Powered By Blogger

Jumat, 28 April 2017

LIRIK SYUBBANUL WATHON (CINTA TANAH AIR)

Lirik Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air) –
Yaa Lal Wathon – Hubbul Wathon Minal Iman

Karya: KH. Abdul Wahab Chasbullah (1934)
(Ijazah KH. Maemon Zubair Tahun 2012)

ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ
Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ
Hubbul Wathon minal Iman
وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ
Wala Takun minal Hirman
اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ
Inhadlu Alal Wathon

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى
Indonesia Biladi
أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَاماَ
Anta ‘Unwanul Fakhoma
كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ
Kullu May Ya’tika Yauma
طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا
Thomihay Yalqo Himama

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku

Indonesia Negriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa di bawah durimu

INI BUKTI KALAU TAHLILAN PERNAH POPULER DI MEKKAH DAN MADINAH SEBELUM DATANG WAHABI

Serambimata.com – ​Mempersoalkan Tahlilan sebagai amalan bit’ah dan sia-sia terus mengemuka. Perdebatan so’al kegiatan yang biasa dilakukan selama 7 hari sejak kematian seseorang tak kunjung berhenti seiring dengan semarak kegiatan tersebut yang digelar oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia. 

Untuk menjawab polemik tak berkesudahan tersebut, maka dilakukanlah upaya membongkar literatur yang dapat mengungkap tentang sejarah tahlilan. Hingga akhirnya terungkap fakta yang mencengangkan ternyata tahlilan pernah dilakukan Sahabat Nabi dan Salafus Shaleh. Sebuah kesaksian diungkap oleh seorang Ulama besar Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah. Salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain itu di dalam al-Hawi lil-Fatawi menceritakan bahwa kegiatan ‘tahlilan’ berupa memberikan makan selama 7 hari setelah kematian merupakan amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh umat Islam di Makkah maupun Madinah. Hal itu berlangsung hingga masa beliau :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [1]
Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.

“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. [2] 

Istilah 7 hari sendiri didasarkan pada riwayat shahih dari Thawus yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah. 

_____________________

[1] al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi. 

[2] Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.

Sumber: Muslimedianews.com

 Via Ngaji.web.id


MENGAPA IRAN IKUT SERTA DALAM KONFLIK DISURIAH DAN IRAK

Januari 21, 2016 – 12:54 AM

News Code : 731362Source : Syuhada

 Brief

Benarkah Iran terlibat langsung dalam perang Suriah? benarkah militer Iran yang dikirim ke Suriah bertujuan untuk membantu menjaga eksistensi Bashar Asad agar tetap berada di tampuk kekuasaan di Suriah?. Terlebih isu yang menyebut Iran membantu rezim Suriah untuk membunuhi rakyat Suriah yang Sunni.

The Spring Arab yang menghantam dunia Arab di akhir tahun 2010 juga menyapu Suriah, bahkan sampai saat ini konflik berdarah masih terus terjadi di Suriah. Oposisi Suriah dengan mengatasnamakan perjuangan rakyat berusaha menggulingkan kekuasaan Bashar Asad. Dengan mendapat dukungan setidaknya dari Perancis, Turki, Jerman, Arab Saudi, Qatar, Amerika Serikat dan negara sekutu lainnya pihak oposisi dengan persenjataan berat berhasil merebut dan menguasai sejumlah wilayah Suriah, termasuk beberapa kota di Irak. Oposisi mendirikan negara baru yang disebutnya Islamic State Iraq and Syiria (Negara Islam Irak dan Suriah) lebih dikenal dengan singkatan ISIS. Tentara mereka tidak semua berasal dari Suriah, melainkan dari banyak negara tetangga, Turki, Yordania, Arab Saudi, Qatar, Pakistan, Afghanistan dan banyak dari negara Eropa, bahkan termasuk dari Indonesia.

Tujuan utama mereka untuk menggulingkan Bashar Asad dan menguasai Damaskus sepenuhnya setidaknya dalam 5 tahun terakhir tidak juga berhasil. Bahkan dalam sejumlah pertempuran terakhir, ISIS mengalami rangkaian kekalahan yang membuat mereka kehilangan banyak wilayah kekuasaan, terlebih lagi pasca keterlibatan Rusia.

Disinyalir, ketangguhan Bashar Asad dalam menghadapi ronrongan pemberontak adalah karena keterlibatan Iran yang mendukung militer Suriah, yang bukan hanya memberi dukungan secara moril tapi terjun langsung di medan konflik dengan mengirimkan bala tentara bantuan.

Benarkah Iran terlibat langsung dalam perang Suriah? benarkah militer Iran yang dikirim ke Suriah bertujuan untuk membantu menjaga eksistensi Bashar Asad agar tetap berada di tampuk kekuasaan di Suriah?. Terlebih isu yang menyebut Iran membantu rezim Suriah untuk membunuhi rakyat Suriah yang Sunni.

Tulisan ini, secara singkat hendak mencoba dua pertanyaan diatas.

Pada awal tahun 2013, Suriah berada pada titik paling nadir dalam sejarahnya. Sejumlah wilayahnya berhasil direbut oleh kelompok pemberontak yang justru lebih banyak pasukan militannya berasal dari pihak asing. Mereka bertempur dengan cara yang paling brutal. Mereka menyembelih tahanan dan rakyat sipil yang tidak mau bekerjasama dengan mereka. Aksi-aksi keji dan biadab itu, mereka publish melalui media sosial dan bermaksud meneror masyarakat dunia. Diantaranya video amatiran yang memperlihatkan seorang militan ISIS mengunyah jantung tentara Suriah yang terbunuh sambil meneriakkan takbir. Bagi para militan yang beraliran Salafi/Wahabi ekstrim tersebut, tentara Suriah ataupun rakyat Suriah yang Syiah adalah orang-orang kufur yang halal darahnya untuk ditumpahkan dengan cara paling keji sekalipun: kepala dipenggal, dibakar, ditenggelamkan dan seterusnya.

Diantara kejahatan perang lainnya adalah merusak situs-situs bersejarah yang terdapat di wilayah-wilayah Suriah dan Irak yang berada dalam kontrol mereka. Menghancurkan kuil-kuil yang telah berusia 2000 tahun dan terdaftar dalam warisan dunia versi UNESCO, kuburan-kuburan kuno, museum-museum bahkan masjid-masjid peninggalan peradaban emas Islam masa silam. Diantara target yang menjadi sasaran ISIS untuk dihancurkan adalah makam-makam yang dimuliakan kaum Syiah. Mereka telah berhasil merusak makam Hujr bin ‘Adi, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw dan pembela setia Imam Ali As, bahkan melarikan jenazahnya.  Ambisi lainnya adalah menghancurkan makam Sayidah Zainab Sa, cucu Rasulullah Saw di Zainabiyah, tidak jauh dari Damaskus, bahkan hendak mengganti nama kota tersebut menjadi Yazidiyah.

Dengan adanya ambisi yang dinyatakan secara terbuka tersebut, menimbulkan kekhawatiran bagi umat Islam Syiah sedunia, tidak terkecuali Iran. Iran pada awal konflik Suriah, bersikap netral dengan memberi dukungan pada siapapun yang menjadi pilihan mayoritas rakyat Suriah dan mendorong Bashar Asad untuk melakukan referendum. Karena hasil referendum menunjukkan Bashar Asad masih tetap mendapatkan kepercayaan mayoritas rakyat Suriah, maka Iranpun secara moril mendukung Bashar Asad sebagai penguasa Suriah yang sah untuk menjaga kedaulatannya dari pihak oposisi dan pemberontak yang hendak menggulingkannya.

Namun ketika ISIS dan faksi-faksi militan di Suriah yang beraliran Salafi/Wahabi ekstrim berencana merusak situs-situs bersejarah Islam yang selama ini diagungkan komunitas muslim Syiah, khususnya hendak menghancurkan makam Sayidah Zainab Sa, dan makam imam-imam Syiah di Irak, maka Iran pun mulai menurunkan bala tentaranya untuk terjun langsung ke wilayah konflik dengan tujuan menjaga makam-makam bersejarah tersebut. Karena itu pula, tentara Iran yang gugur dalam tugasnya itu, oleh pemerintah Iran digelari Syuhada Madafi’ Haram (Syuhada Pembela Haram/makam suci).

Namun mengapa Suriah? mengapa membela Bashar Asad?

Bashar Asad adalah diantara sedikit dari pemimpin Arab yang tegas terhadap Zionis Israel. Bukan hanya tidak memiliki hubungan diplomatik dengan bangsa penjajah tersebut, namun juga mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka sepenuhnya. Di Yarmouk, Bashar Asad menyediakan fasilitas pengungsian bagi warga Palestina. Di Damaskus, Bashar Asad menyediakan gedung gratis bagi Hamas untuk menjadi kantor dan markas aktivitas mereka. Jika Suriah jatuh ke tangan ISIS, bukan hanya menghentikan perjuangan pembebasan Palestina, namun ISIS akan menghantam Hizbullah yang disebutnya Syiah yang harus dimusnahkan. Sebab sangat mengherankan, ISIS dengan kekuatan persenjataan yang dimiliki dan militan yang terlatih, tidak mengusik Israel sama sekali. Yang ada justru mengacau di negara-negara muslim, bahkan berkali-kali menyerang kamp pengungsian di Yarmouk yang merenggut nyawa tidak sedikit dari warga pengungsi Palestina.

Disamping Suriah, Lebanon melalui Hizbullah menjadi kerikil tajam dalam perjalanan Zionis membentuk Israel Raya. Kedua negara tersebut sering berbenturan dengan Israel di perbatasan. Karena itu mendukung Suriah agar tetap anti Zionis dibawah Bashar Asad menjadi kewajiban Iran, bahkan menjadi resolusi Iran pasca berubah menjadi Republik Islam, yaitu mendukung dan turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Meski demikian, militer Iran yang dikirim ke Suriah bukan untuk menjaga Damaskus atau menjaga kepentingan-kepentingan Bashar Asad, melainkan untuk menjaga situs-situs bersejarah Islam yang hendak dimusnahkan ISIS dan kelompok-kelompok Takfiri. Demikian pula sukarelawan sipil yang dibentuk oleh as Syahid Jenderal Haj Husain Hamadani. Yang paling berperan besar dalam kegagalan ISIS memenuhi ambisinya adalah Jenderal Qasem Sulaemani, yang mengomandani Divisi Al Quds. Tanpa berperang langsung, ia membuat pasukan pemberontak porak poranda karena saling bunuh sesama kelompok militan. Amerika Serikat menjulukinya, The Shadow Commander.

Tidak sedikit dari tentara Iran yang telah gugur syahid dalam perang mempertahankan kehormatan makam-makam suci Ahlul Bait As di Suriah dan Irak, termasuk perwira-perwira tingginya. Di Samara, bersama dengan rakyat Irak, militer dan sukarelawan Iran menjaga Haramain Askariyain As.

Jadi, isu yang disembur-semburkan kelompok Takfiri di Indonesia bahwa Iran membantu Bashar Asad untuk menghabisi rakyat Sunni di Suriah adalah fitnah keji yang tidak berdasar. Sebab kesatuan militer yang dikirim ke Suriah dan Irak hanya untuk kepentingan menjaga eksistensi Haram-haram suci Ahlul Bait As yang hendak dimusnahkan ISIS karena kebenciannya terhadap Ahlul Bait As dan Syiahnya.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamanei berkata, “Mereka yang syahid di Suriah dan Irak karena menjaga Haram Ahlul Bait As derajatnya sama dengan yang syahid bersama Imam Husain As. Karena jika tidak ada perjuangan dari para Syuhada tersebut, maka jejak peninggalan Ahlul Bait As (dikedua negara tersebut) tidak ada lagi yang tersisa.”

Ismail Amin

Warga Negara Indonesia, sementara menetap di Qom Iran

[Biografi mereka yang gugur syahid menjaga Haram Ahlul Bait As, bisa dilihat di site ini:http://modafeaharam.persianblog.ir/ ]

Sumber:

http://id.abna24.com/index.php/cultural/paper/archive/2016/01/21/731362/story.html

 

LONDON VS TEHRAN

Tulisan saya LONDON VS TEHRAN menghilang misterius. Jadi saya posting ulang. FYI, semua tulisan saya buat copy-nya di blog (www.dinasulaeman.wordpress.com), jadi kalau hilang lagi, silahkan mampir ke blog.

==========

LONDON VS TEHRAN 🙂

Di tulisan saya sebelumnya, saya kutip tulisan jurnalis Inggris papan atas, Robert Fisk, yang menyatakan bahwa cara media Barat menyajikan berita tentang Aleppo menyalahi kaidah jurnalisme (ia pun mengakui bahwa media massa Barat telah membohongi publik selama bertahun-tahun).

Nah, ada seorang dosen jurnalistik yang pernah S3 di Inggris (tak tahu saya, lulus atau tdk) yang sepertinya tak paham kaidah jurnalisme yang benar sehingga tulisan-tulisannya tentang Suriah sangat berpihak pada Al Qaida* (alias “mujahidin”) dan kalau ada yang membantahnya, yang bisa dia katakan cuma syiah, syiah, syiah. Terakhir, dia “membantah” (secara terbuka, di FB) tulisan-tulisan saya bukan dengan meng-counter data yang saya berikan, tetapi menyebut saya pembohong [hey, bukannya para simpatisan “mujahidin” yang kedapatan berkali-kali pakai foto hoax soal Suriah? Saya ada filenya pdf 123 hal, bisa diunduh [1] Kok jadi maling teriak maling nih 🙂 ] dan menyoroti background saya yang pernah S2 di Iran. It’s an argumentum ad hominem fallacy, you know? 🙂

Betapa lucunya. Karena saya pernah dapat beasiswa S2 dari pemerintah Iran di Fakultas Teologi di Tehran University, tulisan saya harus ditolak. Sementara, tulisan orang yang dapat beasiswa S2-S3 dari Inggris, belajar dari dosen-dosen “kafir”, harus diterima 🙂

[kata “kafir” ini satire lho ya, kawan-kawan non-Muslim jangan tersinggung 🙂 ]

[Sekedar info, saya cuma kuliah 1 semester belajar bahasa Persia dan 1 semester matrikulasi. Saya tidak lanjutkan karena, antara lain, saya tidak terlalu berminat di bidang ini. Tapi minimalnya saya jadi tahu kultur belajar di Tehran, antara lain mahasiswinya kritis2, tanya-jawab dengan dosen jadi seolah “berantem”. Gelar master dan doktor saya dapat dari HI Unpad.]

Tapi, seperti pernah saya tulis di status, ibu-ibu kalau udah benci emang susah diajak mikir. #saveibukibuk

Jadi, mari kita bahas saja soal Inggris-nya. Masa Iran terus yang disalah-salahin. Ada yang menarik dari negerinya Ratu Elizabeth ini, yaitu memberikan suaka dan perlindungan kepada tokoh-tokoh Muslim yang jadi “pengacau”. Misalnya, Salman Rushdie yang bikin buku menghina Nabi Muhammad, sampai hari ini mendapat perlindungan keamanan dari pemerintah Inggris. Inggris juga melindungi tokoh yang sering dijadikan rujukan untuk membuktikan “kekafiran Syiah”, namanya Yasir Habib (YH).

YH ini tinggal di London, punya stasiun televisi, media cetak, website, dan madrasah. Dia adalah menantu dari Mojtaba Shirazi, yang juga jadi “ulama” Syiah di London. Mojtaba Shirazi adalah adik dari Ayatullah Sadeq Shirazi (tinggal di Iran, tapi aktivitasnya sudah banyak dicekal karena bertentangan dengan fatwa pemimpin tertinggi Iran). Keluarga Shirazi punya 13 stasiun televisi yang dipancarkan lewat satelit dari luar Iran dan biaya operasional stasiun televisi mereka mencapai 1,235 juta Dollar per bulan. Ayatullah Khamenei (pemimpin tertinggi di Iran) pernah menyebut istilah “Syiah London” untuk ulama-ulama kaya raya yang tinggal di London dan aktif menyebarkan siaran-siaran tivi yang mereka klaim sebagai ajaran Syiah (misal: syahadat beda, melaknat Sahabat, melaknat Ummul Mukminin Aisyah ra, dll). [2]

Inggris adalah juga sponsor utama proyek penggulingan Assad, menyuplai dana dan senjata. Dana yang digelontorkan Inggris antara lain untuk membentuk LSM White Helmets (WH). Kata Telegraph, Inggris mengeluarkan dana 3,5 juta poundsterling untuk WH. WH didirikan oleh mantan agen intel Inggris, James le Mesurier, yang juga pernah menjadi staf di perusahaan keamanan swasta yang beroperasi di Irak, Olive dan Good Harbour, yang terlink juga dengan Blackwater yang sangat kejam itu. WH juga terlink dengan berbagai organisasi kotor lainnya. [3]

Bukti lain bahwa Inggris mendukung “mujahidin” adalah kata-kata dari mantan Dubes Inggris untuk Suriah, dalam wawancaranya dengan BBC pasca pembebasan Aleppo. Peter Ford mengatakan: yang harus dilakukan Inggris adalah tiga hal: hentikan dukungan pada “oposisi yang gagal”; bantu rakyat Suriah dengan cara menghapus sanksi ekonomi; dan bekerjasama dengan pemerintah Rusia dalam penyelesaian konflik melalui langkah politik. [4]

Nah balik lagi ke Syiah (*cape deeeeh..), saya upload di sini video yang memperlihatkan siapa Yaser Habib al Londoni, dan kecaman dari Sayid Hasan Nasrallah (pemimpin Hizbullah, milisi yang berhasil mengusir Israel keluar dari Lebanon selatan; dan membantu Assad dalam mengusir Al Qaida dan ISIS), atas perilaku orang-orang dari London itu. Menarik untuk dicermati.

Poin pentingnya, karena saya selama ini selalu pakai kacamata geopolitik dan ekonomi politik dalam menganalisis konflik, kata kuncinya adalah “follow the money”. Mengapa Inggris justru melindungi orang semacam YH? Dari mana YH dan gang-nya punya uang 1,2 juta dollar perbulan untuk operasional tivi-tivi yang menjadi amunisi perpecahan Muslim? Kok tivi-tivi mereka dibiarkan Inggris, sementara Al Manar (milik Hizbullah) dan Press TV (milik Iran) diblokir? Buat yang terbiasa mikir geopolitik dan ekopolin, bel di kepalanya akan langsung berdenting: it smells fishy, huh?

Oiya, sekedar pamer teori [ehm, masa’ udah S3 nulis kaga pakek teori, dan cuma bisa koor ‘syiah-syiah’, ya ngga? 😀 ] minimalnya ada empat faktor yang terlibat dalam sebuah konflik, yaitu triggering factors (pemicu), pivotal (akar), mobilizing (peran pemimpin), dan aggravating (faktor yang memperburuk situasi konflik). Keempat faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi. Menurut saya, isu Sunni-Syiah bukan akar konflik tapi ini menjadi triggering factor. [5]

So, selamat berpikir.

Ref:
*Saya menyebut Al Qaida untuk memudahkan. Kelompok “mujahidin” ada puluhan dg berbagai nama, tapi basis ideologi mereka sama [takfirisme]; mereka semua saling “bersepupu” dg Al Qaida. ISIS pun sempalan dari Al Qaida.
[1] PDF kompilasi hoax Suriah, inipun masih versi lama. Hoax2 terbaru belum masuk ke sini: https://dinasulaeman.files.wordpress.com/…/kompilasi-hoax-t…
[2] Wawancara saya dengan Dr. Muhsin Labib tentang Syiah: https://dinasulaeman.wordpress.com/…/apakah-syiah-takfiri…/…
Wawancara saya dengan Ustadz Agus Nizami tentang Sunni:
https://dinasulaeman.wordpress.com/2013/06/03/sunni-takfiri/
[3] Prahara Aleppo-2 https://dinasulaeman.wordpress.com/…/…/02/prahara-aleppo-2/…
[4] Wawancara dg Peter Ford https://www.youtube.com/watch?v=ZtFtofShy5s
[5] buku Prahara Suriah (Dina Sulaeman), 2013

 

INILAH 10 KESESATAN HIZBUT TAHRIR ALIAS HTI

Inilah 10 Kesesatan Hizbut Tahrir Alias HTI

gerilyapolitik.com 22 April 2017

#BubarkanHTI

Bagi sebagian umat Islam, retorika Hizbut Tahrir tentang mengembalikan kejayaan Islam melalui sistem kepemimpinan Khilafah mungkin terkesan menarik. Namun kalau dipelajari, sistem pemerintahan yang ditawarkan sebenarnya mengandung banyak persoalan serius.

Berikut sejumlah cacat pikir sistem Khilafah yang ditawarkan HT.

Pertama, HT memutlakkan konsep Khilafah sebagai satu-satunya model pemerintahan dalam Islam. Dalam konsep ini, HT tidak percaya bahwa Indonesia boleh berdiri independen sebagai sebuah negara bangsa. HT percaya bahwa kaum muslim Indonesia harus tunduk pada pemerintahan Khilafah dunia Islam di bawah seorang Khalifah yang mungkin saja berada di negara lain (misalnya di Arab Saudi atau di Iraq atau di tempat lain). Pemimpin pemerintahan di Indonesia harus tunduk pada Khalifah itu.

Kedua, sebagai konsekuensi dari pandangan pertama, HT tidak percaya pada konsep Negara Kesatuan RI yang berdaulat. Indonesia adalah bagian dari Khilafah Islam. Indonesia adalah semacam ‘negara bagian’ dari Khilafah. Bila Indonesia menolak keputusan Khalifah, pemimpin di Indonesia bisa diganti. Lebih buruk lagi, bila Indonesia tetap menolak setelah ada ancaman sanksi oleh Khalifah, Indonesia bisa diperangi.

Ketiga, HT tidak percaya pada Pancasila, pada UUD 45 dan segenap rujukan konstitusi negara Indonesia. HT tidak percaya pada demokrasi, tidak percaya pada pemilu. Bila saat ini HT menerimanya, itu hanya untuk sementara. Dalam bayangan HT, suatu saat nanti Indonesia harus diubah menjadi menjadi bagian dari Khilafah Islam.

Keempat, HT menomorduakan warga non-Islam. Dengan kata lain, HT diskriminatif. Dalam konsep Khilafah Islam yang dibayangkan HT, kaum, non-Islam adalah warga kelas dua. Melalui jargon izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan orang-orang Islam), HT menganakemaskan kelompok Muslim seraya menganaktirikan kelompok yang lain. Ini tidak berarti warga non-Islam tidak mendapat pelayanan pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Tapi kaum non-muslim tidak memiliki hak politik yang sama, misalnya dalam hal memilih pemimpin.

Baca:

Ketua MUI: Khilafah Tidak Cocok di Indonesia, Jangan Buat Sistem BaruFPI Bogor Menolak Forum Khilafah HTI di Masjid Arifin Ilham di SentulGP Ansor DKI Menolak Forum Khilafah Internasional

Kelima, dalam Khilafah yang dibayangkan HT, kalaulah ada partai politik, maka partai politik itu haruslah berupa partai politik Islam. Kalaulah ada pemilu, pemilu tersebut hanya boleh diikuti umat Islam.

Keenam, pemilu pada dasarnya hanyalah pilihan terakhir. Yang ideal dalam pola pemilihan pemimpin adalah pemilihan melalui keputusan organisasi semacam majelis alim-ulama yang mempersatukan para ulama dan cerdik pandai. Dalam hal ini setiap negara yang menjadi bagian dari Khilafah (misalnya saja Indonesia, Malaysia, Brunei, Iraq dan seterusnya) akan mengajukan nama para calonnya yang akan ditetapkan semacam Majelis Sentral Alim Ulama di pusat Khilafah.

Ketujuh, HT tidak percaya pada parlemen yang mengendalikan Khalifah dan pemerintah. Dalam konsep HT, begitu seorang pemimpin terpilih dan dibaiat (disumpah), seluruh rakyat dalam Khilafah harus tunduk dan percaya padanya. Si pemimpin kemudian harus menjalankan kepemimpinan dengan senantiasa merujuk pada Syariah. Ia lah yang menunjuk para pembantunya, termasuk menunjuk pemimpin di setiap daerah yang menjadi bagian dari Khilafah.

Kedelapan, dalam konsep ini seorang Khalifah tidak memiliki batas waktu kepemimpinan. Dia baru diganti kalau wafat, tidak lagi melandaskan kepemimpinannya pada Syariah atau memimpin dengan cara yang zalim. Bila ia melanggar Syariah, ia boleh ditumbangkan dengan kekerasan.

Kesembilan, selama ia masih memimpin berdasarkan Syariah, keputusan Khalifah tidak boleh tidak dituruti. Rakyat dan para alim ulama, kaum cerdik pandai, bisa saja memberi masukan, namun keputusan terakhir da di tangan Khalifah. Mereka yang berani tidak taat akan dianggap sebagai melakukan pembangkangan. Dan mereka yang membangkang bisa dihukum mati.

Kesepuluh, HT anti-keragaman hukum. HT menganggap tidak perlu ada UU yang dibuat oleh para wakil rakyat. HT percaya Syariah saja sudah cukup. Namun bila memang ada kebutuhan untuk mengeluarkan peraturan, Khalifah dan pembantu-pembantunya dapat saja membuat peraturan yang mengikat seluruh warga.

Itulah setidaknya sepuluh persoalan serius dalam tawaran konsep Khilafah menurut HT yang jelas-jelas bertentangan dengan gagasan NKRI dan demokrasi. Masih ada yang tertarik?

(madinaonline/gerpol)

 

WASPADA! HTI MULAI BERANI, BERAKSI DIKOTA SANTRI

Serambimata.com – Gerakan anti Pancasila dan pengusung sistem khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia Indonesia (HTI) makin berani dan terang-terangan menyebarkan ideologinya di berbagai penjuru Indonesia, tak ketinggalan di Kabupaten Situbondo. Di daerah yang dikenal sebagai kota santri itu, HTI mulai berani unjuk gigi mengibarkan bendera khilafahnya di tempat-tempat umum bahkan di salah satu kampus swasta di Situbondo. 

Melalui akun grup facebook yang dikelola HTI Situbondo bernama “Situbondo Rindu Syariah” terungkap bagaimana kelompok yang bercita-cita mengganti ideologi Pancasila dengan sistem khilafah itu secara intens mengkampanyekan misi-misi mereka melalui kegiatan-kegiatan berbungkus sasial dan keagamaan dengan latar belakang kampus, rumah makan, bahkan masjid hingga tempat-tempat strategis lainnya. 

Salah satu kegiatan HTI Situbondo di salah satu rumah makan 

Salah satu ajakan yang mereka unggah di komunitasnya itu tertulis “Tidak ada jalan untuk menyudahi nestapa bagi umat ini, kecuali dengan menerapkan Syari’ah Islamsecara utuh dalam bingkai KhilafahRasyidah’ala Minhaj an-nubuwwa. Maka wahai kaum muslimin mari segera kita wujudkan syari’ah Islam”. Bahkan di akhir ajakannya dilengkapi dengan kata-kata propaganda yang menjadi target HTI di Indonesia, mereka menulis “Syariah dan Khilafah Harga Mati”

Pada bagian lain di laman yang sama, mereka menyampaikan rasa optimismenya bahwa khilafah akan kembali. Lebih dari itu, dengan disertai gambar sekelompok orang bersenjata lengkap mirip ISIS mereka menulis bila ada yang mengatakan bahwa khilafah tidak mungkin tegak, itu hanya ilusi orang Utopia, omong kosong. 

Tidak hanya itu, pada akun facebook yang diyakini sebagai anggota HTI banyak ditemukan unggahan status yang mengagung-agungkan sistem khilafah dan memimpikan dapat menggantikan ideologi Pancasila, bahkan tanpa canggung mereka memperlihatkan foto-foto sambil mengibarkan bendera khilafah di tempat-tempat umum. 

PMII Kecam Aksi HTI di Salah Satu Kampus Swasta di Situbondo


Terungkapnya  beberapa aksi mahasiswi di salah satu kampus swasta yang tanpa canggung berfoto dengan memampangkan bendera HTI menandakan bahwa HTI di Situbondo benar-benar ada. Atas fakta tersebut Ketua PC PMII Situbondo Achmad Hasan mengecam aksi kelompok yang dianggapnya dapat membahayakan keutuhan NKRI tersebut. 

Karenanya ia berharap agar pemerintahan lebih jeli terhadap kelompok fundamentalis penentang Pancasila yang ingin menghancurkan keutuhan NKRI. Tidak hanya itu, ia meminta agar semua elemen masyarakat, terutama pemerintah dan aparat penegak hukum menindak tegas upaya kelompok anti Pancasila seperti HTI yang dapat merongrong keutuhan NKRI. 

Sejumlah mahasiswa di depan Universitas Abdurrahman Shaleh (UNARS) dengan bendera Khalifah di tangannya

Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara paket fikrah (pemikiran) dan harakah(gerakan) Islamiyah mutakhir luar negeri yang masuk ke Indonesia dalam kurun dasa warsa terakhir. Di Indonesia gerakan mereka dikenal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dengan terang-terangan hendak mengubah ideologi Pancasila Indonesia dan mengusul sistem khilafah. Tentu, hal ini merupakan bentuk perlawanan serta tindakan makar yang berujung pada perpecahan NKRI.

PENENTANG RAIS AAM NU

Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini

Pos baru pada Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu

Penentang Rais Aam NU

oleh mutiarazuhud

Mereka mengaku warga NU namun menentang kebijakan Rais Aam Syuriah PB NU

KH A Hasyim Muzadi mempertanyakan bahwa yang mimpin PBNU Rais ‘Aam apa Rais Awam

KH A Hasyim Muzadi menyampaikan kenyataan bahwa Rais ‘Aam Syuriah PBNU sebagai pemimpin yang punya otoritas paling tinggi ternyata tak dihormati bahkan dilawan oleh jajaran Tanfidziah PBNU seperti Nusron Wahid yang dikabarkan telah mengundurkan diri. Pengunduran diri ini adalah konsekuensi logis dari AD/ART dan Peraturan Organisasi Nahdlatul Ulama yang melarang pengurus NU merangkap jabatan di partai politik sebagaimana kabar yang kami arsip padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/10/31/nusron-bukan-dipecat/

Rais 'Aam adalah pemimpin dewan Syuriah. Syuriah adalah badan musyawarah yang mengambil keputusan tertinggi dalam struktur kepengurusan NU. Dalam konteks kenegaraan, syuriah bisa dikatakan sebagai dewan legislatif. Asal-usul kata Syuriah diambil dari kata syawara, artinya adalah bermusyawarah.

Tanfidziah adalah badan pelaksana harian organisasi NU. Tidak seperti pada syuriah, pemimpin tertinggi tanfidziah disebut ketua umum, bukan rais aam. Asal mula kata tanfidziyah diambil dari kata naffadza, berarti melaksanakan kebijakan dewan Syuriah.

Gus Sholah mengingatkan bahwa NU sudah menggariskan di dalam Muktamar NU bahwa sikap NU seperti apa. Rais Amm juga sudah punya sikap. Jangan ada aktivis NU mengambil sikap berbeda. Itu tidak sehat sebagaimana berita yang kami arsip padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/01/24/jangan-sikap-berbeda/

Contohnya GP Anshor sebagai salah satu badan otonom yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama koq bisa berbeda dengan pengambil kebijakan tertinggi di Nahdlatul Ulama yakni Rais 'Aam Syuriah PB NU.

Wakil Rais' Aam PBNU, KH Miftahul Akhyar menegaskan sikap NU dalam Pilkada DKI Jakarta di putaran kedua ini harus memilih pemimpin yang muslim. Karena memilih pemimpin non muslim itu haram hukumnya.

"bagi yang memilih pemimpin non muslim seperti anak-anak GP Ansor itu, karena hanya melihat hendak menolak dhoror-nya cagub Anies (karena didukung PKS), padahal belum jelas dhoror-nya (mafhum).

“Akhirnya, mereka (Ansor) justru menarik beberapa dhoror yang nyata yaitu Ahok dan orang-orang kafir. Ini keblinger. Lho wong masih bisa memilih pemimpin muslim, kok malah menghalalkan memilih non muslim,” katanya.

Jadi menurut sang Kyai, tidak benar dalilnya anak-anak Ansor ini. Mestinya, kata dia, dipakai dalil sebaliknya, yaitu memperbolehkan memilih Ahok akan dipakai wasilah non muslim lainnya merebut pimpinan negara, termasuk Presiden. Itu haram! sebagaimana contoh berita padahttp://www.aktual.com/gp-ansor-halalkan-pemimpin-non-muslim-kiyai-sepuh-nu-dasar-mereka-itu-keblinger/

Begitupula Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB Jakarta yang merupakan parpol yang dilahirkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai kebijakan yang berbeda dengan kebijakan Rais 'Aam Syuriah PBNU.

Salah satu alasan yang disampaikan oleh Ketua DPW PKB DKI, Hasbiallah Ilyas adalah bahwa "Wajib hukumnya Jakarta dipegang oleh Ahlus-Sunnah wal Jama'ah. Pak Djarot ini orang NU asli. Dia datang ke pengajian bukan cuma di Pilkada. Waktu jadi wakil gubernur sering keliling sama PKB, itu tanda beliau menghormati kami kaum Nahdliyin dan PKB," terangnya sebagaimana contoh berita pada http://www.beritasatu.com/aktualitas/424179-pkb-dki-resmi-dukung-ahokdjarot.html

Jadi jelaslah bahwa mereka mengaku sebagai warga NU namun menentang kebijakan Rais 'Aam Syuriah PB NU

Dalam keputusan Bahtsul Masail PCNU Kota Surabaya 25 September 2016 bahwa memilih pemimpin non muslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden menjadi haram sebab memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya sebagaimana yang diberitakan pada http://www.muslimoderat.com/2016/09/bahtsul-masail-surabaya-haramkan-pilih.html?m=1

Berikut kutipan pertimbangannya

*****awal kutipan *****
1) Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non muslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong non muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum.

Meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non muslim―baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.

Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya—baik dalam ucapan maupun perbuatan—terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan.

Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.

2) Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin 1) terdapat khilaf, seperti menjadikan non muslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat—yang lemah—yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin non muslim.

Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas non muslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada.

Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin non muslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar.

Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.

3) Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat.

4) Asumsi memilih pemimpin non muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.

5) Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: “Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim”, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat beberapa ulama, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.

6) Asumsi bahwa penafsiran kata ‘auliya dengan makna pemimpin/penguasa—dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan non muslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim, tidak sepenuhnya benar.

Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada non muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah.
***** akhir kutipan *******

Khalifah Umar bin Khattab pernah menyuruh Abu Musa Al Asy’ari memecat sekretarisnya karena ia Nasrani lalu Umar membaca surat Al Maidah 51 sebagaimana yang tercantum dalam tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. tafsir Ibn Abi Hatim dan sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.

Kisah tersebut dicantumkan pula dalam Tafsir al-Qurtubi ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala yang artinya,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS Ali Imran [3] : 118)

Ucapan sayyidina Umar dalam Tafsir al-Qurtubi, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.

Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.

Firman Allah Ta’ala

“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )

Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’

Pilkada di DKI bukanlah masalah Bhinneka Tunggal Ika ataupun keberagaman (pluralitas) namun umat Islam di DKI boleh tidak memilih Ahok pakai (berdasarkan) QS Al Maidah ayat 51.

Hal yang dilarang adalah menyalahgunakan ayat bukan menggunakan ayat.

Tidak boleh melarang umat Islam menggunakan ayat Al Qur’an maupun Hadits untuk menjalani kehidupan seperti berpolitik.

Apalagi yang menggunakan ayat adalah para fuqaha yakni ulama yang faqih atau berkompeten dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits berdasarkan cara instibat yang dicontohkan oleh Imam mazhab yang empat maka fatwa mereka wajib diikuti oleh orang-orang yang mengaku muslim.

Umat Islam di DKI diharapkan dapat menggunakan “tangannya” untuk memilih.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

QS Al Maidah ayat 51 memang bukan untuk non muslim yakni orang-orang yang belum beriman kepada Al Qur’an.

Namun jika orang-orang yang mengaku beriman kepada Al Qur’an namun melanggar larangan Allah Ta’ala seperti yang tercantum dalam QS Al Maidah ayat 51 maka dengan sendirinya terjerumuslah mereka menjadi kaum munafik sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/04/06/terjerumus-munafik/

Berikut kutipan dari kitab tafsir Jalalain karya Imam Suyuthi yang menafsirkan auliya adalah teman dekat yang diikuti alias pemimpin.

****** awal kutipan ******
yaa ayyuhaal ladziina aamanuu laa tattakhidzuul yahuuda wal nashaaraa awliyaa-a, (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintai

ba’dhuhum awliyaau ba’dhin , (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran.

waman yatawallahum minkum fa-innahu minhum , (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka.

inna allaaha laa yahdiil qawmazhzhaalimiina, (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka.
****** akhir kutipan *****

Sedangkan pada ayat selanjutnya (QS Al Maidah [5]: 52) yang menjelaskan keadaan atau saat turunnya (asbabun nuzul) ayat (QS Al Maidah [5]: 51), Imam Suyuthi menyampaikan

Firman Allah Ta’ala,

Fataraal ladziina fii quluubihim maradhun, (Maka kamu lihat orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit) yakni lemah akidahnya seperti Abdullah bin Ubai gembong munafik itu

yusaari’uuna fiihim, (bersegera kepada mereka) untuk mengambil mereka sebagai pemimpin

yaquuluuna, (seraya katanya) mengemukakan alasan dari sikap mereka itu.

nakhsyaa an tushiibanaa daa-iratun, ( “kami takut akan mendapat giliran bencana.”) misalnya giliran musim kemarau, kekalahan, sedangkan urusan Muhammad tidak berketentuan sehingga tidak dapat membela kami. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala,:

fa’asaa allaahu an ya/tiya bialfathi, (Semoga Allah mendatangkan kemenangan) kepada rasul-Nya dengan mengembangkan agama-Nya,

aw amrin min ‘indih, (atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya) misalnya dengan membuka kedok orang-orang munafik dan menyingkapkan rahasia mereka

fayushbihuu ‘alaa maa asarruu fii anfusihim (sehingga mereka atas apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka) berupa keragu-raguan dan mengambil orang-orang kafir itu sebagai pemimpin

naadimiina (menjadi menyesal) (tafsir Jalalain QS Al Maidah [5] : 52)

Jadi jelaslah bahwa Allah Ta’ala telah berfirman tentang siapa yang dimaksud orang-orang munafik tersebut yang menjadikan orang-orang kafir sebagai “teman dekat” atau “teman sekutu” adalah menjadikan pemimpin yang diikuti dan dicintai karena mereka takut akan mendapatkan bencana atau kesukaran hidup di dunia alias “demi kepentingan dunia” sehingga mereka meragukan dan meninggalkan kepemimpinan Rasulullah.

Dalam fatwa MUI No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang kesesatan paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama yang dapat diunduh (download) pada http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdf telah pula diingatkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maa-idah [5]:8 )

Bagi umat Islam, jika berbeda pendapat maka kembalikanlah kepada Allah Ta’ala (Al Qur’an) dan RasulNya (Hadits) dengan mengikuti “ulil amri di antara kamu” yakni para fuqaha karena Rasulullah melarang kita mengikuti akal pikiran sendiri.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)

Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.

Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.

Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)

Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.

Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.

Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin

***** awal kutipan *****
Pasal 1

Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.

Pasal 17

Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu

Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka

Pasal 36 ayat 1

Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****

Selengkapnya piagam Madinah pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/03/piagam-madinah.pdf

Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.

Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.

Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.

Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.

Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”

Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.

Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.

Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.

Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.

Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).

Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)

Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.

Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.

Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha.

Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei.

Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.

Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.

Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.

Begitupula terhadap umaro (penguasa negeri) yang mengaku muslimpun namun tidak mentaati para fuqaha atau kebijakan umaro (penguasa negeri) menurut pendapat para fuqaha, ada yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka wajib kita ingkari dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.

Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])

Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu

1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

mutiarazuhud | 16 April 2017 pukul 9:52 pm | Tag:banserDPW PKBGP Anshorkebijakanmenentang pendapatPB NUrais aam syuriah | Kategori: Islam,PolitikUmum | URL: http://wp.me/ptHza-4cT

Komentar   Lihat semua komentar   Suka

Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: 
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/04/16/penentang-rais-aam-nu/

Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com

BERBUAT BAIK BUKAN DI IKUTI

Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini

Pos baru pada Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu

Berbuat baik bukan diikuti

oleh mutiarazuhud


Boleh berbuat baik kepada mereka namun terlarang menjadikan teman setia yang diikuti

Ucapan sayyidina Umar dalam Tafsir al-Qurtubi ketika menafsirkan QS Ali Imran [3] ayat 118

“Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”

Firman Allah Ta'ala yang artinya,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS Ali Imran [3] : 118)

"Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )

Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’

Dalam kitab tafsir Jalalain, Imam Suyuthi menyampaikan bahwa tidak terlarang BERBUAT BAIK kepada mereka alias pergaulan sosial namun terlarang menjadikan mereka teman setia yang diikuti

Berikut kutipan tafsir (QS Al Mumtahanah [60] : 8)

***** awal kutipan *****
laa yanhaakumullaahu ‘anil ladziina lam yuqaatiluukum
(Allah tiada melarang kalian terhadap orang-orang tidak memerangi kalian) dari kalangan orang-orang yang kafir.

Fid diini wa lam yukhrijuukum min diyaarikum an tabarruuhum
(karena agama dan tidak mengusir kalian dari negeri kalian untuk BERBUAT BAIK kepada mereka) lafaz an tabarruhum menjadi badal isytimal dari lafaz al-ladzina

Wa tuqsithuu
(dan berlaku adil) yaitu melakukan peradilan

ilaihim
(terhadap mereka) dengan secara adil. Ayat ini diturunkan sebelum ada perintah berjihad melawan mereka

innaallaaha yuhibbul muqsithiin.
(sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil) yang berlaku adil.
***** akhir kutipan ******

Berikut kutipan dari kitab tafsir Jalalain karya Imam Suyuthi yang menafsirkan auliya adalah teman dekat yang diikuti alias pemimpin.

****** awal kutipan ******
yaa ayyuhaal ladziina aamanuu laa tattakhidzuul yahuuda wal nashaaraa awliyaa-a, (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintai

ba’dhuhum awliyaau ba’dhin , (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran.

waman yatawallahum minkum fa-innahu minhum , (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka.

inna allaaha laa yahdiil qawmazhzhaalimiina, (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka.
****** akhir kutipan *****

Sedangkan pada ayat selanjutnya (QS Al Maidah [5]: 52) yang menjelaskan keadaan atau saat turunnya (asbabun nuzul) ayat (QS Al Maidah [5]: 51), Imam Suyuthi menyampaikan

Firman Allah Ta’ala,

Fataraal ladziina fii quluubihim maradhun, (Maka kamu lihat orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit) yakni lemah akidahnya seperti Abdullah bin Ubai gembong munafik itu

yusaari’uuna fiihim, (bersegera kepada mereka) untuk mengambil mereka sebagai pemimpin

yaquuluuna, (seraya katanya) mengemukakan alasan dari sikap mereka itu.

nakhsyaa an tushiibanaa daa-iratun, ( “kami takut akan mendapat giliran bencana.”) misalnya giliran musim kemarau, kekalahan, sedangkan urusan Muhammad tidak berketentuan sehingga tidak dapat membela kami. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala,:

fa’asaa allaahu an ya/tiya bialfathi, (Semoga Allah mendatangkan kemenangan) kepada rasul-Nya dengan mengembangkan agama-Nya,

aw amrin min ‘indih, (atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya) misalnya dengan membuka kedok orang-orang munafik dan menyingkapkan rahasia mereka

fayushbihuu ‘alaa maa asarruu fii anfusihim (sehingga mereka atas apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka) berupa keragu-raguan dan mengambil orang-orang kafir itu sebagai pemimpin

naadimiina (menjadi menyesal) (tafsir Jalalain QS Al Maidah [5] : 52)

Jadi jelaslah bahwa Allah Ta’ala telah berfirman tentang siapa yang dimaksud orang-orang munafik tersebut yang menjadikan orang-orang kafir sebagai “teman dekat” atau “teman sekutu” adalah menjadikan pemimpin yang diikuti dan dicintai karena mereka takut akan mendapatkan bencana atau kesukaran hidup di dunia alias “demi kepentingan dunia” sehingga mereka meragukan dan meninggalkan kepemimpinan Rasulullah.

Salah satu kelebihan kitab Tafsir Jalalain adalah kitab tafsir yang lebih menonjolkan pembahasan mengenai penganalisaan segi susunan kalimat, asal usul katanya dan bacaannya. Dengan kata lain, menonjolkan penganalisaan mengenai ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan segi qiraahnya.

Penguasaan terhadap ilmu-ilmu tersebut merupakan prasyarat untuk memahami Al Qur'an dan Hadits dengan pemahaman yang benar karena ilmu nahwu, sharaf, balaghah terbentuk dari sumber referensi bahasa Arab yang asli.

Selain itu kitab tafsir Jalalain memperhatikan asbabun nuzul dan nasikh wal mansukh.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

mutiarazuhud | 15 April 2017 pukul 3:50 pm | Tag: Boleh berbuat baikmenjadikanPemimpinpergaulan sosial,teman setia yang diikutiterlarang | Kategori: Islam,PolitikUmum | URL: http://wp.me/ptHza-4cZ

Komentar   Lihat semua komentar   Suka

Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: 
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/04/15/berbuat-baik-bukan-diikuti/

Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com

Kamis, 27 April 2017

AHAD DAN MUDHTHARIB

Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini

Pos baru pada Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu

Ahad dan mudhtharib

oleh mutiarazuhud


Aqidah mereka berdasarkan hadits ahad yang mudhtharib

Salah satu satu pokok permasalahan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat dalam perkara aqidah , salah satunya mereka berpegang pada hadits ahad (satu jalur perawi) yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”

Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan dari hadits tersebut adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”

Sedangkan hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak Jariyah diperselisihkan.

Dalam istilah para ulama hadits, riwayat yang diperselisihkan matan (redaksinya) oleh para perawi disebut mudhtharib, hadits kacau (guncang) matan (redaksinya).

Kekacauan (keguncangan) matan (redaksi) dalam hadits tersebut disebabkan sebagian perawi meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja). Karenanya ia terjatuh dalam kesalahan. Sementara matan (redaksi) hadits yang benar ialah tidak ada pertanyaan: “Di mana Allah?”

Jadi pada bagian kisah budak Jariyah adalah matan (redaksi) dari dia secara pribadi berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami yang baru masuk Islam ketika meriwayatkan kisah budak Jariyah.

Jumhur ulama telah sepakat bahwa pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami diragukan ke-shohih-annya dan seandainya shohih hadits tersebut maka pertanyan “di mana Allah” sekedar untuk mengetahui apakah budak Jariyah masih menunjuk berhala atau tidak.

Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata : “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.

Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).

Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.

Alasan lain kekacauan (keguncangan) matan (redaksi) hadits yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami pada bagian kisah budak Jariyah sehingga diperselisihkan adalah karena melanggar larangan dari Rasulullah.

Rasulullah telah melarang untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya dan menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla sebagai wujud perbuatanNya.

Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.

Imam Sayyidina Ali ra mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“

Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”

Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.

Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Syaikh Nawawi al Bantani berkata, Barang siapa meninggalkan 4 kalimat maka sempurnalah imannya, yaitu

1. Dimana
2. Bagaimana
3. Kapan dan
4. Berapa

Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Dimana Allah ? Maka jawabnya: Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh masa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Bagaimana sifat Allah ? Maka jawabnya: Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Kapan adanya Allah ? Maka jawabnya: Pertama tanpa permulaan dan terakhir tanpa penghabisan
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Ada Berapa Allah ? Maka jawabnya : Satu Sebagaimana firman Allah Ta`ala di dalam Qalam-Nya Surat Al-Ikhlas ayat pertama : “Katakanlah olehmu : bahwa Allah itu yang Maha Esa (Satu).
Jika ada orang yang bertanya pada Anda, Bagaimana Dzat dan sifat Allah ? Maka jawabnya : Tidak boleh membahas Dzat Allah Ta`ala dan Sifat-sifatNya, karena meninggalkan pendapat itu sudah termasuk berpendapat. Membicarakan Zat Allah Ta`ala menyebabkan Syirik. Segala yang tergores didalam hati anda berupa sifat-sifat yang baru adalah pasti bukan Allah dan bukan sifatNya.

Berikut kutipan percakapan antara Imam Abu Hanifah dengan seorang atheis yang menanyakan tentang DzatNya

Orang Atheis : ” Bagaimana bentuk Dzat Tuhan, apakah dia seperti air, besi atau seperti asap ?”
Imam Abu Hanifah : “Pernahkah anda melihat orang sakratul maut dan meninggal? apakah yang terjadi?”
Orang Atheis : “Keluarnya ruh dari jasad “.
Imam Abu Hanifah : ” Bagaimana bentuk ruh ?”
Orang Atheis : “Kami tidak tahu”
Imam Abu Hanifah : ” Bagaimana kita bisa menjelaskan ruh Dzat Tuhan, sementara ruh ciptaan -Nya saja anda tidak tahu”.

Orang Atheis : “Lantas di tempat manakah tuhan berada?”
Imam Abu Hanifah : “Kalau kita menyuguhkan susu segar, maka di dalam susu itu adakah minyak samin?”
Orang Atheis : “ya.”
Imam Abu Hanifah : ” Dimanakah letak minyak samin?”
Orang Atheis : “Minyak samin itu bercampur menyebar di dalam kandungan susu”.
Imam Abu Hanifah : ” Bagaimana aku harus menujukkan dimana Allah berada, kalau minyak samin yang ciptaan manusia saja tidak dapat anda lihat dalam kandungan susu itu?”

Sedangkan ungkapan-ungkapan seperti,

“Allah wujud (ada) di mana mana”

atau

“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”

bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).

Buya Yahya dari lembaga pengembangan da’wah Al-Bahjah. Cirebon menganjurkan untuk “mengusir” orang-orang yang berdakwah dengan bertanya di mana Allah.

Beliau juga menganjurkan untuk merobek selebaran atau brosur dakwah yang memuat aqidah berdasarkan pertayaan di mana Allah.

Buya Yahya menjelaskan bahwa telah bermunculan kelompok orang yang mengaku dirinya salaf namun dia tidak mewakili salaf karena mereka memunculkan kesyirikan baru yakni beraqidah bahwa Allah berada atau bertempat atau menetap tinggi di langit atau di atas ‘arsy sebagaimana ceramahnya yang diupload pada http://www.youtube.com/watch?v=fS47nbe79wQ

Sebagai pembenaran aqidah, ada pula mereka mengutip perkataan ulama salaf ataupun Imam Mazhab yang empat namun permasalahannya mereka tidak membedakan apakah perkataan tersebut berfungsi menyampaikan untuk menjelaskan atau sekedar ‘ala sabilil hikayah, menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih lebih dari itu; yaitu tidak memaknakan (tafsir) atau tidak menetapkan maknanya (itsbatul ma’na) secara dzahir bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dalam arti bertempat di langit atau bertempat di atas ‘arsy.

Sebagaimana mereka memahami Al Qur’an dan Hadits selalu dengan makna dzahir maka seperti itu pula mereka memahami perkataan-perkataan para ulama terdahulu.

Contohnya mereka menyampaikan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,

الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”

Ternyata riwayat ini adalah riwayat yang sama sekali tidak benar sebab ghoiru tsabit.

Jika kita lihat di dalam kitab-kitab Adh-Dhu’afa’, Abdullah bin Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if.
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah bin Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Al-Imam bin Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan gharaib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”.
Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah bin Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis”. (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)

Dalam matan / redaksi di atas disebutkan “ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya” artinya ilmuNya pun meliputi langit maupun ‘Arsy

Allah Ta’ala berfirman bahwa yang meliputi ‘Arsy maupun langit dan segala sesuatu adalah ilmuNya bukan DzatNya

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS Ath Thalaq [65]:12)

“ilmu Engkau meliputi segala sesuatu” (QS al Mu’min / al Ghaafir [40]:7)

Sedangkan namaNya, sifatNya, perbuatanNya bukanlah DzatNya. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia

Contoh lainnya mereka mengutip perkataan Imam Abu Hanifah sebagaimana disebutkan dalam kitab Mukhtashar al-Uluw

Imam Abu Hanifah ditanya tentang seseorang yang berkata, “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Dia kafir, karena Allah berfirman, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.’(Thaha: 5), dan ArsyNya di atas langitNya.”

Imam Abu Hanifah ditanya lagi, dia berkata, “Aku berkata, Allah bersemayam di atas Arsy, tetapi aku tidak mengetahui apakah Arsy di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Jika dia mengingkari bahwa ia di langit maka dia kafir.”

Mereka mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah menetapkan sifat istiwa` bagi Allah, bahwa Allah bersemayam dalam arti bertempat atau berada di atas ArsyNya, di atas langitNya, beliau menetapkan kekufuran orang yang mengingkari hal ini. Hal ini sesuai pula dengan hadits yang meriwayatkan jawaban seorang budak “di langit” atas pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, aina Allah (di mana Allah)

Padahal yang dimaksud dengan kutipan perkataan Imam Abu Hanifah bahwa ada dua ungkapan seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod yakni

“Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?”

“Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”

Seseorang menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod dengan kedua ungkapan tersebut karena menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah.dan setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).

Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.

Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).

Contoh yang lain, mereka ada yang menyampaikan bahwa Imam Malik pernah berkata

“al Istiwa ma’lum wa al kaifiyyah majhulah”

“Istiwa (bersemayam) Allah seperti yang kita ketahui maknanya, mengimaninya wajib dan bagaimana Istiwa (bersemayam) Allah tidak diketahui”.

Perkataan semacam itu sama sekali bukan riwayat yang berasal dari al Imam Malik atau lainnya.

Dengan mereka menetapkan istiwa (bersemayam) Allah berdasarkan makna yang diketahui pada umumnya alias berdasarkan makna dzahir yakni berada atau bertempat atau menetap tinggi maka mereka justru menetapkan adanya kaifiyyah bagi istawa Allah walaupun mereka mengikutinya dengan perkataan “kaifiyyah-nya tidak diketahui”.

Oleh karenanya mereka seringkali mengatakan: “Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui” atau terkadang ada juga mereka yang berkata: “Allah duduk di atas Arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui”

Riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) berkata: “al-Istiwa ghair majhul wa al-kaif ghair ma’quul” artinya, Istawa sudah jelas diketahui dan adanya al-kaif (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal”

Jadi yang dimaksud “ghair majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an.

Dalam riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa ghair majhul” atau “al-Istiwa madzkur” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an

Al-Hafizh al-Baihaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: “Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata:

Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘alal ‘arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?

Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata:

“al-Istawa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istawa ghair majhul), dan pertanyaan kaif (bagaimana – sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-kaif ghair ma’qul),

beriman kepada al-Istawa adalah wajib, dan mempertanyakan kaifiyyah (bagaimana) Istawa bagi Allah tersebut adalah perbuatan bid’ah.

Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”.

Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya.

Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:

“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan kaifiyyah Istawa bagi Allah (kesalahan orang itu karena bertanya “bagaimanakah Istawa Allah”).

Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna dzahirnya. Tentu makna dzahir istawa adalah menetap, duduk, bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yang lain. Makna dzhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang kaifiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik.

Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya kaifiyyah bagi (istawa) Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).

Al-Qaraafiyy, salah satu ulama besar dalam sejarah, dan ahli mazhab Imam Malik berkata:

“Makna ucapan Imam Malik “istawa diketahui” adalah bahwa pikiran kita menuntun kita untuk istawa ‘yang layak bagi Allah Yang Mulia dan layak dengan kebesaranNya yakni istiilaa’ (menguasai) dan bukan makna duduk atau sejenisnya yang tidak bisa kecuali untuk jisim (benda).

Adapun Imam Malik mengatakan “kaif tidak mungkin” artinya bahwa Allah sendiri tidak dikaitkan dengan apa yang digunakan oleh orang-orang Arab dengan kata “kaif” yaitu pertanyaan untuk sifat yang baharu dan untuk jisim (benda)

dan ini tidak mungkin, karena mustahil Allah dikaitkan dengan arti tersebut (Dħakħiirah, 13/243).

Jadi yang ditetapkan sebagai ahli bid’ah adalah orang yang mempertanyakan bagaimana (kaifiyyah) istawa Allah dan dikafirkan (kufur dalam i’tiqod) oleh para ulama terdahulu adalah orang yang mengingkari lafaz atau penyebutan “istawa Allah” dalam Al Qur’an bukan mengingkari memahami istawa dengan berada atau bertempat atau menetap tinggi.

Mereka yang mensifatkan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala salah satunya akibat mereka salah memahami firman Allah Ta’ala,

a-amintum man fiis samaa-i an yakhsifa bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru (QS Al Mulk [67]:16)

Mereka memahami fiis samaa adalah “berada di atas langit” sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://almanhaj.or.id/2665-keberadaan-allah-azza-wa-jalla.html

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Berikut kutipan penjelasan dari ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi terhadap firman Allah Ta’ala tersebut,

**** awal kutipan *****
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum mujassimah adalah firman Allah

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)

Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.

Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri)

Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan ******

Al-Kirmâni berkata, “Sabda: مَنْ فى السَّمَاء makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian (keagungan / kemuliaan) Dzat dan sifat-Nya.“ dan seperti inilah para ulama selainnya menjawab / menerangkan setiap kata yang datang dalam nash yang menyebut kata atas dan semisalnya.”(Fathu al Bâri,28/193)

Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.

Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16

***** awal kutipan ******
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil

man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit

an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man

bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian
****** akhir kutipan ******

Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,

Berikut contoh penjelasan mereka untuk pembenaran bahwa fiis samaa adalah “berada di atas langit” yang bersumber darihttp://buletin.muslim.or.id/aqidah/kelirunya-keyakinan-tuhan-di-mana-mana

***** awal kutipan ******
Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’.

Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:

(1) Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit, dan
(2) Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian.

Dua makna ini tidaklah bertentangan.

Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang.
****** akhir kutipan ******

Berikut penjelasan mereka lainnya untuk pembenaran bahwa fiis samaa adalah “berada di atas langit” yang bersumber darihttp://almanhaj.or.id/3343-aqidah-imam-syafii-allah-subhanahu-wa-taala-ada-di-atas.html

***** awal kutipan ******
Di antara dalil bahwa (في) bermakna “di atas” juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menceritakan perkataan Fir’aun kepada para penyihirnya,

“dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di atas pohon kurma” (QS Thaha [20]:71).

Dalam ayat ini Fir’aun mengancam para penyihir yang beriman dengan kenabian Musa. Mereka diancam akan disalib di atas pohon kurma.

Apakah mungkin orang yang berakal mengatakan makna (في) dalam ayat tersebut adalah “di dalam”?

Lalu apa gunanya ancaman Fir’aun ini kalau para penyihir disalib di dalam pohon kurma?

Bukankah Fir’aun melakukan ancaman ini supaya yang lain takut dengan kekejamannya?

Bagaimana yang lain akan takut kalau tidak bisa melihat apa yang terjadi?
****** akhir kutipan ******

Jadi mereka memahaminya “menyalib di atas pohon kurma” dalam arti tidak menempel atau “melayang di atas pohon kurma” karena mereka mengi’tiqodkan Tuhan berada atau bertempat di atas langit (di atas langit ke tujuh) bukan dalam arti Tuhan menempel di atas langit ke tujuh.

Para mufassir (ahli tafsir) menafsirkan fii judzuu’i pada (QS Thaahaa [20]:71) adalah “dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pohon kurma” atau “dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di pohon kurma”

Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk pembenaran aqidah mereka bahwa Tuhan bertempat di langit, seperti dengan menyerupakan fiis samaa (di langit) dengan fii judzuu’i (di pohon kurma) adalah sebuah kekeliruan karena konteks ayat yang berbeda. Fii judzuu’i (di pohon kurma) adalah konteks ayat yang berlaku pada makhluk.

Hal serupa dengan orang-orang yang melakukan pembenaran terhadap aqidah mereka bahwa Tuhan istawa (bersemayam) dalam arti bertempat di atas ‘Arsy berdalilkan “waistawat alal judiy” (Qs Huud [ 11] : 44) maka mereka telah menetapkan ada keserupaan Allah dengan makhluk-makhlukNya, karena konteks ayat-ayat yang mereka sebutkan adalah berlaku pada makhluk, padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian membuat keserupaan-keserupaan bagi Allah” (QS. An-Nahl [16] : 74).

Dengan demikian mereka telah jatuh dalam keyakinan tasybîh dan tamtsîl karena telah menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada hak makhluk yang berarti bertempat, atau menyerupakan Istawâ pada hak Allah dengan Istawâ pada perahu Nabi Nuh di atas pegunungan al-Judiyy. Ini jelas sebagai keyakinan tasybîh yang sangat buruk.

Bahkan kata Istawâ dalam ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh mereka untuk menetapkan Allah Ta’ala istawa (bersemayam) dalam arti bertempat di atas arsy memiliki makna tidak hanya dalam pengertian bertempat saja.

Contohnya (Qs Huud [ 11] : 44) adalah untuk mengungkapkan bahwa perahu Nabi Nuh yang semula berjalan kemudian berhenti dan menetap di atas gunung al-Judiyy.

Dengan demikian ketika mereka menjadikan ayat-ayat serupa dengan (Qs Huud [ 11] : 44) sebagai dalil dalam menetapkan Allah Ta’ala istawa (bersemayam) dalam arti bertempat atau berada di atas arsy berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Allah Ta’ala semula berada di suatu arah kemudian bergerak dan pindah ke arah atas, dan lalu bertempat di atas arsy tersebut, sebagaimana seorang yang menaiki binatang tunggangan atau menaiki perahu, sebelumnya ia berada di bawah tunggangannya tersebut lalu pindah dan menetap di atasnya. (kami berlindung kepada Allah dari aqidah seperti itu)

Ada kita temukan kitab-kitab terjemahan Al Qur’an yang mengartikan kata Istawa dengan kata bersemayam, namun kata bersemayam janganlah dimaknai dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat yang menurut kamus bahasa Indonesia adalah

1. duduk; Contohnya, “Pangeran bersemayam di kursi kerajaan”

2. tinggal; berkediaman, bertempat; Contohnya, “Presiden bersemayam di Istana Negara”

Makna yang mendekati kata Istawa adalah makna kata bersemayam dalam makna majaz (makna kiasan) atau makna yang tersirat yakni

Terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata kiasan); Contohnya “sudah lama dendam itu bersemayam di hatinya” atau “cinta bersemayam di hatinya”. “Bersemayam di hati” dapat diartikan pula dengan “menguasai hati”

Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”

Para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat membolehkan memaknai istiwa dengan bersemayam dalam makna majaz artinya menguasai dan terlarang dimaknai bersemayam dalam makna dzahir yakni menetap atau bertempat karena menetap atau bertempat mensifatkan Allah dengan sifat makhluk.

Imam al-Hâfizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawâ dengan Istawlâ tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah. Hal ini jauh berbeda dengan yang memaknai Istawâ dengan Istaqarra (menetap atau bertempat), penafsiran semacam ini sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena sama dengan mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Begitupula lafaz-lafaz yang jika dipahami dengan makna dzahir adalah “naik” , “di langit”, “di atas” yang disandarkan kepada Allah Ta’ala bukanlah untuk mengungkapkan arah, berpindah atau tempat namun dipahami dengan makna majaz (kiasan / metaforis) terkait dengan ketinggian dalam arti kemuliaan dan keagungan Allah Ta’ala.

Contoh yang sering disalahpahami oleh mereka

وهو فوق العرش وفوق كل شيء

diterjemahkan dan dipahami mereka dengan, “sedangkan Ia (berada) di atas ‘Arsy. Dan Allah (berada) di atas segala sesuatu”

Sisipan kata “berada” bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman mereka sendiri

“Allah di atas segala sesuatu” bukanlah berarti “Allah berada di atas segala sesuatu”

Ibn al Jawzi menjelaskan

***** awal kutipan ****
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.

Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.

Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
***** akhir kutipan ****

Jadi fawq dipahami dengan makna majaz (kiasan atau metaforis) untuk mengungkapkan derajat atau keagungan dan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dipahami dalam makna dzahir sehingga mensifatkan Tuhan dengan sifat jawhar atau benda seperti sifat tempat karena terlarang mensifatkan Tuhan dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut bagiNya.

Ada pula dari mereka yang mengatakan bahwa Nabi Musa alahissalam yang memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit sehingga Fir’aun minta dibuatkan bangunan yang tinggi untuk melihat tuhannya nabi Musa

Fir’aun sendiri yang berkeyakinan Tuhannya Nabi Musa berada atau bertempat di langit bukan karena mendengar dari Nabi Musa alaihissalam

Nabi Musa alaihissalam tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit.

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam” (QS Al A’raf [7]:104)

Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”(QS Asy Syu’ara [26]:23)

Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian(orang-orang) mempercayai-Nya” (QS Asy Syu’ara [26]:24)

Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu” (QS Asy Syu’ara [26]:26)

Musa berkata: “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal”. (QS Asy Syu’ara [26]:28).

Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?. (QS Thaahaa [20]:49)

Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk (QS Thaahaa [20]:50)

Jadi justru aqidah Fir’aun yang mengatakan bahwa setiap yang ada harus bertempat.

Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikirannya Tuhan Nabi Musa as juga seperti diri nya, harus punya tempat yang jelas.

Akan tetapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari mereka yang menisbatkan sebagai SALAFI, mereka yang merasa (mengaku-ngaku) mengikuti pemahaman para Sahabat, merasa (mengaku-ngaku) penegak tauhid dan tentu percaya bahwa Tuhan berbeda dengan makhluk yang membutuhkan tempat (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun).

Dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa as bahwa Nabi Musa as adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”.

Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi, bila di bumi tentu Nabi Musa as telah menunjukkannya, bila di langit bagaimana Nabi Musa as bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalahnya,

Fir’aun yang telah termakan dengan asumsinya yang salah dan tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat.

Fir’aun telah membuktikan kepada kaum nya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantu nya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa as

Imam Ar-Razi berkata,

***** awal kutipan ******
”sesungguhnya mereka (musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh,yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka, sementara Nabi Musa as dalam memperkenalkan Tuhan,tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thoha :50 “Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’araayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya”.

Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa as,

Siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia diatas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia diatas agama Nabi Musa as,

kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah Ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa as, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah, maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as [Lihat Tafsir Ar-Razi,surat Ghafir : ayat 36-37 ]
***** akhir kutipan ****

Abu Mansur Al-Maturidi berkata : “Kaum Musyabbihah [menyerupakan Allah dengan makhluk] berpegang dengan dzahirnya ayat ini, mereka beralasan : Seandainya bukan karena Musa as telah menyebut dan memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan di atas langit, sungguh Fir’aun tidak menyuruh Haman membangun bangunan agar ia dapat naik ke langit dan melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana Firman Allah menceritakan pernyataan Fir’aun Tetapi kita menjawab : Tidak ada dalil bagi mereka, karena kemungkinan pernyataan Fir’aun tersebut sebagian dari kebohongan Fir’aun kepada kaum nya tentang Musa as”. [Lihat Tafsir Ta’wilat Ahlus Sunnah surat Ghafir ayat 37].

Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]

Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]

Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :

Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.

Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]

Ada pula yang melakukan pembenaran keyakinan mereka bahwa Tuhan bertempat di langit dengan berdalilkan penduduk surga kelak akan melihat Allah dengan mata kepala sebagaimana riwayat berikut,

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu’awiyah berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il dari Qais dari Jarir bin ‘Abdullah berkata, Pada suatu malam kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya (HR Bukhari 521)

Dari Jarir bin Abdullah dia berkata; Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari ke empat belas, beliau melihat bulan, kemudian bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan kesulitan ketika melihatnya. (HR Bukhari 4473).

Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya (tidak ada kesulitan), bukan Allah diserupakan dengan bulan (mempunyai bentuk dan ukuran) (Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137)

Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata:
“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 )

Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah Nisafur pada masanya berkata:
“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata dalam menerangkan hadits tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ Tudlammûn”, al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di surga akan melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu tidak saling berdesakan satu sama lainnya. Orang-orang mukmin tersebut berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar surga. Karena Allah bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah”. (Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dan kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas dapat kita pahami bahwa Allah Ta’ala tidak dikatakan di dalam atau di luar Surga atau di Sidratul Muntaha seperti pada peristiwa Mi’raj Rasulullah atau di dekat bukit Thursina pada persitiwa Nabi Musa as ataupun di atas ‘Arsy karena Allah Ta’ala bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah.

Mereka yang keukeuh (bersikukuh) atau ngeyel berpendapat bahwa Allah Ta’ala berada atau bertempat atau menetap tinggi di atas ‘Arsy pada hakikatnya telah mengingkari firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)

Allah Ta’ala tidak berubah, sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.

Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.

Allah Ta’ala sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ‘’Arsy

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya (sifat qadim), sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].

Al-Imâm al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)

Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya, termasuk pula tempat.

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari 3191)

Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, 3109)

Begitupula Al-Imam al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata : “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam “Ya Allah, Engkaulah, Azh-Zhahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya)

Sedangkan para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah merujuk dari kitab Bayan Talbisul Jahmiyyah jilid 4, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa makna : “فلَيس دونك شيء adalah “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu.” Mereka mengikuti pendapat Ibnu Taimiyyah bahwa kata ‘duuna’ di sini diambil dari kata ‘ad dunuww‘ yang artinya dekat, bukan dari kata ‘ad-duun‘ yang artinya ‘rendah’ atau ‘di bawah’

Padahal “tidak ada sesuatu yang lebih dekat dari-Mu” atau “tidak ada sesuatu di dekat -Mu” sama saja dengan “tidak ada sesuatu di bawah-Mu” karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Allah ada, dan tiada sesuatu di selainNya.

Sayyidina Ali ~radiyallahu ‘anhu~ berkata: “Allah ada tanpa tempat. Dia saat ini pada apa adanya Dia ada.”

Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

mutiarazuhud | 10 April 2017 pukul 4:14 pm | Tag: ahad,aqidah merekabudak jariyahHaditsibnu taimiyyah,mudhtharibpenerus kebid'ahanwahabisme | Kategori:IslamUmum | URL: http://wp.me/ptHza-4da

Komentar   Lihat semua komentar   Suka

Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.

Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: 
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/04/10/ahad-dan-mudhtharib/

Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com