Powered By Blogger

Rabu, 26 Juli 2017

DALIL-DALIL UNTUK SILATURAHMI DI HARI RAYA KEKERABAT DAN TEMAN


Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Aswaja Muda Bawean

Dalil-Dalil Untuk Silaturahmi di Hari Raya ke Kerabat dan Teman
oleh Muhammad Syamsudin
Hari Raya atau Lebaran merupakan momentum istimewa yang menjadi ajang memperat hubungan keluarga, kerabat dan teman. Di hari raya 'Idul Fitri atau pun Idul Adlha, masyarakat berbodong-bondong mudik untuk bisa berjumpa dengan orang-orang yang mereka cintai.

Di hari raya, banyak aktifitas yang dilakukan mulai dari ziarah kubur, berkunjung / silaturahmi, dan lainnya. Dalam silaturahmi, ada aktifitas yang sudah menjadi tradisi serta bagian daripada adab kesopanan (tatakrama) di masyarakat, misalnya berjabat tangan, cium tangan dan lain sebagainya.

Aktifitas-aktifitas diatas kadang ditolak oleh beberapa pihak, bahkan mungkin termasuk pihak keluarga, kerabat atau teman yang dikunjungi karena ketidak tahuan mereka atau karena terpengaruh paham diluar mayoritas umat Islam, lalu mereka dengan mudah mengatakan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, tidak ada dalilnya, perbuatan syirik, bid'ah sesat dan sebagainya.

Oleh karena itu, penting kiranya bagi kaum muslimin untuk mengetahui dalil-dalil yang berkaitan dengan aktifitas mereka sehari-hari, khususnya ketika bersilaturahmi di momentum lebaran. 
1. Silaturahmi
Silaturahmi atau menyambung tali kasih sayang bisa dilakukan kapan saja, apalagi dimomen yang di istimewa seperti lebaran, dimana kesempatan untuk silaturahim lebih luas, karena kemungkinan besar keluarga, kerabat, handai taulan dan teman masih bisa berkumpul bersama. 

Rasulullah Saw pernah bersabda:

تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Sembahlah Allah, janganlah persekutukan dengan sesuatu pun, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan sambilkan tali kasih sayang (silaturahmi". (HR. Al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saaw bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung tali kasih sayang (silaturahmi).” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

2. Ziarah Kubur di Hari Raya 
Pada prinsipnya, ziarah ke makam orang tua, keluarga, guru dan para ulama itu dapat dilaksanakan kapan saja. Karena sifatnya mutlak, boleh dilakukan kapan saja maka termasuk di Lebaran atau bulan Ramadlan sekali pun, diperbolehkan, tidak dilarang. 

Bila ada orang yang melarang, berarti orang tersebut hendak membatasi kemultakan perintah ziarah kubur. Oleh karena itu ia perlu dihadirkan dalilnya. Jadi, bukan peziarah kubur di hari raya yang harus menghadirkan dalil, tetapi orang yang melarang, karena orang tersebut telah melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh agama. 

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : - قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ( زُوْرُوا الْقُبُوْرَ . فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ اْلآَخِرَةَ ) . رواه ابن ماجه
Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berziarahlah kalian ke kuburan, karena sesungguhnya hal itu dapat mengingatkan kalian pada kehidupan akhirat.” (HR. Ibnu Majah).

4. Berjabat Tangan
Saat bertemu dengan orang yang kita kunjungi, disunnahkan untuk berjabat tangan. Berjabat tangan hukumnya sunnah ketika bertemu. Dari al-Bara’ bin ‘Azib ra, Rasulullah Saw pernah bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah 2 orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) keduanya, sebelum mereka berpisah" (HR. Abu Daud, At-Turmidzi dan Ibnu Majjah)

5. Tersenyum
Saat bertemu dengan keluarga, kerabat atau teman tentu harus dengan wajah yang berseri-seri, dengan senyuman bahagia. Menampakkan wajah berseri dengan senyuman seperti ini merupakan sunnah sebagaimana hadits berikut: dari Abu Dzar ra, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu dihadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu" (HR. At-Turmidzi dan Ibnu Hibban)

6. Cium Tangan

Salah satu aktifitas tatakrama dimasyarakat yang sering dilakukan adalah cium tangan, seperti seorang anak mencium tangan kedua orang tuanya, kakak, paman bibinya, kakeknya, guru atau ustadznya, kiainya, dan sebagainya. Kebiasaan ini adalah kebiasaan baik yang sebenarnya sudah banyak dipraktekkan oleh para ulama, bahkan sahabat Nabi Saw. Tidak ada kaitannya dengan kesyirikan.

Hanya saja, sebagian orang yang berlebih-lebihan menganggap cium tangan sebagai bentuk syirik. Hal itu karena kurangnya pemahaman mereka terhadap agama. 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَبَّلَ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail dari Yazid dari Abdurrahman bin Abu Lailai dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mencium tangan Nabi Saw" (HR. Ahmad)

حدثنا أحمد بن يونس حدثنا زهير حدثنا يزيد بن أبى زياد أن عبد الرحمن بن أبى ليلى حدثه أن عبد الله بن عمر حدثه وذكر قصة قال فدنونا - يعنى - من النبى -صلى الله عليه وسلم- فقبلنا يده.

"Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus berkata, telah menceritakan kepada kami Zuhair berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abu Ziyad bahwa 'Abdurrahman bin Abu Laila menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar menceritakan kepadanya, lalu ia menyebutkan kisahnya. Ia berkata, "Kami mendekat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu kami mencium tangannya". (HR. Abu Daud)

Riwayat lain, bahkan dishahihkan oleh ulama Wahhabi al-Albani, berikut ini:

حدثنا بن أبي مريم قال حدثنا عطاف بن خالد قال حدثني عبد الرحمن بن رزين قال مررنا بالربذة فقيل لنا ها هنا سلمة بن الأكوع فأتيته فسلمنا عليه فأخرج يديه فقال بايعت بهاتين نبي الله صصص فأخرج كفا له ضخمة كأنها كف بعير فقمنا إليها فقبلناها….. حسنه الالباني

“Abdurrahman bin Razin bercerita: Kami berjalan jalan di daerah Ribdzah kemudian ada yang mengatakan kepada kami: Disini Salmah bin Al Akwa’ tinggal (sahabat nabi)pent. Kemudian saya mendatangi beliau. Saya mengucapkan salam kepadanya. Dia mengeluarkan tangannya seraya berkata:”Saya pernah berbai’at kepada Nabi dengan kedua tangan saya ini. Lantas dia mengulurkan telapak tangannya yang besar seakan akan seperti telapaknya unta, maka kami langsung berdiri meraih telapak tangan beliau kamudian kami menciumnya."

Pendapat ulama tentang cium tangan ini dijelaskan didalam kitab Asnal Mathaalib (III/114) sebagai berikut:

وَيُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الْحَيِّ لِصَلَاحٍ وَنَحْوِهِ من الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ كَزُهْدٍ وَعِلْمٍ وَ شَرَفٍ كما كانت الصَّحَابَةُ تَفْعَلُهُ مع النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم كما رَوَاهُ أبو دَاوُد وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ
"Dan disunahkan mencium tangan orang yang masih hidup karena kebaikannya dan sejenisnya yang tergolong kebaikan-kebaikan yang bersifat ‘diniyyah' (agama), kealimannya, kemuliaannya sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada baginda nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Abu Daud dan lainnya dengan sanad hadits yang shahih.

وَيُكْرَهُ ذلك لِغِنَاهُ وَنَحْوِهِ من الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ كَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا لِخَبَرِ من تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ لِغِنَاهُ ذَهَبَ ثُلُثَا دِينِهِ
Dan dimakruhkan mencium tangan seseorang karena kekayaannya atau lainnya yang bersifat duniawi seperti lantaran butuh dan hajatnya pada orang yang memiliki harta dunia berdasarkan hadits “Barangsiapa merendahkan hati pada orang kaya karena kekayaannya hilanglah 2/3 agamanya”.

Terkadang, ada orang yang mencium tangannya sendiri usai berjabat tangan atau mencium tangan orang lain. Kebiasaan ini menurut ulama juga dinilai sebagai sunnah. Ibn Hajar menilainya sunnah sebagaimana dijelaskan didalam kitab Bughyah al-Mustarsyidiin I/103:

ويسنّ تقبيل يد نفسه بعد المصافحة قاله ابن حجر
“Dan disunahkan mencium tangan sendiri setelah berjabat tangan, hal ini dinyatakan oleh Ibn Hajar".

7. Membaca Shalawat Saat Salaman/ Jabat Tangan
Terkadang pula, ada orang yang salaman atau berjabat tangan sambil membaca shalawat.  Rasulullah Saw bersabda :

عن انس عن النبي صلى الله عليه وسلم, قال: مامن عبدين متحابين فى الله يستقبل أحدهما صاحبه فيتصافحان ويصليان على النبي صلى ألله عليه وسلم الا لم يتفرقا حتى تغفر ذنوبهماماتقدم منهاوما تأخّر. أخرجه أبويعلى والبيهقى فى شعب الايمان
"Tidaklah dua orang hamba yang saling mencintai di jalan Allah saling berhadapan lalu berjabatan tangan dan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, kecuali pasti mereka tidak berpisah sebelum diampuni dosanya baik yang terdahulu maupun yang kemudian” (HR Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman.)

Didalam hadits diatas, berjabat tangan sambil membaca shalawat jutru ada faidahnya yaitu dosa-dosa mereka diampuni Allah SWT.

Dan masih banyak aktifitas-aktifitas lain yang perlu diperkuat oleh umat Islam agar setidaknya bisa menunjukkan argumentasinya kepada orang-orang yang mudah menyalahkan kebiasaan baik di masyarakat. 

Muhammad Syamsudin | 21 Jun 2017 pukul 5:45 pm | Kategori: KISWAH | URL: http://wp.me/p7197d-qS
Komentar    Lihat semua komentar    Suka
Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Aswaja Muda Bawean.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda:
https://aswajamudabawean.wordpress.com/2017/06/21/dalil-dalil-untuk-silaturahmi-di-hari-raya-ke-kerabat-dan-teman/
Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com

ADAB ORANG BERILMU KETIKA DITANYA TENTANG SUATU MASALAH


Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Aswaja Muda Bawean

​Adab Orang Berilmu ketika ditanya tentang Suatu Masalah
oleh Muhammad Syamsudin
Seiring semakin berkembangnya keinginan ummat Islam untuk mengkaji dan mendalami kembali ajaran agama Islam, semakin banyak pula dibuka majelis-majelis ‘ilmu yang disana dibacakan Al Qur’an, Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, perkataan para shahabat Rodhiyallahu ‘anhum, pendapat para imam dan ulama’ Rohimahumullah. Demikian juga diantara bukti betapa hal ini berkembang pesar –hanya milik Allah segala pujian- adalah banyaknya kaum muslimin bertanya kepada orang yang mereka akui keilmuannya baik secara langsung di majelis ataupun melalui tulisan ataupun via telepon. Mudah-mudahan ini pertanda bahwa kita benar-benar merealisasikan firman Allah Subhana wa Ta’ala,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An Nahl [16] : 43 dan Al Anbiya’ [21] : 7).

Namun dari sekian banyak adab dalam bertanya maka ada  hal mutlak yang ingin disampaikan dalam forum ini sebagai perhatian bagi kita ketika ditanya lalu berkeinginan menjawab sebuah pertanyaan dalam urusan agama.

لقد جاء في بحر المحيط في أصول الفقه للزركشي رحمه الله تعالى:

مسألة:  

نص  الإمام الشافعي رضي الله عنه على أن العالم لا يقول في مسألة : " لا أعلم " حتى يجهد نفسه في النظر فيها ثم يقف . كما أنه لا يقول : " أعلم " ويذكر ما علمه حتى يجهد نفسه ويعلم , نقله بعض المتأخرين . و وجهه أن العالم ليس كالعامي ، فقوله : لا أعلم يهون أمر المسألة ويطمع السائل في الإقدام* مع أنها قد تكون منصوصة الحكم . وأيضا فالعالم مأمور بالنظر ليتعلم ويعلم ، *فليس قوله " لا أعلم " من الدين في شيء حتى يقف عند مقتضيات العلم بعد سبرها* . ولا شك أن هذا محمول على من يطلق " لا أعلم " إطلاقا . أما من يقيد كلامه بما يعرف فيه المعنى فلا يمنع.

Imam Syafi'iy radliyallahu 'anhu pernah mengatakan, bahwasanya orang berilmu itu pantang mengatakan "aku tidak tahu" terhadap suatu masalah (pertanyaan) yang disodorkan sampai mereka berijtihad sendiri dengan sekuat tenaga untuk pertanyaan tersebut sehingga mentog (tahu posisi hukum/ muqtadlo al hukm).

Adab ini ia terapkan sebagaimana ia tidak mau buru-buru menyatakan "saya tahu" sampai ia mengingat kembali apa yang pernah dipelajarinya dan bersungguh2 sampai kemudian ia mengetahui dengan pasti muqtadlo al hukmy-nya. Demikian, sebagaimana dinukil para ulama mutaakhirin.

Adalah faedah dari hal di atas adalah bahwasanya orang berilmu/ berpengetahuan itu tidak selayaknya seperti otang buta. Jawaban yang ia berikan terhadap suatu mas-alah sebagai "aku tidak tahu" adalah sama saja dengan meremehkan mas-alah tersebut yang mana si sail telah selangkah berusaha mencari jawabnya dengan bertanya, yang barangkali mas-alah tersebut telah diputuskan dalam teks hukum. 
Adalah orang 'alim merupakan sosok pribadi yang diperintahkan untuk belajar yang selanjutnya harus mengajarkannya. Dengan demikian, tiada istilah kata "saya tidak tahu" dalam urusan agama sampai ia benar2 berdiri pada suatu ketetapan ilmu yang dikuasainya. Tak diragukan lagi, hal ini berlaku mutlak untuk semua orang yang biasa mengatakan "saya tidak tahu". Namun, sedikit ada pengecualian, bagi  orang yang memang benar-benar terbatas pengetahuannya dalam menangkap pesan makna, barulah tidak dilarang untuk mengatakan "saya tidak tahu".
Referensi:

Bahrul Muhith fi Ushul al fiqih, li al Zarkasy

Muhammad Syamsudin | 21 Jun 2017 pukul 8:18 pm | Kategori: KISWAH | URL: http://wp.me/p7197d-qU
Komentar    Lihat semua komentar    Suka
Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Aswaja Muda Bawean.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda:
https://aswajamudabawean.wordpress.com/2017/06/21/%e2%80%8badab-orang-berilmu-ketika-ditanya-tentang-suatu-masalah/
Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com

SEKILAS MENGENAL WIHDATUL WUJUD


Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Aswaja Muda Bawean

Sekilas Mengenal Wihdatul Wujud
oleh Muhammad Syamsudin
Pengertian Wahdatul Wujud

Wahdatul Wujud adalah wujudnya Zat Allah SWT yang tidak ada penyebab dengan zat yang lain. Sesungguhnya Allah SWT adalah qadim tidak ada makhluk yang mendahuluiNya. Sebagaimana berdasarkan hadis riwayat imam bukhari. “Allah SWT telah ada (dengan keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selainNya.” (HR. Imam Bukhari). Sedangkan wujud makhluk pada mulanya tidak wujud (adam), artinya pada dasarnya makhluk tidak ada. wujud makhluk adalah ciptaan Allah SWT. Maka seluruh makhluk hakikatnya wujud dengan sebab wujudnya Allah dengan sebab ciptaan Allah. karena tanpa ciptaan Allah niscaya tiada satu mahluk pun yang wujud.[1]

Dengan demikian maka sesuatu yang telah wujud selain Allah adalah hakikatnya tiada, sebagaimana tersebut dikitab Syarh As-Shawi. Syekh Abdul Qadir Isa dikitabnya “Hakikat Tasawuf” membagikan wujud kepada dua:

Wujud qadim yakni tidak ada permulaan pada azali, itulah wujud Allah SWT, sebagaimana dalam surat Al-haj, ayat 62. (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq. Artinya Wujud Allah sebut dan pasti.
Wujud yang jaiz, sesuatu yang mumkin wujud adalah wujud selain Allah SWT dari sesuatu yang hawadis/baharu. [2]

Redaksinya sebagai berikut:

ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﻴﻮﺳﻔﻴﺔ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﻳﻮﺳﻒ ﺧﻄﺎﺭ hal, 435.
وحدة الوجود :إن وجود الله عز وجل ذاتي أي لا تأثير لغيره به إذ أن الله تعالى هو الأول فليس قبله شيء وقد رود في الحديث: «كان الله ولم يكن شيء غيره» أخرجه البخاري (2/3019).
أما وجود الموجودات فهو حاصل من إيجاد الله عز وجل لها ومستمر بإمداد الله تعالى لها بالوجود ولو انقطع الإمداد لعادت عدما. وعليه فمن نظر الى الموجد الممد سبحانه وتعالى رآه هو الموجود حقيقة ومن لاحظ الإمداد رأى الأياء عدما لولاه سبحانه فوجودها ليس ذاتيا كوجوه الله عز وجل ولذلك قالوا: الوجود الحقيقي واحد وهو الله سبحانه وتعالى ووجود غيره لا يشابه وجوده. وعن سيدنا أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله{ صلى الله عليه وآله وسلم }قال: «أصدق كلمة قالها شاعر كلمة لبيد: ألا كل شيء ما خلا الله باطل»([2]). ([2]) أخرجه البخاري (2/3628)
وقال أحدهم: فالكل دون الله إن حققته عدم على التفصيل والإجمال([3]) ([3]) شرح الصاوي ص (77).
أي عدم حقيقة أصله موجود بمدد الله تعالى له وهذه هي واحدة الوجود. وقال الشيخ عبدالقادر عيسى رحمه الله تعالى في كتابه (حقائق عن التصوف) : إن الوجود نوعان: وجود قديم أزلي وهو واجب وهو الحق سبحانه وتعالى "ذلك بأن الله هو الحق"([4]) أي الثابت الوجود المحقق ووجود جائز عرضي ممكن وهو وجود من عداه من المحدثات

Pembagian Wahdatul wujud
Sesungguhnya pendapat yang mengatakan Wahdatul Wujud dan wujud adalah satu yaitu adalah wujud Allah SWT. Hal ini berkemungkinan kepada dua makna, salah satunya benar dan yang kedua adalah kufur. Maka para ulama berpendapat tentang wahdatul Wujud kepada dua pembagian yaitu: [3]

Wahdatul wujud yang mengatakan Allah SWT bersatu dengan makhluk dan tidak tidak ada sesuatu pada wujud ini selain Allah, dan tiap-tiap sesuatu adalah Allah dan Allah adalah (kul) tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah adalah ini wujud. maka pendapat ini atau pembagian ini adalah kufur, zindiq lebih sesat dari pada Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala. Dan para ulama sufi sangat mengingkar pendapat ini, mereka berfatwa bahwa dengan kufur. Berhati-hatilah dengan majlis ini. [4]
Wahdatul Wujud adalah wujudnya yang qadim pada azali yaitu Wujud Allah SWT, tidak ada keraguan sesungguhnya Allah adalah Satu/Esa yang tidak berbilang-bilang.[5]

وإن القول بوحدة الوجود وأن الوجود واحد هو الحق تعالى يحتمل معنيين :أحدهما حق والثاني كفر ولهذا فالقائلون بوحدة الوجود فريقان: الفريق الأول أرادوا به اتحاد الحق ﺑﺎﻟﺨﻠﻖ وأنه لا شيء في هذاالوجود سوى الحق وان الكل هو وأنه هو الكل وأنه عين الشياء وفي كل شيء له آية تدل على أنه عينه فقوله هذا كفر وزندقة وأشد ضلالة من اباطيل اليهود والنصارى وعبدة الأوثان وقد شدد الصوفية النكير على قائله وأفتوا بكفره وحذروا الناس من مجالسته. قال العارف بالله أبو بكر محمد بناني رحمه الله تعالى : فاحذر يا أخي كل الحذر من الجلوس مع من يقول: ما ثم غلا الله ويسترسل على الهوى فإن ذذلك هو الزندقة المحضة إذ العارف المحقق إذا صحح قدمه في الشريعة ورسخ في الحقيقة وتفوه بقوله: ما ثم إلا الله لم يكن صده من هذه العبارة إسقاط الشرائع وإهمال التكاليف حاشا لله ان يكون هذا قصده([5]). ([5]) مدارج السلوك إلى ملك الملوك للعارف الكبير محمد بناني المتوفى سنة (1284هـ).

Artinya: Sesungguhnya pendapat yang mengatakan Wahdatul Wujud dan wujud adalah satu yaitu adalah wujud Allah SWT. Hal ini berkemungkinan kepada dua makna, salah satunya benar dan yang kedua adalah kufur. Maka para ulama berpendapat tentang wahdatul Wujud kepada dua pembagian, yang pertama bersatu Allah dengan makhluk dan tidak tidak ada sesuatu pada wujud ini selain Allah, dan tiap-tiap sesuatu adalah Allah dan Allah adalah (kul) tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah adalah ini wujud. maka pendapat ini atau pembagian ini adalah kufur, zindiq lebih sesat dari pada Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala. Dan para ulama sufi sangat mengingkar pendapat ini, mereka berfatwa bahwa dengan kufur. Berhati-hatilah dengan majlis ini. 

الفريق الثاني: قالوا ببطلان وكفر ما ذكر من أن الخالق عين المخلوق وإنما ارادوا بوحودة الوجود القديم الأزلي وهو الحق سبحانه فهو لا شك واحد منزه عن التعدد ولم يقصدوا بكلامهم الوجود العرضي المتعدد وهو الكون الحادث نظرا لأن وجوده مجازي وفي اصله عدمي لا يضر ولاينفع فالكون معدوم في نفسه هالك فإن في لك لحظة قال تعالى "كل شيء هالك إلا وجهه"([6]). ([6]) سورة القصص الآية (88
وإنما يظهره الإيجاد ويثبته الإمداد والكائنات ثابتة بإثابته وممحوة بأحديه ذاته وإنما يمسكه سر القيومية فيه وهؤلاء قسمان : قسم اخذ هذا الفهم بالاعتقاد والبرهان ثم الذوق والعيان وغلب عليه الشهود فاستغرق في لجج بحار التوحيد ففني عن نفسه فلا عن شهود غيره مع استقامته على شرع الله تعالى وهذا قوله حق.
وقسم ظن أن ذلك علم لفظي فتوغل في تلاوة عبارته وتمسك بظواهر إشاراته وغاب في شهودها عن شهود الحق فربما هانت الشريعة في عينيه لما يلتذ به من حلاوة تلك الألفاظ فيقع على أم رأسه ويتكلم بما ظاهره أن الشريعة في جهة يختص بها أهل الغفلة والحقيقة في جهة أخرى يختص بها أهل العرفان ولعمري إن هذا لهو عين الزور والبهتان وما ثمَّ إلا شريعة ومقام إحسان([7]). ([7]) حقائق عن التصوف ص (553 - 5

Kesimpulan
Makan dari Nash kitab di atas pemahaman kami tentang Wahdatul Wujud terbagi dua.

Wahdatul Wujud yang benar karena pemahaman sesuai dengan aqidah Islam yaitu, wujudnya Allah yang qadim pada azali, tidak ada keraguan sesungguhnya Allah adalah Satu/Esa yang tidak berbilang-bilang. Dan wujud mahluk adalah wujud yang aridhi dan berbilang-bilang maka wujud makhluk adalah wujud majazi yang pada hakikatnya tiada, yang tidak bisa memberi manfaat dan tidak bisa memberi mudharat maka keadaan ini adalah ma’dum pada jiwa insa (Wahdatul Wujud).
Wahdatul wujud yang salah atau menyimpang, yaitu Wahdatul wujud yang mengatakan Allah SWT bersatu dengan makhluk dan tidak ada sesuatu pada wujud ini selain Allah, dan tiap-tiap sesuatu adalah Allah dan Allah adalah (kul) tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah adalah ini wujud. maka pendapat ini atau pembagian ini adalah kufur, zindiq lebih sesat dari pada Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala. Dan para ulama sufi sangat mengingkar pendapat ini, mereka berfatwa bahwa dengan kufur. Berhati-hatilah dengan majlis ini. Wahdatul wujud ini yang diingkari oleh para Ulama

[1]Mausu’ah Al-yusufiah. h. 435
[2]Mausu’ah Al-yusufiah. h. 435
[3]Mausu’ah Al-yusufiah. h. 435
[4]Mausu’ah Al-yusufiah. h. 436
[5]Mausu’ah Al-yusufiah. h. 436

Muhammad Syamsudin | 23 Jun 2017 pukul 6:37 pm | Tag: Tauhid, Wihdatul Wujud | Kategori: KISWAH | URL: http://wp.me/p7197d-qW
Komentar    Lihat semua komentar    Suka
Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Aswaja Muda Bawean.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda:
https://aswajamudabawean.wordpress.com/2017/06/23/sekilas-mengenal-wihdatul-wujud/
Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com

KEMBALI MENYAKSIKANNYA


Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu

Kembali menyaksikanNya
oleh mutiarazuhud

Semoga kembali dapat menyaksikan Allah dengan hati

Kami sekeluarga mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1438 H”

Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum (Semoga Allah menerima amalku dan amal kita semua, amal puasaku dan amal puasa kita semua)

Minal ‘Aidin wal Faizin , semoga kita semua termasuk orang-orang yang kembali suci dan meraih kemenangan sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hati (ain bashirah)

Oleh karenanya untuk menyempurnakan kesucian, dalam rangka hubungan sesama hamba Allah, kami mohon maaf lahir dan bathin atas segala khilaf dan kesalahan kami sekeluarga.

Ditengah-tengah kegembiraan menyambut hari raya Idul Fitri, kita umat Islam prihatin melihat orang-orang yang mengaku muslim namun mereka melarang (mengharamkan) saling bermaafan di hari raya Idul Fitri sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/3159-maaf-memaafkan-dalam-rangka-hari-raya-disyariatkan.html

Jadi jelaslah mereka yang merasa atau mengaku mengikuti Salaf namun tidak hidup pada zaman salaf adalah mereka yang mengikuti akal pikirannya sendiri.

Pada kenyataannya mereka mengikuti Salafnya adalah mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, para pelaku bid’ah dalam urusan agama yakni menganggap baik sesuatu sehinga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/06/01/bidahnya-dzul-khuwaishirah/

Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf atau sahabat karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah

Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)

Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).

Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.

Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.

Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/

Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan Allah

Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Ada pula yang menganggap umat Islam mengartikan “Minal ‘Aidin wal Faizin” adalah “Mohon maaf lahir dan bathin”

Padahal keduanya adalah ucapan atau doa yang berbeda.

Ucapan (doa) selengkapnya adalah

”Ja alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin”
(Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali dan meraih kemenangan)

atau

‘Ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin ilal fithrah wal faizin bil jannah”
(Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih surga).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).

Jadi hasil dari berpuasa adalah kembali fitri, bertemu dengan Allah dan dibuktikan dengan melihat Allah dengan hati (ain bashiroh)

Pada hakikatnya semua manusia telah menyaksikan Allah ketika mereka belum lahir ke alam dunia, pada keadaan fitri , sebelum panca indera seperti matanya berfungsi.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Setelah manusia terlahir ke alam dunia , maka mereka lupa akan kesaksian atau penyaksian terhadap Allah.

Hakikat kata insan (manusia) adalah nasiya , nis yan, tidak tahu, lupa.

Fitrah manusia adalah bertuhan, mencari Allah, ingin kembali menyaksikan Allah.

Syarat untuk dapat menyaksikan Allah Ta’ala kembali adalah fitri, suci sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia

Puasa terdiri dari tiga tingkatan.

Puasa perut, tingkatan paling awal yakni puasa sekedar memenuhi syariat.

Puasa hawa nafsu, tingkatan selanjutnya setelah puasa perut yakni puasa sesuai syariat yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.

“Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu atau setiap panca inderamu” (al Hadits).

Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah puasa hawa nafsu yakni puasa yang diikuti dengan menahan dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri dari segala sesuatu selain Allah.

Sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan “Puasa Qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudahan qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]

Ada satu nasehat yang berbunyi “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati”

Nasehat tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani).

Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu.

Oleh karenanya janganlah hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita namun upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu sehingga kita kembali menyaksikan Allah dengan hati (ain bashirah)

Muslim yang dapat menyaksikan Allah dengan hati adalah muslim yang ihsan

Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.

Muslim yang memandang Allah Ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad)

Tidak semua manusia dapat menggunakan hatinya

Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya

Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)

shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)

“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

Para ulama Allah mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).

Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.

Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)

Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“

Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.

Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)

Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).

Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“

Sayyidina Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhu berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”

Jadi contoh mereka yang belum mencapai muslim yang ihsan atau orang-orang yang belum dapat menyaksikan Allah dengan hati mereka adalah orang-orang yang berpuasa namun suka mencela umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan Hadits yang mereka baca dan pahami menurut akal pikiran mereka sendiri.

Sekaligus hal itu menandakan tidak diterimanya pahala puasa mereka oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).

Orang yang fasik adalah orang yang secara sadar melanggar hukum agama yakni melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah [2]:27)

Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, orang yang bangkrut (muflis) dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) ibadah shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pun datang dengan membawa dosa berupa mencaci orang ini, memfitnah (menuduh) orang ini, menumpahkan darah orang ini, menyiksa orang ini, lalu diberikanlah kebaikannya (pahala) kepada orang-orang yang dizhaliminya. Sewaktu kebaikannya (pahala) tidak lagi cukup membayar kesalahan (dosa) nya maka diambillah dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya dan ditimpakan kepada dirinya. Setelah itu dia dilemparkan ke neraka. (HR Muslim 2581)

Wassallam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

mutiarazuhud | 24 Juni 2017 pukul 9:02 pm | Tag: 1 Syawal 1438 H, idul fitri, menyempurnakan kesucian, saling memaafkan, sehingga kembali menyaksikanNya, Selamat hari raya | Kategori: Islam, Umum | URL: http://wp.me/ptHza-4fg
Komentar    Lihat semua komentar    Suka
Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda:
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/06/24/kembali-menyaksikannya/
Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com

PUASA PEROLEH AMPUNAN


Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu

Puasa peroleh ampunan
oleh mutiarazuhud

Tanda amalan puasa Ramadhan yang memperoleh ampunan dari Allah Ta’ala

Dalam sebuah diskusi di jejaring sosial Facebook, salah seorang bertanya , apakah tanda amalan puasa Ramadhan yang memperoleh ampunan dari Allah Ta’ala sebagaimana cuplikan dari gambar di atas.

Tanda amalan puasa Ramadhan yang memperoleh ampunan dari Allah Ta’ala adalah mereka memperoleh karunia Allah dan rahmat-Nya sehingga fitri atau disucikan yakni “dibersihkan” dari perbuatan keji dan mungkar sehingga menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur [24] : 21)

“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)

Jadi dapat kita simpulkan bahwa tanda orang-orang yang menta’ati Allah dan RasulNya atau tanda amal ibadah diterima Allah adalah memperoleh anugerah ni’mat sehingga disucikan yakni “dibersihkan” dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah.

Muslim yang ihsan adalah muslim yang meraih maqam (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi Allah dan menjadi kekasih Allah (Wali Allah) serta berkumpul dengan Rasulullah.

Hubungan yang tercipta antara Allah Ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).

Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.

Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.

Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.

Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni ‘

ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).

Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.

Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.

Sedangkan ulama su’ (ulama yang buruk) adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak.

Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.

Muslim yang memandang Allah Ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad)

Tidak semua manusia dapat menggunakan hatinya

Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya

Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)

shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)

“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)

Para ulama Allah mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).

Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.

Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)

Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“

Jadi contoh mereka yang belum mencapai muslim yang ihsan atau orang-orang yang belum dapat menyaksikan Allah dengan hati mereka adalah orang-orang yang berpuasa namun suka mencela umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka terhadap Al Qur’an dan Hadits yang mereka baca dan pahami menurut akal pikiran mereka sendiri.

Sekaligus hal itu menandakan tidak diterimanya pahala puasa mereka oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).

Orang yang fasik adalah orang yang secara sadar melanggar hukum agama yakni melanggar larangan Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah [2]:27)

Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, orang yang bangkrut (muflis) dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) ibadah shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi dia pun datang dengan membawa dosa berupa mencaci orang ini, memfitnah (menuduh) orang ini, menumpahkan darah orang ini, menyiksa orang ini, lalu diberikanlah kebaikannya (pahala) kepada orang-orang yang dizhaliminya. Sewaktu kebaikannya (pahala) tidak lagi cukup membayar kesalahan (dosa) nya maka diambillah dosa-dosa orang-orang yang dizhaliminya dan ditimpakan kepada dirinya. Setelah itu dia dilemparkan ke neraka. (HR Muslim 2581)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“

Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.

Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)

Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah Ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).

Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“

Sayyidina Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhu berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”

Senada dengan sabda Rasulullah di atas tentang orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah, Rasulullah bersabda bahwa tanda amal ibadah sholat yang diterima oleh Allah Ta’ala adalah tercegahnya dari perbuatan keji dan mungkar atau menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)

Namun ulama panutan mereka, Al Albani mengingkari hadits ini sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/2324-sembilan-tuduhan-dusta-terhadap-syaikh-al-albani.html

Berikut kutipan pengingkarannya,

***** awal kutipan ******
Matan hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tida disetujui oleh syari’at ini, dst…
***** akhir kutipan ******

Kami garis bawahi pendapatnya,

“meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh”

Dengan kata lain mereka berkeyakinan bahwa orang terus menerus melakukan beberapa maksiat, tidak apa-apa, asalkan melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya

Padahal orang-orang yang shalat namun masih terus menerus melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan keji dan mungkar menandakan shalatnya lalai

Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya

`…. maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)

“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai“(QS Al A’raaf 7: 205)

“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).

Orang-orang yang shalatnya lalai atau tidak khusyuk karena sekedar “melepaskan” kewajibannya atau sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya namun tidak mempunyai hati sehingga pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah Ta’ala. Ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian (gerak dan perbuatan kalian), tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)

Tidaklah mereka mencapai shalat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul mi’rajul mu’minin“, “shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila shalat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya shalat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah [ 2] : 45).

Berikut kutipan tulisan Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam Wa huwa bi al’ufuq al-a’la dan diterjemahkan oleh Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam: Rekaman berbagai peristiwa besar sepanjang perjalanan akbar dari Mekkah al-Mukarramah menuju Sidrah al Muntaha pada halaman 126 menyampaikan

***** awal kutipan *****
“Bila mi’raj Nabi kita adalah dengan tubuh dan rohnya menuju ke langit sebagai sebuah mukjizat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan bagi umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam, mi’raj ruhani dalam setiap hari lima kali dimana roh-roh mereka merendahkan hawa nafsu dan syahwat mereka dan mereka menyaksikan keagungan Allah Subahanahu wa Ta’ala, kekuasaanNya dan keesaanNya yang membuat mereka memiliki kepemimpinan di muka bumi bukan melalui cara memperbudak, memaksa, dan mengalahkan orang lain, melainkan dengan cara kebaikan, kemuliaan, kesucian dan keluhuran dan dengan melalui shalat.

Shalat bukanlah suatu upaca keagamaan dan bukanpula gerakan-gerakan yang bersifat mekanis yang maknanya tidak dapat dipahami oleh akal, melainkan suatu “madrasah” yang mendidik orang-orang mukmin atas makna kebaikan, kecintaan, dan keutamaan yang sebagus-bagusnya dalam hiruk pikuk dan kejelekan kehidupan.

Shalat merupakan amal perbuatan yang paling agung dalam Islam. Barangsiapa yang menjaga shalat niscaya ia berbahagia dan beruntung , dan barangsiapa yang menyia-nyiakan maka ia celaka dan merugi.

Allah Ta’ala mewajibkan shalat kepada hambaNya yang mukmin sebagai penghubung denganNya, untuk mengingat keagunganNya, dan mensyukuri ni’matNya. Karena itu shalat merupakan dasar keberuntungan dan kebahagian dunia dan akhirat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik (benar) maka baik pula sekalian amal perbuatannya dan jika shalatnya rusak maka rusak pula sekalian amal perbuatannya (Diriwayatkan oleh at Thabarani dalam al Ausath. Disebutkan juga dalam Majma ‘az Zawaid 1/291)

Tidak heran bila shalat merupakan tanda amal perbuatan, karena dengan terus menerus melaksanakan shalat secara sempurna dengan khusyuk dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menumbuhkan di dalam jiwa perasaan diawasi oleh Allah Azza wa Jalla. Dan barangsiapa yang merasa diawasi oleh Allah-Mahaagung dan Mahatinggi Allah -maka ia takut kepada Allah, bertakwa kepadaNya, dan melakukan segala sesuatu yang membawa kepada keridhaanNya. Maka ia jujur jika berkata, menepati jika berjanji, menyampaikan amanah, bersabar ketika marah, dan bersyukur jika diberi nilmat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (QS al Ma’arij [70]: 19-23)

Dan barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya.
***** akhir kutipan *****

Jadi shalat yang mencegah dari perbuatan keji dan mungkar adalah shalatnya umat Islam yang telah mencapai muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya.

Begitupula pada zaman Rasulullah, orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij terkenal sebagai orang-orang yang gigih mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikan mereka seperti Rasulullah atau tidak menjadikan mereka berakhlak baik atau muslim yang Ihsan

Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim yang suka menampakkan “bekas” amalnya dan berakhlak buruk dengan pertanyaan,

****** awal kutipan *****
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan jenggot mereka pun lebat”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”

Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
***** akhir kutipan *****

Dari riwayat di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim dan suka “menampakkannya” tidaklah berarti apa-apa karena tidak menimbulkan ke-sholeh-an.

Orang-orang yang mengamalkan sunnah Rasulullah namun tidak menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah menunjukkan amal ibadah mereka tidak diterima.

Contoh lima penyebab amal ibadah tidak diterima oleh Allah , telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/09/lima-penyebab-tak-diterima/

Sebagaimana sabda Rasulullah di atas bahwa ciri-ciri atau tanda orang-orang yang beriman dan bertaqwa atau orang-orang yang mengikuti Rasulullah atau orang- orang yang mencintai Allah sehingga dicintai oleh Allah dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah

1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.

Ciri atau tanda tersebut sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)

Dalam firman Allah di atas telah difirmankan bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad dari agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya yakni bermunculan orang-orang yang membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah) kepada para ulama Allah yakni para wali Allah, suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya

Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.

Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’

Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.

Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”

Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’

Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’

Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab

Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)

Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara Yaman, dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).

Berkata para Ulama’ tentang arti hadits di atas :

Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata (rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.

Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad (1/698-699)].

Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah orang-orang Yaman”. [‘Aridlo Al-Ahwadzi (9/45).

Alhamdulillah , umat Islam pada umumnya dan khususnya di negeri kita mendapatkan pengajaran agama dari para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bersumber dari ulama kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni dari apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra

Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.

Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah mulai dari semenanjung Tanah Melayu, Nusantara dan Philipina

Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka

***** awal kutipan ****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib.

Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf.

Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.

Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini.

Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh.

Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri.

Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.

Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.

Kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
****** akhir kutipan ******

Contoh silsilah para Wali Songo pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/03/silsilah-para-walisongo.jpg

Mereka yang meninggalkan bahkan mencela atau membenci ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akibat rasa kebencian mereka kepada firqah Syiah

Firman Allah Ta’ala yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maa-idah [5] : 8 )

Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”

Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”

Kaum Naashibah (-Jamaknya : Nawaashib-) yang sering melecehkan atau membenci ahlul bait Nabi dengan “dalih” membela Sahabat Nabi sedangkan sebaliknya kaum Roofidhoh (-Jamaknya : Rowaafidh-) yang selalu melecehkan Sahabat Nabi dengan “dalih” membela ahlul bait Nabi

Diantara mereka juga ada golongan Rafidhah yang suka mencaci sayyidina Abu Bakar dan ‘Umar رضي الله عنهما , membenci para sahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai sayyidina ‘Ali dan anggota keluarganya رضي الله عنهما , semoga Allah meridhoi mereka semua. (Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, halaman. 9-10)

Serupa dengan apa yang disampaikan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu (berdusta) dari Syi’ah Rafidhah.” (Adabus Syafi’i, m/s. 187, al-Manaqib karya al-Baihaqiy, 1/468 dan Sunan al-Kubra, 10/208. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)

Dari Yunus bin Abdila’la, beliau berkata: Saya telah mendengar asy-Syafi’i, apabila disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: “Kelompok terjelek! (terbodoh)”. (al-Manaqib, karya al-Baihaqiy, 1/468. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)

Siapakah Syiah Rafidhah ?

Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib yang dinisbatkan sebagai pendiri Syiah Zaidiyyah ditanya oleh para pengikutnya yakni pasukan atau tentara yang semula mendukungnya dengan pertanyaan “Kami akan menyokong perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi Thalib”.

Imam Zaid menjawab: “bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka menghujani mesjid dengan lemparan batu dan api”.

Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid. Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: “kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya”. Semenjak hari itu pasukan atau tentara yang semula mendukung Beliau dikenal dengan nama Rafidhah. Pengertian al-Rafidhah (الرافضة) adalah mereka yang menolak.

Jadi Syiah Rafidhah meninggalkan seorang penunjuk (ahli istidlal) dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasululah, Imam Zaid dan mengikuti pasukan atau tentara yang semula mendukungnya yakni mereka memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan Imam Ahlul Bait bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri yang berakibat timbullah firqah-firqah.

Salah satu ulama Zaidiyyah, Imam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H) menegaskan bahwa: “Syi’ah Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, yaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah. Dan konon ada yang membagi sekte Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah. Dan pandangan Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah. Dan sekte Sulaymaniyah sebenarnya adalah Jarririyah. Jadi ketiga sekte tersebut merupakan golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awal. Ketiga sekte inipun tidak berafiliasi kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali. Mereka hanyalah sekedar penyokong berat (bekas tentara atau pasukan) imam Zaid ketika terjadi revolusi melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid”.

Jadi adalah sebuah fitnah jika mengaku-aku mengikuti Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib namun pada kenyataannya mereka mengikuti para pendukung (bekas tentara atau pasukan) Imam Zaid

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

mutiarazuhud | 25 Juni 2017 pukul 10:40 pm | Tag: amal ibadah diterima, amalan puasa, memperoleh ampunan, Tanda | Kategori: Islam, Umum | URL: http://wp.me/ptHza-4fp
Komentar    Lihat semua komentar    Suka
Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda:
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/06/25/puasa-peroleh-ampunan/
Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com