Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada ASWAJA MUDA BAWEAN
Hukum mencukur jenggot menurut Mazhab Syafi’i – Bag. 2
oleh Muhammad Syamsudin
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari dua tulisan berjudul “Hukum Mencukur Jenggot Menurut Mazhab Syafi’i” . Pemaparan dalil-dali ini tidaklah bermaksud untuk menempatkan pendapat yang berseberangan dengan pendapat ini sebagai pendapat yang bid’ah atau sesat, tetapi dalil-dalil ini hanya sebagai bentuk pembuktian bahwa pendapat membiarkan jenggot tanpa dipotong atau dicukur adalah sunnat, tidak wajib merupakan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam ranah ilmiyah, tidak sebagaimana tuduhan sebagian kelompok Salafi-Wahabi yang sering menyalahgunakan nash-nash syara’ untuk menyerang umat Islam lain dengan mengatakan bahwa pendapat membiarkan jenggot tanpa dipotong atau dicukur adalah sunnah atau hanya bersifat anjuran merupakan pendapat bid’ah sesat menyesatkan, sebagaimana kebiasaan mereka dalam menyerang kelompok-kelompok Islam yang tidak mau mengikuti pendapat mereka. Dalil-dalil dimaksud antara lain :
1. Hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Potonglah kumis dan biarkanlah (tidak dipotong) jenggot dan berbedalah dengan kaum Majusi.”(H.R. Muslim)[1]
2. Hadits Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda :
خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنَ وَفرُوْا اللِّحَى وَاحْفُوْا الشُّوَارِبَ .
“Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, biarkankanlah (tidak dipotong) jenggot kamu dan potonglah kumis kamu". (H.R. Bukhari dan Muslim)[2]
3. Hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Potonglah kumis dan biarkanlah (tidak dipotong) jenggot dan berbedalah dengan kaum Majusi.”(H.R. Muslim)[3]
4. Hadits Ibnu Umar berkata :
ذُكِرَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَجُوْس فَقَالَ : اِنَّهُمْ يُوَفِّرُوْنَ سِبَالَهُمْ وَيُحْلِقُوْنَ لِحَاهُمْ فَخَالِفُوْهُمْ
“Pernah disebut kepada Rasulullah SAW seorang Majusi maka beliau bersabda: Mereka (orang-orang Majusi) membiarkan (tidak dipotong) kumis mereka dan mencukur jenggot mereka, maka berbedalah dengan mereka”. (H.R. al-Baihaqi)[4]
5. Hadits dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda :
أعفوا اللحى وجزوا الشوارب وغيروا شيبكم ولا تشبهوا باليهود وَالنَّصَارَى.
“Biarkanlah (tidak dipotong) jenggot kamu, potonglah kumis kamu dan rubahlah uban kamu. Janganlah kamu meniru (menyerupai) Yahudi dan Nasrani". (H.R. Ahmad)[5]
Al-Munawi mengatakan : “dengan isnad yang baik”[6]
6. Hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
اِنَّ أهْلَ الشِّرْكَ يَعفُونَ شَوَارِبَهُمْ وَيَحفُونَ لِحَاهُمْ فَخَالِفُواهُمْ فَاعْفُوا اللِّحَى وَاحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Bahwasanya ahli syirik membiarkan (tidak dipotong) kumisnya dan memotong jenggotnya, maka berbedalah dengan mereka, biarkanlah (tidak dipotong) jenggot kamu dan potonglah kumis kamu. (H.R. al-Bazzar)
Al-Haitsami mengatakan :
“Hadits ini telah diriwayat oleh al-Bazar dengan dua isnad, dimana salah satunya ada Amr bin Abu Salamah yang dianggap terpercaya oleh Ibnu Mu’in dan lainnya, tetapi telah didha’ifkan oleh Syu’bah dan lainnya. Rijal lainnya terpercaya.[7]
7. Hadits dari Abu Umamah, Nabi SAW bersabda :
قصوا سبالكم ووفروا عثانينكم وخالفوا أهل الكتاب
“Potonglah kumis-kumis kalian dan biarkanlah (tidak dipotong) jenggot-jenggot kalian dan selisihilah ahli kitab.(H.R. Ahmad dan at-Thabrani)
Al-Haitsami mengatakan :
“Hadits ini diriwayat oleh Ahmad dan al-Thabrani. Rijal Ahmad adalah rijal shahih, kecuali al-Qasim, beliau ini terpercaya, tentangnya ada pembicaraan yang tidak memudharatkan.”[8]
Dalam tujuh hadits di atas, perintah membiarkan jenggot tanpa dipotong yang disanding dengan perintah memotong kumis merupakan perintah yang dikaidkan dengan perintah menyelisih kaum kafir, yakni dalam hadits-hadits di atas disebut kaum Majusi, kaum syirik dan Ahlul Kitab. Kita telah diberitahu oleh beberapa sumber bahwa perintah memotong kumis disepakati ulama hukumnya sunnah, alias tidak wajib. Sumber itu antara lain :
a. Al-Nawawi mengatakan :
“Adapun memotong kumis, maka sepakat ulama sesungguhnya ia itu sunnahnya.”[9]
b. Waliuddin al-Iraqi, seorang ahli hadits terkenal mengatakan :
“Pada hadits tersebut dipahami dianjurkan memotong kumis. Ini menjadi ijmak atas dianjurkannya.”[10]
c. Dr Wahbah al-Zuhaili mengatakan :
“Ia (memotong kumis) sunnah dengan sepakat para ulama”.[11]
Seandainya kita sepakat bahwa memotong kumis tidak wajib atau sunnah saja, tentu menyelisih Majusi, ahli syirik dan Ahlul Kitab dalam masalah memotong kumis juga sunnah, karena sunnah memotong kumis dialasankan kepada menyelisih Majusi, ahli syirik dan Ahlul Kitab. Kalau menyelisih Majusi, ahli syirik dan Ahlul Kitab, wajib hukumnya pada perkara memotong kumis, maka memotong kumis juga wajib, padahal kita sudah sepakat berdasarkan dalil di atas bahwa memotong kumis adalah sunnah, tidak wajib. Lalu bagaimana dengan perintah membiarkan jenggot tanpa dipotong yang disanding dengan perintah memotong kumis dalam tujuh hadits di atas ? Jawabnya, hukumnya sama dengan hukum memotong kumis, karena kedua masalah ini sama-sama dikaidkan dengan menyelisih Majusi, ahli syirik dan Ahlul Kitab dalam satu lafazh hadits yang sama. Kita sudah sepakat bahwa menyelisih Majusi, ahli syirik dan Ahlul Kitab dalam tujuh hadits di atas adalah sunnah karena memotong kumis hukumnya sunnah, maka demikian juga pada perintah membiarkan jenggot tanpa dipotong juga sunnah, karena sama-sama dikaidkan pada menyelisih Majusi, ahli syirik dan Ahlul Kitab yang hukumnya sunnah. Bagaimana kalau ada yang mengatakan perintah menyelisih Majusi, ahli syirik dan Ahlul Kitab pada hadits-hadits di atas apabila dikaidkan pada memotong kumis bermakna perintah sunnah, sedangkan apabila dikaidkan dengan perintah membiarkan jenggot tanpa dipotong merupakan perintah wajib ?. Jawab, dhahir sebuah kalam tidak boleh terjadi, hal ini karena secara hakikat, tidak boleh berkumpul makna hakikat dan majaz dalam satu lafazh kecuali dengan jalan majaz.[12] Sedangkan hakikat sebagaimana dimaklumi lebih diutamakan dari pada majaz.
8. Hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Dari Nabi SAW, sesungguhnya beliau memerintah memotong kumis dan membiarkan (tidak dipotong) jenggot”. (H.R. Muslim)[13]
Disepakati para ulama bahwa memotong kumis, hukumnya sunnah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan demikian makna perintah memotong kumis pada hadits ini bermakna perintah sunnah, bukan wajib, maka demikian juga “membiarkan jenggot tanpa dipotong” yang di ‘athaf ( kata sambung “dan”) kepada perkataan “memotong kumis”. Hal ini karena secara hakikat, tidak boleh berkumpul makna hakikat dan majaz dalam satu lafazh kecuali dengan jalan majaz sebagaimana juga telah dijelaskan sebelum ini. Sedangkan hakikat sebagaimana dimaklumi lebih diutamakan dari pada majaz. Sehingga apabila perkataan “amara” dimaknai dengan perintah sunnah dengan dikaidkan kepada memotong kumis, maka makna “amara”apabila dikaidkan dengan “membiarkan jenggot tanpa dipotong” juga bermakna yang sama, yaitu perintah sunnah, bukan wajib. Cara pendalilian ini hampir sama dengan pendalilian yang telah kami sebutkan sebelum ini.
9. Hadits Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
“Sepuluh dari perkara fitrah, yaitu : memotong kumis, membiarkan (tidak dipotong) jenggot, bersiwak, istinsyaq, memotong kuku, membasuh sendi jari, mencabut bulu kemaluan dan mengurangi air.” (H.R. Muslim).[14]
10. Hadits dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
إن فطرة الإسلام الغسل يوم الجمعة والاستنان وأخذ الشارب وإعفاء اللحى فإن المجوس تعفي شواربها وتحفي لحاها فخالفوهم حدوا شواربكم واعفوا لحاكم
“Di antara fitrah dalam Islam ialah mandi hari Jum’at, membersihkan gigi, memotong kumis dan membiarkan (tidak dipotong) jenggot, bahwasanya orang-orang Majusi memelihara kumis dan memotong jenggot, maka berbedalah dengan mereka, hendaklah kamu potong kumis kamu dan membiarkan (tidak memotong) jenggot kamu". (H.R. Ibn Hibban dalam Shahihnya)[15]
Perkara-perkara yang disebut dalam hadits di atas disebut sebagai fitrah. Apa pengertian fitrah ? Fitrah adalah penciptaan pertama dalam arti penciptaan yang tidak ada contoh sebelumnya. Termasuk dalam pengertian ini firman Allah Ta’ala :
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا
Artinya : Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku bagi tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (Q.S. al-An’am : 79)
Pengertian fitrah dalam konteks dua hadits riwayat Muslim dan Ibnu Hibban di atas adalah perkara-perkara yang disebut dalam dua hadits tersebut apabila diamalkan, maka sipelakunya akan bersifat dengan dasar fitrah yang dijadikan Allah manusia dengannya dan disukai mereka bersifat dengannya sehingga mereka mempunyai sifat sempurna dan pola mulia. Pengertian seperti ini telah dijelaskan dalam Fathul Barri karya Ibnu Hajar al-Asqalany.[16] Jadi perkara-perkara tersebut merupakan amalan-amalan untuk mengembalikan manusia dalam sifat pertamanya dengan memperbaguskan kejadian dan penampilannya, yaitu tuntutan membersihkan diri, jadi bukan perintah dalam bentuk ibadah mahdhah. Tuntutan membersihkan diri memperbaguskan kejadian dan penampilan ini sesuai dengan keinginan tabiat manusia sehingga dengan perintah yang bersifat anjuran saja sudah memadai tanpa perlu ada penekanan dengan perintah yang bersifat wajib sebagaimana dijelaskan Abu Syaamah.[17] Kesimpulan ini sesuai pula bahwa sebagian besar perkara-perkara dalam dua hadits di atas merupakan perkara-perkara yang disepakati hukumnya sunnat, tidak wajib sebagaimana dimaklumi. Dengan demikian,membiarkan jenggot tanpa dipotong atau dicukur merupakan amalan sunnah, bukan wajib, karena untuk mengeluarkannya dari perkara-perkara sunnah sebagaimana sebagian besar perkara-perkara dalam hadits tersebut perlu ada dalil yang menerangkannya, padahal ini tidak ada dalil yang menerangkannya.
Adapun khitan sebagaimana hadits riwayat Bukhari, yang berbunyi Rasulullah SAW bersabda :
خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَة ِالْخِتَانُ ، وَالاِسْتِحْدَادُ ، وَنَتْفُ الإِبْطِ ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Ada lima hal yang termasuk fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis." (HR. Bukhari)[18]
maka khitan yang diwajibkan menurut mazhab Syafi’i adalah karena ada dalil lain yang mengecualikannya yang mengeluarkan dari perkara-perkara sunnah. Demikian juga intiqash al-maa’apabila dimaknai dengan istinjak berdasarkan pendapat Waki’.[19]
11. Pemahaman bahwa perintah Rasulullah SAW membiarkan jenggot tanpa dipotong merupakan perintah sunnah juga didukung oleh perbuatan sahabat Nabi, Ibnu Umar sebagaimana tersebut dalam hadits di bawah ini :
كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
“Ibnu Umar apabila berhaji atau berumrah beliau menggenggam janggutnya dan yang tersisa dipotongnya.”(H.R. Bukhari)[20]
Perbuatan Ibnu Umar, salah seorang sahabat Nabi terkemuka memotong sebagian jenggotnya, menunjukkan bahwa beliau memahami hadits perintah membiarkan jenggot tanpa dipotong hukumnya hanyalah sunnah, bukan wajib. Karena seandainya beliau memahami tindakan membiarkan jenggot tanpa dipotong hukumnya wajib, maka pastilah Ibnu Umar tidak akan melakukan pemotongan sebagian jenggotnya. Namun ada ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Ibnu Umar tersebut di atas tidaklah menunjukkan bahwa perintah Nabi SAW membiarkan jenggot tanpa dipotong hukumnya hanyalah sunnah, karena perbuatan beliau hanya menjelaskan boleh memotong jenggot sebatas sisa genggaman tangan karena kalau membiarkan lebih dari itu akan memunculkan bentuk jenggot yang jelek. Pemahaman ini dibantah Ibnu Hajar al-Haitami, menurut beliau kemunculan bentuk jenggot tidak terjadi dengan sebab membiarkan panjangnya melebihi satu gengaman tangan, tetapi hanya terjadi apabila dibiarkan jenggot tanpa dibasuh dan diminyaki.[21]
Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan kemungkinan sandaran pemahaman Ibnu Umar tersebut di atas adalah berdasarkan hadits shahih Ibnu Hibban, berbunyi :
كان صلعم يأخذ من طول لحيته وعرضها
“Adalah Rasulullah SAW memotong dari panjang dan lebar jenggotnya.”(H.R. Ibnu Hibban)[22]
Hadits ini juga telah diriwayat oleh al-Turmidzi, namun menurut penjelasan al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, isnadnya dha’if.[23]
Apakah perintah menyelisih kaum kafir selalu wajib ?
Tidak selamanya perintah menyelisih kaum kafir merupakan perintah wajib. Hal ini terbukti banyak kasus-kasus perintah meyelisih kaum kafir hanya sebatas perintah bermakna sunnah, yakni antara lain :
a. Perintah makan sahur untuk menyelisih Ahlul Kitab ketika puasa, berdasarkan hadits dari Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahl al-Kitab adalah makan sahur” (H.R. Muslim)[24]
Telah terjadi ijmak ulama bahwa hukum makan sahur pada malam hari puasa adalah sunnah, tidak wajib.[25]
b. Perintah merubah uban untuk menyelisih kaum Yahudi dan Nashrani, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari [26] dan Muslim[27] )
dan hadits Jabir :
عن جابر بن عبد الله قال أتي بأبي قحافة يوم فتح مكة ورأسه ولحيته كالثغامة بياضا فقال رسول الله صلعم غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
“Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata : “Abu Qahafah muncul pada hari penaklukan Makkah dengan kepala dan jenggot sudah beruban seperti serbuk sari, maka bersabda Rasulullah SAW : “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam”.(HR. Muslim)[28]
Telah datang riwayat dari Nabi yang memerintahkan merobah uban rambut sebagaimana datang hadits yang melarang merobah uban. Datang riwayat yang berbeda ini mengakibatkan muncul perbedaan pendapat para Sahabat dan Tabi’in sesudah mereka, sebagiam mereka mengatakan merobahnya lebih afdhal dan sebagian lain berpendapat membiarkannya tanpa dirobah lebih afdhal, namun mereka ijmak bahwa merobah atau membiarkan tanpa dirobah tidaklah wajib. Al-Thabrani mengatakan :
“Yang benar, atsar yang diriwayat dari Nabi SAW merobah uban dan melarang merobahnya adalah semuanya shahih dan tidak ada pertentangan padanya, tetapi perintah merobahnya adalah untuk orang-orang yang ubannya seperti uban Abi Quhafah dan larangannya bagi orang-orang yang ubannya masih bercampur (bercampur dengan rambut hitam) Karena itu, perbedaan para Salaf dalam melaksanakan dua hal tersebut adalah berdasarkan perbedaan keadaan uban mereka. Namun yang pasti perintah dan larangan tentang merobah uban tersebut bukanlah wajib secara ijmak, karenanya sebagian mereka tidak saling mengingkari sebagian yang lain.”[29]
c. Perintah memakai sandal dan sepatu dalam shalat berdasarkan hadits Nabi SAW dari Syaddad bin Aus, berbunyi :
خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ
“Sesunguhnya Yahudi tidak shalat memakai sandal, maka berselisihlah mereka.” (H.R. Abu Daud dan al-Hakim).[30]
Perintah berselisih di atas bukanlah perintah bermakna wajib, karena Nabi SAW sendiri pernah shalat tanpa menggunakan sandal berdasarkan Hadis dari Amr bin Syu’ib dari bapaknya dari kakeknya, beliau menyatakan :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا
“Saya pernah melihat Rasulullah SAW terkadang shalat dengan tidak beralas kaki dan kadang shalat dengan memakai sandal. (HR. Abu Daud).[31]
Memakai sandal dalam shalat menurut Ibnu Daqiq al-‘Id merupakan rukshah, bukan suatu yang sunnah dalam shalat, namun menurut Ibnu Hajar al-Asqalany apabila memakainya dengan niat menyelesih kaum Yahudi sebagaimana kandungan hadits Syaddad bin Aus di atas, maka hukum memakainya menjadi dianjurkan.[32] Alhasil perintah memakai sandal dan sepatu dalam shalat untuk menyelisih kaum Yahudi di atas bukanlah perintah bermakna wajib.
d. Perintah puasa Tasu’a (sembilan Muharram) untuk menyelisih puasa kaum Yahudi dan Nashrani yang berpuasa ’Ayuraa sebagaimana kandungan hadits Ibnu Abbas beliau berkata :
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”Rasulullah SAW melaksanakan dan memerintah berpuasa pada Hari ’Asyuraa, ketika itu para sahabat berkata : ”Ya Rasulullah sesungguhnya hari Asyura itu merupakan hari yang dihormati oleh Yahudi dan Nashrani.” Rasulullah SAW menjawab : ”Apabila datang tahun depan, insya Allah kami berpuasa pada hari kesembilannya. Ibnu Abbas mengatakan : ”Tidak sempat datang tahun depan itu, karena Rasulullah SAW duluan wafat.” (H.R. Muslim)[33]
Keinginan Rasulullah SAW berpuasa hari kesembilan Muharram (Tasu’a) untuk menyelisih kaum Yahudi dan Nashrani dan sepakat para ulama hukum puasa Tasu’a tersebut adalah sunnah, tidak wajib.
Apakah tidak menyelisih kaum kafir identik dengan menyerupai mereka yang diharamkan?
Larangan menyerupai kaum kafir antara lain dapat disimak dari hadits Nabi SAW berbunyi :
من تشبه بقوم فهومنهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan al-Thabrani)
Al-Sakhawy mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud dan al-Thabrany dalam al-Kabir dari hadits Muniib al-Jarsyi dari Ibnu Umar secara marfu’ dengan sanad dha’if, namun hadits ini telah disokong oleh hadits Huzaifah dan Abu Hurairah di sisi al-Bazar, di sisi Abu Na’im dalam Tarikh Ashbahan dari Anas dan di sisi al-Qadha’i dari hadits Thawus secara mursal.[34] Dengan demikian, hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik menjadi hasan karena ada sokongan dari jalur-jalur lain sebagaimana terlihat dari uraian di atas. Kesimpulan ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani berikut :
”Hadits ini dikeluarkan Abu Daud dengan sanad hasan.[35]
Adapun perbuatan tasyabbuh (menyerupai) yang diharamkan berdasarkan hadits di atas adalah :
Pertama : Apabila dilakukan dengan qashad menyerupai orang kafir. Hal ini karena bentuk perkataan ”tasyabbuh” dalam bahasa Arab atas timbangan ”tafa’ul” bermakna takalluf. Takalluf sebagaimana dibahas dalam qawaid bahasa Arab adalah bermakna ”thalab syai’ ba’da syai’” artinya mengupayakan sesuatu sesudah sesuatu yang lain. Mengupayakan sesuatu tentu harus dilakukan dengan niat, tanpa niat dari seseorang maka tidak dapat dinisbahkan upaya tersebut kepada orang tersebut. Dengan demikian, tanpa niat menyerupai tidak dapat dinisbahkan perbuatan menyerupai kepada seseorang dengan sebab adanya keserupaan, karena bisa jadi suatu perbuatan itu dilakukan secara kebetulan serupa dengan perbuatan kafir, tetapi tanpa niat menyerupai. Mari kita perhatikan contoh takalluf pada contoh lain, yaitu : ”ta’allum” bermakna menuntut ilmu, tentu seseorang kalau mendapat ilmu tanpa ada niat mempelajari ilmu (ilmunya datang sendiri tanpa dituntut) tidak dapat dikatakan dia bersifat dengan ta’allum.
Kedua : Tasyabbuh yang diharamkan tersebut dengan syarat merupakan syi’ar atau ciri khas orang kafir. Amalan yang bukan merupakan syi’ar dan ciri khas kafir tentu tidak dapat disebut sebagai tindakan menyerupai mereka. Senada dengan ini penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri dalam rangka membantah pendapat sebagian umat Islam yan menyatakan haram memakai thailasaan (sejenis pakaian toga yang biasa dipakai Yahudi zaman dulu) dengan didasarkan kepada hadits :
يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُودِ أَصْبَهَانَ سَبْعُونَ أَلْفًا عَلَيْهِمُ الطَّيَالِسَةُ
”Tujuh puluh ribu Yahudi dari Ashbahan yang memakai thailasaan akan mengikuti Dajjal.” (H.R. Muslim)[36]
Berdasarkan hadits di atas, thailasan merupakan pakaian Yahudi, oleh karena itu, haram memakainya karena menyerupai pakaian Yahudi. Ibnu Hajar al-Asqalany membantah pemahaman tersebut dengan mengatakan :
”Hanya saja sah melakukan pendalilian tersebut (haram memakai thailasaan) dengan kisah Yahudi tersebut adalah pada waktu thailasaan itu merupakan syi’ar mereka (Yahudi). Sedangkan sekarang, hal itu tidak berlaku lagi, maka ia termasuk dalam umum mubah. Karena itu, Ibnu Abdussalam menyebutnya sebagai contoh bid’ah yang mubah.[37]
Ibnu Hajar Haitamy pernah ditanya apakah halal main dengan panah kecil yang tidak bermanfaat dan tidak dapat membunuh binatang buruan tetapi hanya disediakan untuk permainan bagi orang-orang kafir, makan pisang yang banyak yang dimasak dengan mencampurkan gula, memakaikan anak-anak dengan pakaian berwarna kuning karena mengikuti anggapan penting ini oleh orang kafir pada sebagian hari raya mereka atau memberikan pakaian dan kebutuhan bagi mereka karena orang itu dan mereka ada hubungan dimana salah satunya adalah penyewa bagi lainnya karena menghormati hari Nairuz (hari awal tahun orang Qubthi) atau lainya ?. Sesungguhnya orang-orang kafir, anak-anak dan dewasa, orang biasa/kecil dan tokoh-tokoh bahkan hamba sahaya dari kalangan mereka, sangat mementingkan panah kecil dan permainannya dan makan pisang yang banyak yang dimasak dengan gula. Demikian juga memakaikan anak-anak dengan pakaian berwarna kuning dan memberikan pakaian dan kebutuhan-kebutuhan kepada orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Sedangkan pada hari itu, pada mereka tidak ada ibadah menyembah patung atau lainnya. Hari itu adalah apabila bulan pada hari keberuntungan penyembelih, yaitu padaburuj Singa. Sekelompok orang muslimin, pada saat melihat perbuata
...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar