.
Dalam halaman yang sama beliau menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada yang berkata: ”Bukankah firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5) harus kita pahami sesuai makna zahirnya?”, kita jawab: ”Allah juga berfirman: ”Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. Al-Hadid: 4), kemudian dalam ayat lain: ”Alâ Innahu Bikulli Syai-in Muhîth” (QS. Fushshilat: 54), dalam pendapat kalian apakah ayat-ayat semacam ini harus juga dipahami sesuai dengan makna zahirnya?! Bila demikian, maka berarti sesuai pendapat kalian, dalam waktu yang sama Allah dengan Dzat-Nya ada di atas arsy, juga ada di sisi kita bersama kita, dan juga ada meliputi alam ini dengan Dzat-Nya. Sangat mustahil dalam satu keadaan dengan Dzat-Nya Dia berada di semua tempat tersebut”. Kemudian jika mereka berkata: “Yang dimaksud dengan firman-Nya “Wa Huwa Ma’akum” adalah dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui terhadap segala apa yang kita perbuat, dan yang dimaksud dengan firman-Nya “Bi Kulli Syai-in Muhîth” adalah dalam pengertian bahwa segala apapun yang terjadi pada alam ini diketahui oleh Allah”, maka kita katakan kepada mereka: ”Demikian pula dengan firman Allah “’Alâ al-arsy Istawâ” adalah dalam pengertian bahwa Dia menguasai, menjaga dan menetapkan arsy”.
Simak pula perkataan Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd, hlm. 59, sebagai bantahan atas kaum Musyabbihah sebagai berikut:
“Jika orang-orang Musyabbihah mengambil dalil dengan zahir firman Allah: ”ar-Rahmân ‘Alâ al-arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5) untuk menetapkan keyakinan mereka bahwa Allah berada di atas arsy, maka jalan untuk membantah mereka adalah dengan mengutip beberapa ayat yang secara pasti membutuhkan kepada takwil, seperti firman Allah: ”Wa Huwa Ma’akum Aynamâ Kuntum” (QS. Al-Hadid: 4), atau firman Allah: ”Afaman Huwa Qâ-imun ‘Alâ Kulli Nafsin Bimâ Kasabat” (QS. Ar-Ra’ad: 33), kemudian kita tanyakan makna-makna ayat tersebut kepada mereka. Jika mereka memaknai ayat semacam tersebut dalam pengertian bahwa Allah maha mengetahui segala rincian yang terjadi, maka kita katakan kepada mereka; ”Demikian pula memaknai Istawâ dalam pengertian Qahara dan Ghalaba, sama sekali tidak dilarang, dan pemaknaan seperti demikian itu biasa dipakai dalam bahasa Arab. Oleh karenanya jika dikatakan dalam bahasa Arab “Istawâ Fulân ‘Alâ al-Mamâlik”, maka artinya bahwa si fulan telah telah menguasai banyak kerajaan dan banyak menundukan manusia. Adapun penyebutan arsy dalam ayat ini secara khusus adalah karena arsy adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Dengan demikian penyebutan arsy secara khusus ini memberikan isyarah bahwa Allah juga menguasai segala apa yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy”.
Kemudian jika mereka berkata: ”Memaknai Istawâ dengan Ghalaba memberikan pemahaman seakan adanya pertentangan antara Allah dengan arsy; yang pada mulanya Allah kalah lalu kemudian menang”, kita jawab: ”Pendapat kalian ini batil. Jika Allah menundukan arsy dalam pengertian yang kalian katakan tentu Allah akan memberitakan demikian adanya. Sebaliknya, Istawâ dalam pengertian yang kalian pahami yaitu bersemayam (bertempat) dengan Dzat-Nya sangat jelas memberikan pemahaman bahwa Allah berubah dari tanpa arsy menjadi butuh kepada arsy. Dan keyakinan semacam itu adalah kekufuran”.
Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107, menuliskan sebagai berikut:
“Jika ada yang berkata: ”Penggunaan Istawlâ atau Qahara adalah hanya bagi yang sebelumnya tidak menguasai dan belum menundukan, atau hanya bagi yang memiliki penentang saja, artinya ia belum menundukan atau lemah lalu kemudian dapat menundukan dan berkuasa”, kita jawab: ”Yang dimaksud dengan Istawlâ dan Qahara di sini adalah sifat kuasa Allah yang sempurna yang sama sekali tidak terkait dengan adanya penentang.
Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawâ” bukan dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam perbuatan-Nya.
Kemudian jika ia berkata: ”Bukankah Allah menguasai seluruh makhluk-Nya, lantas untuk apa penyebutan arsy secara khusus yang dikuasai oleh Allah?”, kita jawab: Asry disebut secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya, sebagaimana telah disepakati ulama.
Ini seperti penyebutan arsy secara khusus dalam firman-Nya: ”Wa Huwa Rabb al-arsy al-‘Azhîm” (QS. At-Taubah: 129), artinya bahwa Allah adalah Tuhan arsy yang agung, padahal Allah adalah Tuhan bagi seluruh alam ini. Dengan demikian dapat dipahami jika Allah menguasai makhluk yang paling besar bentuknya, yaitu arsy, maka sudah pasti demikian adanya terhadap makhluk-makhluk yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy itu sendiri”.
Begitupula lafaz-lafaz yang jika dipahami dengan makna dzahir adalah “naik” , “di langit”, “di atas” yang disandarkan kepada Allah Ta’ala bukanlah untuk mengungkapkan arah, berpindah atau tempat namun dipahami dengan makna majaz (kiasan / metaforis) terkait dengan ketinggian dalam arti kemuliaan dan keagungan Allah Ta’ala.
Contoh yang sering disalahpahami oleh mereka
وهو فوق العرش وفوق كل شيء
diterjemahkan dan dipahami mereka dengan, “sedangkan Ia (berada) di atas ‘Arsy. Dan Allah (berada) di atas segala sesuatu”
Sisipan kata “berada” bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman mereka sendiri
“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu”
Ibn al Jawzi menjelaskan
***** awal kutipan ****
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.
Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
***** akhir kutipan ****
Jadi fawq dipahami dengan makna majaz (kiasan atau metaforis) untuk mengungkapkan derajat atau keagungan dan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dipahami dalam makna dzahir sehingga mensifatkan Tuhan dengan sifat jawhar atau benda seperti sifat tempat karena terlarang mensifatkan Tuhan dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.
Ada pula dari mereka yang mengatakan bahwa Nabi Musa alahissalam yang memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit sehingga Fir’aun minta dibuatkan bangunan yang tinggi untuk melihat tuhannya nabi Musa
Fir’aun sendiri yang berkeyakinan Tuhannya Nabi Musa berada atau bertempat di langit bukan karena mendengar dari Nabi Musa alaihissalam
Nabi Musa alaihissalam tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam” (QS Al A’raf [7]:104)
Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”(QS Asy Syu’ara [26]:23)
Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian(orang-orang) mempercayai-Nya” (QS Asy Syu’ara [26]:24)
Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu” (QS Asy Syu’ara [26]:26)
Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”. (QS Asy Syu’ara [26]:28).
Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?. (QS Thaahaa [20]:49)
Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk (QS Thaahaa [20]:50)
Jadi justru aqidah Fir’aun yang mengatakan bahwa setiap yang ada harus bertempat.
Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikirannya Tuhan Nabi Musa as juga seperti diri nya, harus punya tempat yang jelas.
Akan tetapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari mereka yang menisbatkan sebagai SALAFI, mereka yang merasa (mengaku-ngaku) mengikuti pemahaman para Sahabat, merasa (mengaku-ngaku) penegak tauhid dan tentu percaya bahwa Tuhan berbeda dengan makhluk yang membutuhkan tempat (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun).
Dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa as bahwa Nabi Musa as adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”.
Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi, bila di bumi tentu Nabi Musa as telah menunjukkannya, bila di langit bagaimana Nabi Musa as bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalahnya,
Fir’aun yang telah termakan dengan asumsinya yang salah dan tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat.
Fir’aun telah membuktikan kepada kaum nya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantu nya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa as
Imam Ar-Razi berkata,
***** awal kutipan ******
”sesungguhnya mereka (musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh,yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka, sementara Nabi Musa as dalam memperkenalkan Tuhan,tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thoha :50 “Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’araayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya”.
Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa as,
Siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia diatas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia diatas agama Nabi Musa as,
kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah Ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa as, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah, maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as [Lihat Tafsir Ar-Razi,surat Ghafir : ayat 36-37 ]
***** akhir kutipan ****
Abu Mansur Al-Maturidi berkata : “Kaum Musyabbihah [menyerupakan Allah dengan makhluk] berpegang dengan dzahirnya ayat ini, mereka beralasan : Seandainya bukan karena Musa as telah menyebut dan memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan di atas langit, sungguh Fir’aun tidak menyuruh Haman membangun bangunan agar ia dapat naik ke langit dan melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana Firman Allah menceritakan pernyataan Fir’aun Tetapi kita menjawab : Tidak ada dalil bagi mereka, karena kemungkinan pernyataan Fir’aun tersebut sebagian dari kebohongan Fir’aun kepada kaum nya tentang Musa as”. [Lihat Tafsir Ta’wilat Ahlus Sunnah surat Ghafir ayat 37].
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Ada pula yang melakukan pembenaran keyakinan mereka bahwa Tuhan bertempat di langit dengan berdalilkan penduduk surga kelak akan melihat Allah dengan mata kepala sebagaimana riwayat berikut,
Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu’awiyah berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Qais dari Jarir bin ‘Abdullah berkata, Pada suatu malam kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya (HR Bukhari 521)
Dari Jarir bin Abdullah dia berkata; Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari ke empat belas, beliau melihat bulan, kemudian bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan kesulitan ketika melihatnya. (HR Bukhari 4473).
Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya (tidak ada kesulitan), bukan Allah diserupakan dengan bulan (mempunyai bentuk dan ukuran) (Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137)
Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata:
“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 )
Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah Nisafur pada masanya berkata:
“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata dalam menerangkan hadits tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ Tudlammûn”, al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di surga akan melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu tidak saling berdesakan satu sama lainnya. Orang-orang mukmin tersebut berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar surga. Karena Allah bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah”. (Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dan kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)
Berdasarkan penjelasan para ulama di atas dapat kita pahami bahwa Allah Ta’ala tidak dikatakan di dalam atau di luar Surga atau di Sidratul Muntaha seperti pada peristiwa Mi’raj Rasulullah atau di dekat bukit Thursina pada persitiwa Nabi Musa as ataupun di atas ‘Arsy karena Allah Ta’ala bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Salah satu satu pokok permasalahan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat dalam perkara aqidah , salah satunya mereka berpegang pada hadits ahad (satu jalur perawi) yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”
Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan dari hadits tersebut adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar