Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Aswaja Muda Bawean
Status “Hasan” dan “Qabih” serta Relevansinya terhadap Pemecahan Kasus Fiqih Kontemporer
oleh Muhammad Syamsudin
A. Keistimewan dan Kedudukan Kaidah Fiqih dalam Hukum Syara’.
1. Keistimewaan Kaidah Fiqih / Qawaid Fiqhiyyah
Kita yang hidup pada masa kini, bahkan disetiap masa, selalu membutuhkan seorang ahli hukum (faqih) dengan kredibilitas tinggi, yang menguasai metode-metode ijtihad dan memiliki naluri hukum sehingga dapat melakukan istinbat hukum syari dari dalil dalilnya, terutama dalam masalah-masalah kontemporer dan aktual yang sangat banyak dan terus berkembang, bahkan nyaris tak pernah berakhir dan berhenti pada satu titik.[1]
Kaidah-kaidah fiqih atau qawaid fiqhiyyah merupakan instrumen yang membantu seorang faqih untuk memahami masalah-masalah partikular (al juz’iyat). Masalah-masalah yang mirip dan serupa (al ashbah wa an nazha’ir) di dalam seluruh pokok bahasan fiqih. Kaidah-kaidah ini sangat banyak dan bercabang-cabang. Dari sini, seorang pengkaji hukum islam atau faqih tidak dapat memahami segala sisi kajian hukum islam kecuali jika ia mempelajari qawa’id fiqhiyah. Semakin tinggi tingkat prestisenya akan semakin naik dan rangkingnya pun akan semakin meningkat, dan terbukalah jalan dihadapannya menuju prosedur fatwa.[2]
Oleh karena itu, mempelajari qawaid fiqhiyyah merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang menggeluti dunia fiqih, baik pada tatanan khusus maupun umum.
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih ini, antara lain: "Dengan kaidah-kaidah fikih kita tahu hakikat dari fikih, objek bahasan fikih, cara pengambilan fikih dan rahasia-rahasia fikih, menjadi terampil di dalam memahami fikih dan menghadirkan fikih". Sesungguhnya kaidah-kaidah fikih itu menggambarkan nilai-nilai fikih, kebaikan dan keutamaan serta intinya. Dari bentuk dan uraian tentang kaidah fikih menampakkan pola pikir fikih Islam yang sangat luas dan mendalam dan tampak pula kekuatan filosofinya yang rasional serta kemampuannya di dalam mengumpulkan fikih dan mengembalikannya kepada akarnya".
Hasbi al-Shiddieqy menyatakan bahwa nilai seorang fakih (ahli hukum Islam) diukur dengan dalam dan dangkalnya dalam kaidah fikih ini, karena di dalam kaidah fikih terkandung rahasia dan hikmah-hikmah fikih". Dari uraian di atas bisa disimpulkan kegunaan kaidah-kaidah fikih antara lain:
a. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya. Dengan kaidah-kaidah fikih kita mengetahui benang merah yang mewarnai fikih dan menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
b. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
c. Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
e. Orang yang mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum Islam (ruh al-hukm) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fikih.
f. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki keluasan ilmu, dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
2. Kedudukan Kaidah Fiqih dalam Hukum Syara’
Al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan kaidah yang bersifat umum meliputi sejumlah masalah fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum masalah fiqh yang berada dalam lingkupnya. Al-qawaid al-fiqhiyyah yang langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash) dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum.[3]
Kedudukan qawaid fiqhiyah yaitu : sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok yaitu Al Qur’an dan as sunnah. Kaidah fiqih yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya. Artinya bahwa ulama sepakat tentang menjadikan kaidah fiqih sebagai dalil pelengkap.
Adapun kedudukan kaidah fiqih dalam konteks studi fiqih adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyah yang begitu banyak. Al syaikh ahmad ibnu al syaikh Muhammad al Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqih ini, maka hukum fiqih yang bersifat furu’iyah akan bercerai berai.”
Dalam konteks studi fiqih, al qurafi menjelaskan bahwa syari’ah mencakup dua hal ; ushul dan furu’. Ushul terdiri dari dua bagian yaitu : (a) Ushul Fiqih, yaitu ushul fiqih yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan. dan, (b) kaidah fiqih yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
Qawaid fiqhiyyah dikategorikan sebagai dalil syar’i yang memungkinkan adanya istinbath hukum-hukum dari nash (Al Qur’an dan Hadits). Sehingga berhujjah dengan qawaid fiqhiyyah merupakan cerminan hujjah dari sumber pengambilannya, yaitu Al Quran dan Sunnah. Misalnya kaidah yang berbunyi :
الْمَشَقَّةُ تَجْلبُ التَّيْسِر
Sumber kaidah ini adalah firman Allah SWT dalam QS. al-Ḥajj : 78
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيْ الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh para fuqaha berdasarkan hasil istiqra’ mereka terhadap berbagai permasalahn fiqih yang serupa, maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai berhujjah dengan kaidah-kaidah fiqih tersebut.
Di antara mereka ada yang tidak menerima kaidah-kaidah tersebut sebagai dasar dalam istinbāt hukum, namun dapat dijadikan sebagai penguat (syāhid) terhadap dalīl syar’ī, sebagaimana perdapat dari Ibnu Farḥūn.
Namun sebagian ulamā yang lain berpendapat mengenai kebolehan ber-hujjah dengan kaidah-kaidah fiqh tersebut, sebagaimana pendapat Imām al-Qarāfī.
Secara ringkas dapat disebutkan beberapa hal yang merupakan urgensi ilmu al-qawā’id al-fiqhiyyah, di anataranya adalah:
a. Dengan kaidah-kaidah fiqh, seorang faqīh dapat menguatkan (ḍabt) berbagai permasalahan dalam wacana fiqh, dan menyusunnya dalam satu konsep, sebab permasalahan-permasalahan fiqh tersebut akan berujung pada hukum dan maksud yang satu/sama.
b. Seorang faqīh yang dalam memberikan interpretasi senantiasa menggunakan kaidah-kaidah fiqh, maka ia akan mendapati begitu banyak maqāşidu al-tasyrī’ (maksud-maksud penetapan syari’at) beserta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Misalnya, kaidah al-ḍararu yuzāl dan al-masyaqqatu tajlibu al taysīra, menunjukkan bahwa syari’at Islam yang mudah dan toleran ini memiliki tujuan untuk menolak atau mencegah semua jenis kesulitan dan bahaya.
c. Kaidah-kaidah fiqh memudahkan para fuqahā’ untuk mengetahui status hukum yang terdapat pada berbagai permasalahan, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap hal-hal yang merupakan titik persamaan dari berbagai permasalahan tersebut. Apabila suatu permasalahan telah ditetapkan hukumnya, maka tidak menutup kemungkinan adanya permasalahan yang serupa dengannya, yang berasal dari salah satu kaidah dari sekian banyak kaidah-kaidah fiqh.
d. Kaidah-kaidah fiqh membantu seorang faqīh untuk memperkuat hal-hal yang dijaganya, baik pada cabang-cabang fiqh maupun pada berbagai permasalahannya, dan membantufaqīh untuk mengingatnya, selama ia memperdalam pengetahuannya tentang kaidah-kaidah tersebut.
e. Kaidah-kaidah fiqh menumbuhkan kemampuan ber-istinbāţpada seorang peneliti terhadap wacana-wacana fiqh, selama ia mempelajari kaidah-kaidah tersebut dan berbagai hal yang berkaitan dengannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwasanya kaidah-kaidah fiqh memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses interpretasi hukum syari’at, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Qarāfī ketika beliau membagi dasar-dasar syari’at, maka beliau menempatkan kaidah-kaidah fiqh yang pokok sebagai dasar syari’at yang kedua setelah uşūl al-fiqh,yang di dalamnya meliputi kaidah-kaidah yang sangat banyak dan sarat makna, tercakup di dalamnya rahasia-rahasia dan hikmah penetapan syari’at yang tak terhitung jumlahnya.
Kaidah-kaidah tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting dalam fiqh, yang memiliki banyak manfaat, bahkan penguasaan akan kaidah-kaidah tersebut dijadikan tolak ukur untuk mengetahui derajat dan kemuliaan seorang faqīh, serta menyebabkan metodologi dan konsep dalam berfatwā pun menjadi lebih transparan.
B. Relevansi Konsep Baik (Hasan) dan Buruk (Qobih) dalam Fiqh Kontemporer
Setelah mengetahui bagaimana kedudukan kaidah fiqh dalam hukum syara’ sekarang kita akan mendalami lebih jauh bagaimana sesuatu ditentukan baik maupun buruk yang dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Apakah apa-apa yang dinilai baik ataupun buruk oleh hukum syara’ adalah sama dengan yang dinilai oleh ‘Akal? atau hukum syara’ berdiri sendiri ketentuannya atas dasar ketetapan Allah?. Ada beberapa pendapat tentang posisi ‘akal dalam mengetahui baik dan buruk. Setidaknya dalam tulisan ini akan dibahas perbedaan pendapat antara ulama yang dibagi dalam tiga golongan[4]:
Pertama : Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk itu adalah dua sifat esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian lain berada antara manfaat dan madharat. Maka menurut pendapat Mu’tazilah sesuatu itu dibagi tiga:
1. Sesuatu yang baik menurut dzatnya.
2. Sesuatu yang buruk menurut dzatnya, dan
3. Sesuatu yang ada diantara keduanya.
Dengan demikian orang Mu’tazilah berpendapat seseorang dapat mengetahui suatu yang baik dan buruk secara esensi meski tanpa panduan dari hukum syara’. Pendapat mereka ini didasarkan atas tiga alasan:
1. Ada perbuatan yang harus dilakukan oleh orang berakal dan pelakunya akan mendapat pujian (hasan lidzaatih) dan sesuatu yang bila dilakukan akan mendapat cela (qobih lidzaatih). Sebagai contoh yaitu menghina. Orang yang berakal jika disuruh memilih antara jujur dan berbohong, pasti akan memilih jujur.
2. Baik dan buruk adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan mengetahuinya merupakan suatu kepastian tanpa ada perbedaan yang beragama maupun tidak. Seseorang dengan kekuatan akalnya pasti akan mengetahui bahwa adil itu baik dan zholim itu buruk.
3. Kalaulah ada suatu hal yang secara esensinya tidak mengandung baik dan buruk, maka manusia akan menjadi bingung.
Dari alasan-alasan tersebut, timbullah tiga konsekuensi logis sebagai berikut[5]:
a. Bahwa ahli Fatrah serta orang-orang yang belum dijangkau atau belum mengetahui hukum syara’ dituntut melakukan apa yang baik dan buruk menurut dzatnya.
b. Apabila tidak ada nash maka seseorang dengan petunjuk akalnya dituntut untuk melakukan sesuatu yang baik dan buruk menurut dzatnya serta kelak akan diperhitungkan.
c. Bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya.
Profesor Mukhtar Yahya dan Doktor Fathur Rahman mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah berpendapat perbuatan seorang mukallaf dihukumi baik dan buruk berdasarkan tiga hal[6]:
1. Ditetapkan oleh akal secara dhoruri, yakni untuk mengetahui baik atau buruknya tidak perlu memakai penelitian. Seperti memberi derma kepada orang yang membutuhkan.
2. Ditetapkan akal secara nazhori, yakni diperlukan pemikiran yang mendalam. Seperti berbohong untuk kebaikan.
3. Ditetapkan secara sama’i, yakni sesuatu yang dipandang baik dan buruk karena ketetapan nash. Seperti shalat , puasa, haji dll.
Kedua, pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula oleh ulama Hanafiah. Dalam hal pembagian sesuatu perbuatan sama golongan ini sama dengan golongan Mu’tazilah. Namun, setelah itu mereka berbeda pendapat. Kaum Hanafiah berpendapat bahwa tidak ada taklif(pembebanan) yang diputuskan hanya berdasarkan akal saja. Sesungguhnya keputusan taklif, pahala maupun dosa tergantung pada ketentuan nash.
Sementara itu Prof. Muhammad Abu Zahrah menuliskan dalam bukunya, imam Asy-Syaukani berpendapat dalam karyanyaIrsyadul-Fuhul bahwa, mengingkari kemampuan akal dapat menilai baik dan buruk adalah kesombongan dan kebohongan. Sedangkan orang yang mengakui akal yang menilai perbuatan baik itu mendapat pahala dan perbuatan buruk mendapat dosa, dia bukanlah seorang muslim[7]. Kemampuan final akal hanyalah mengetahui bahwa yang baik akan mendapat pujian dan yang buruk akan mendapat hinaan.
Ketiga, pendapat golongan Asy’ariyah yang dipegang oleh jumhur ulama, yang berpendapat sesuatu dipandang baik dan buruk dikarenakan kehendak Allah dalam aturan syara’. Oleh karena itu, apa yang Ia perintahkan adalah baik, dan apa yang Ia larang adalah buruk. Pendapat golongan Asy’ariyah ini berbeda dengan dua pendapat sebelumnya. Golongan ini berpendapat bahwa tiada sesuatu apapun yang baik dan buruk menurut dzatnya dan juga tak ada taklif kecuali dari syari’at Allah semata[8].
Maka, seseorang tidak akan dibebani hukum melakukan maupun meninggalkan sesuatu kecuali ia telah mendapat da’wah dari Rasul atau mendapat ketetapan dari syari’at. Mereka menguatkan pendapat[9]mereka dengan firman Allah surah al-Isra ayat 15:
وَمَاكُنَّامُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Dan Kami tidak akan meng-adzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Berlandaskan pendapat-pendapat diatas maka keterkaitan/ relevansi baik dan buruk dalam melakukan ijtihad adalah keharusan ijtihad berdasarkan nash terlebih dahulu kemudian dikuatkan dengan pemahaman ‘akal yang pada dasanya akan kembali pada maqasid syari’ah/ tujuan adanya syari’at yakni kemaslahatan.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa keburukan boleh dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika kita menyingkirkan keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, dimana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keburukan yang kedua itu. Kedua, ketika kita melakukan keburukan itu kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada tidak melakukannya. Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu dapat kita tinggalkan dalam dua kondisi: Apabila kita melakukan kebaikan itu akan melepaskan kesempatan untuk memperoleh kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan ya
...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar