Habib itu bermakna orang yang dikasihi sekaligus bermakna orang yang mengasihi. Adalah janggal jika ada habib yang penuh kebencian dan menyebarkannya.Artikel ini umumnya akan memakai rujukan Syiah ahlul bayt. Namun begitu, justru pada dalil utama, yaitu pada hadis “inna Faathimah ahshanat farjaha faharramallahu dzurriyyatahu ‘ala al-naar”, diriwayatkan oleh belasan ulama sunni yang mu’tabar seperti al-Suyuthi, al-Tabari, al-Dar Quthni, dan seterusnya. Juga dalam riwayat kemaksuman ahlul bayt dalam Qs. Al-Ahzab ayat 33 yang secara massive diriwatakan oleh puluhan ulama Sunni. Yang menarik adalah justru imam-imam Syiah ahlul bayt yang menganulir hadis “dzurriyyah Fatimah” tersebut dengan memberikan penjelasan yang mengkhususkan dzurriyyah Fatimah yang diharamkan atas neraka itu. Baiklah, kita coba memulai pembahasannya.Telah banyak diketahui bahwa keluarga Nabi SAW. dibantai habis oleh sebagian besar khalifah-khalifah Umayyah dan Abbasiyah: Imam Hasan, yang diracun oleh Muawiyah melalui tangan isterinya, Imam Husain dan keluarganya yang dibantai di padang Karbala, Abu al-Hasan bin Husain bin Ali (pengarang Shahifah Sajjadiyah) yang diracuni oleh orang suruhan khalifah al-Walid di Madinah, Imam Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid atas suruhan Hisyam bin Malik, Imam Ja’far al-Shadiq (guru dari Imam Abu Hanifah dan Jabar bin Hayyan ahli kimia) diracun oleh khalifah al-Mansur, Imam Musa al-Kadzim dipenjara dan diracun oleh Harun al-Rasyid di Baghdad, Imam Ali al-Ridha diracun oleh al-Ma’mun, Muhammad al-Jawad diracuni oleh istrinya yang merupakan anak dari al-Ma’mun atas perintah khalifah al-Mu’tashim, Ali al-Hadi diracuni oleh khalifah al-Mu’tazz di Samarra, sampai Hasan al-Askary diracuni atas perintah al-Mu’tamid di Samarra. Namun begitu, Allah SWT. memberkahi silsilah ini; jumlah mereka bukannya berkurang, tetapi semakin banyak. Mereka bukan hanya berdiam di Suriah dan Irak (tempat mereka dibantai), tetapi malah semakin menyebar sampai ke penjuru dunia. Inilah konfirmasi yang jelas dari Qs. al-Kautsar ayat 1-3إنا أعطيناك الكوثر فصل لربك وانحر إنّا شانئك هو الأبتر“Sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu nikmat yang banyak (al-Kautsar). Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan sembelihlah hewan qurban. Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang terputus.”Perjuangan para ahlul bayt dan dzurriyyah ini—tentu saja—semestinya kita hormati. Perjuangan ini tidak untuk tujuan murahan agar survive di dunia: sekedar bisa menikmati indahnya dunia dan bersenang-senang di atasnya; apalagi sampai ikut-ikutan berpesta kue politik dengan akhlak dog-eat-dog attitude. Eksistensi mereka—harus kita akui—memiliki andil yang sangat besar kepada perkembangan keilmuan dan kebudayaan Islam. Setidaknya, literatur Islam yang berkualitas dipenuhi oleh karya-karya dzurriyyah. Dan ini mereka lakukan dengan kebesaran akhlak a la Rasulullah SAW.Di level internasional, kita mengenal Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan karya-karyanya seperti Tafsir Al Jilani, al-Ghunyah Li Thalibi Thariqi al-Haq, Futuh al-Ghaib, Al-Fath al-Rabbani, Jala’ al-Khawathir, Sirr al-Asrar, Asrār al-Asār, Malfuzhāt, Khamsata “Asyara Maktuban, al-Rasāil, al-Dīwān, Shalawāt wa al-Aurād, Yawaqit al-Hikam, Jalaa al-Khatir, Amrul muhkam, Usul al-Sabā, dan Mukhtasar ulumuddin. Juga kita mengenal Syaikh Abu Bakar bin Salim, yang banyak melahirkan orang-orang besar seperti Habib Umar bin Khafidz BSA, Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhar Bondowoso, dan seterusnya.Di Indonesia sendiri, para auliya’ dan ulama besar adalah para dzurriyyah asli dari Yaman dan keturunannya. Diantara dzurriyyah Rasulullah SAW. yang sangat berpengaruh di Indonesia. Adalah Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus dari Luar Batang; nyaris semua orang mendengar kehebatan dan perjuangan beliau dalam menyebarkan agama Islam di Jakarta. Lalu al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas dari Pekalongan; beliau sangat dihormati kaum muslimin dan para ulama baik dari dalam maupun luar negeri. Para pejabat pemerintah penjajah Belanda maupun pejabat pribumi juga sangat segan terhadapnya, bahkan tokoh-tokoh non muslim di masanya pun menghargainya. Orang-orang yang mencintai beliua tidak hanya berasal dari kalangan Islam, tetapi berasal dari berbagai kalangan, termasuk orang-orang Belanda. Dari sini, adakah yang mau mengatakan bahwa karena Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas dicintai oleh pihak kafir, maka beliau adalah ulama su’? Ngaco bener otak ente!Ada lagi al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas dari Empang Bogor. Beliau sangat gigih memperjuangkan penyebaran ajaran-ajaran Islam, maupun memperjuangakan hak-hak kemanusiaan. Lalu al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi dari Surabaya. Besarnya perhatiannya kepada para fakir miskin hingga beliau dijuluki sebagai ayah bagi anak-anak yatim dan fakir miskin. Jika Anda pikir di dalam mengasihi anak-anak yatim dan fakir miskin beliau mengandalkan sedekah dari para aghniya’, Anda salah. Beliau melakukannya dengan keringat sendiri. Bahkan, beliau menanggung seluruh keperluan anak-anak yatim itu hingga mereka menikah.Lalu ada Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor dari Bondowoso; dalam berdakwah beliau menggunakan cara yang santun dan halus, sehingga wajarlah jika semua lapisan masyarakat dapat menerima dengan baik nasehat-nasehatnya. Semua kalangan, baik dari kalangan dzurriyyah maupun orang-orang umum, bahkan para pembesar Belanda pun, hormat dan segan kepada beliau. Begitulah Nabi SAW. dan ahlul bayt-nya bersikap.Demikian juga dengan al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dari Gresik, beliau adalah pendakwah agama Islam dan pejuang kemanusiaan di Gresik. Orang-orang yang hidup di sana sangat merasakan manfaat yang besar, baik dari pengajaran ilmunya maupun kepeduliannya kepada masalah kemasyarakatan. Dalam berdakwah, beliau pun selalu menerapkan kehalusan pekerti Rasulullah SAW. yang menyebarkan kedamaian dan kesejahteraan.Diantara dzurriyyah Rasulullah SAW. yang lain yang memiliki andil besar dalam perjuangan agama dan kemanusiaan adalah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir al-Haddad dari Bogor, Habib Husein bin Muhammad bin Thohir al-Haddad dari Jombang, Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf dari Pasuruan (gurunya Habib Abdul Hamid al-Basyaiban), Habib Ali bin Husein al-Attas dari Jakarta, Habib Idrus bin Salim al-Jufri dari Sulawesi Tengah, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih dari Darul Hadis Malang, Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus dari Surabaya, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan dari Jakarta, Habib Ali bin Muhammad al-Habsy dari Solo, Habib Abdul Hamid bin Umar al-Basyaiban dari Pasuruan, dan Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid dari Tanggul Jember. Mereka adalah para dzurriyyah yang sangat berjasa bagi Indonesia. Tak hanya itu, bahkan Walisongo pun konon adalah keturunan Nabi SAW. Meskipun pada perbedaan pendapat pada silsilah keluarga Sunan Kalijaga dan Sunan Muria, namun bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari Walisongo adalah dzurriyyah Nabi SAW. yang sangat berjasa bagi dakwah Islam dan pembangunan kemanusiaan di Indonesia.Demikian juga dengan dzurriyyah Rasulullah SAW. di zaman sekarang, kita mengenal Habib Mundzir bin Fuad bin Abdurrahman al-Musawa, yang belum lama meninggalkan kita semua; Habib Lutfi bin Yahya, Habib Quraysh Shihab, Habib Umar bin Hafidz BSA, dan seterusnya dan seterusnya.Dari deretan nama para habaib yang mulia itu kita menemukan kemuliaan akhlak dan keagungan Islam di dalam ajaran mereka, karena datuk mereka, Sayyiduna Muhammad bin Abdullah, pemimpin para nabi dan rasul, mengajarkan bahwa seorang mukmin adalah orang yang tidak suka mencela, tidak suka melaknat, tidak suka berbuat/berkata-kata keji, dan tidak suka berkata-kata kotor.” (HR. Bukhari, Ahmad, Al-Hakim, dan Turmudziy dari Ibnu Mas’ud)Ajaran Nabi SAW. yang paling dasar tentang “keistimewaan” di dalam Islam adalah hadis ini:لا فضل لعربيّ على أعجميّ ولا لعجميّ على عربيّ، ولا لأحمر على أسود ولا لأسود على أحمر إلاّ بالتقوى.“Tidak ada yang lebih mulia orang Arab atas orang asing, atau orang asing atas orang orang Arab; tidak juga kulit merah atas kulit hitam, atau kulit hitam atas kulit merah, kecuali dengan dengan taqwa.” (Musnad Ahmad Juz 5, hal. 411)Dalam Islam, kemuliaan seseorang itu dinilai dari kebaikan amal dan pengkhidmatannya, serta kebaikan apa pun yang dilakukannya, baik berkenaan dengan agama secara mahdhah maupun sosial kemasyarakatan. Allah SWT. berfirman:إن أكرمكم عند الله أتقاكم“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling taqwa.” (Qs. al-Hujurat 13)Maka, menurut Islam, ukuran kemuliaan seseorang itu ditentukan oleh dua hal: 1. Bahwa kemuliaan itu diusahakan, bukan diwariskan, dimana—jika diwariskan—bentuk lebih dipentingkan daripada isi; 2. Bahwa sifat-sifat yang diusahakan itu adalah sifat-sifat yang baik dipandang dari segi akal dan syariah.Nabi SAW. bersabda:يا معشر قريش اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا.يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا.ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا.ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا.”Wahai orang-orang Qurays belilah diri kalian sendiri, saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah SWT., wahai Bani Manaf saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah SWT., wahai Abbas bin Abdul Muththalib saya tidak bisa membantu kalian sedikit pun dari azab Allah SWT., wahai Shofiyah bibi Rasulullah, saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari azab Allah, wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah harta sebanyak apa pun dariku, tapi saya tidak bisa membantumu sedikit pun dari adzab Allah.“ (HR. Bukhari, Juz 3, hal. 191) Rasulullah SAW. tidak memberikan pengecualian dalam hal hukum, makanya tidak ada satu pun anggota keluarganya yang ada di atas hukum. Rasulullah SAW. bersabda:إنّما أهلك من كان قبلكم أنّهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه، وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد، وأيمُ الله لو سرقت فاطمة بنت محمد لقطعتُ يدها“Dari Aisyah ra; sesungguhnya Usamah meminta pengampunan kepada Rasulullah SAW. tentang seseorang yang mencuri, lalu Rasulullah bersabda; bahwasanya binasa orang-orang sebelum kamu disebabkan karena mereka melaksanakan hukuman hanya kepada orang-orang yang hina dan mereka tidak melaksanakannya kepada orang-orang bangsawan. Demi yang jiwaku dalam kekuasaanNya, jika seandainya Fatimah yang melakukannya, pasti aku potong tangannya,” (Sunan al-Nasai, Juz 8, hal. 74). Frasa: “andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri” itu maksudnya adalah tidak ada pengecualian dalam hukum Islam. Karena siti Fatimah (termasuk Ali bin Abi Thalib, al-Hasan dan al-Husain) adalah orang mulia yang jelas maksum, seperti yang tersebut di dalam Qs. al-Ahzab 33, maka beliau-beliau sangat suci dari yang namanya pencurian. Itulah sebabnya, doa alayhissalam dilekatkan kepada mereka di dalam Shahih Bukhari.
Habib itu bermakna orang yang dikasihi sekaligus bermakna orang yang mengasihi. Adalah janggal jika ada habib yang penuh kebencian dan menyebarkannya.Lalu, seiring berjalannya waktu banyak orang menganggap bahwa keluarga Nabi SAW. berada di atas aturan-aturan Islam itu. Anggapan ini lalu menjadi seperti ajaran Islam yang benar: bahwa dzurriyah Nabi SAW. memang berada di atas hukum-hukum Islam, sehingga mereka boleh berbuat apa pun yang mereka mau. Hal inilah yang menimbulkan masalah antara aturan Islam dan fakta (lihat Hasharat Ali Li’adilin Rauf, hal. 168). Jika masalahnya adalah bahwa umat Islam harus mencintai keluarga Nabi SAW., maka itu sangat berbeda dengan menempatkan dzurriyyah Nabi SAW.—karena keluarga Nabi SAW. jelas ma’sum di dalam Qs. al-Ahzab hanyalah Ali, Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain—di atas hukum Islam.Kekhususan keluarga Nabi SAW. itu bukannya tidak ada, justru ada. Diantara kekhususan keluarga Nabi SAW. adalah ummat Islam diminta memperlakukan dzurriyyah Rasul SAW. dengan lembut dan penuh cinta-kasih (Qs, al-Syura: 23). Karena diperintahkan ini atau karena cinta kepada keluarga Nabi SAW., adalah wajar jika kaum muslim juga mencintai dzurriyah Nabi SAW. begitu besarnya. Tetapi, menjadikan kecintaan ini sebagai dasar pembenaran atas segala tindakan dzurriyyah, itu yang tidak benar.Oleh karena itu, jika dzurriyyah Nabi SAW. lebih banyak imannya, ketaqwaannya, kawara-annya, mulia akhlaknya, mulia ucapannya, maka kehormatan dan kedudukannya jauh melampaui orang yang berperilaku sama yang bukan dari dzurriyyah Rasul SAW. Wajar, karena di dalam darahnya mengalir darah Rasul SAW. yang menghiasi nasab, kemuliaan, dan ketinggian kedudukannya. Tetapi, jika mereka berperilaku buruk dan menjauhi Sirah kakeknya, menjauhi ajaran-ajaran agama kakeknya, maka mereka lebih berhak atas keburukan berkali-kali lebih banyak daripada orang biasa.Sebuah riwayat dari Imam Ali al-Ridha. Suatu hari beliau ditanya begini:الجاحد منكم ومن غيركم سواء؟ فقال: الجاحد منّا له ذنبان والمحسن له حسنتان“Apakah orang yang bermaksiat dari ahlil bait sama dengan orang biasa?” Imam Ali Ridha menjawab, “Orang yang bermaksiat dari ahlul bayt diberikan dosa dua kali. Sedangkan orang yang baik dari ahlul bayt diberikan 2 kebaikan,” (al-Kafi, Juz 1 hal. 378).Kemudian ada riwayat lagi seperti ini:أخبرني عمن عاندك ولم يعرف حقك من ولد فاطمة هو وسائر الناس سواء في العقاب؟ فقال: كان علي بن الحسين يقول: عليهم ضعفا العقاب“Kabarkan kepadaku tentang orang yang menentangmu tetapi tidak mengerti hakmu sebagai anaknya Fathimah al-Zahra’, apakah mereka dan orang-orang biasa yang lain sama dalam hal siksa akhirat?” Lalu Imam Ali bin al-Husain menjawab, “Siksa atas ahlul bayt 2x lipat,” (al-Kafi, Juz 1, hal. 377).يقول الإمام زين العابدين في بعض أدعيته: واعصمني من أن أظنَّ بذي عدم خساسة، أو بصاحب ثروة فضلاً، فإنّ الشريف من شرّفته طاعتك والعزيز من أعزّته عبادتكImam Zainal Abidin berkata di dalam sebagian doanya: “…dan lindungilah hamba dari prasangka bahwa orang yang miskin itu hina, atau orang yang kaya itu mulia. Karena sesungguhnya “syarif” (orang yang mulia) itu adalah orang yang Engkau muliakan ketaannya kepada-Mu, sedangkan orang yang agung itu adalah orang yang Engkau agungkan ibadahnya kepada-Mu,” (Syaikh Muslim al-Dawri, Ushul Ilmi al-Rijal Bayna Nadzariyyah wa al-Tathbiq, Juz. 2, hal. 94).Suatu hari Nabi SAW. bersabda di hadapan keluarganya:يا بني هاشم لا تأتيني الناس بأعمالهم وتأتوني بأنسابكم“Wahai Bani Hasyim, janganlah datang kepadaku dengan membawa nasab kalian, sementara manusia datang kepadaku dengan amal mereka,” (al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Juz 1, hal. 314; al-Zayla’I, Takhrij al-Akhbar, Juz 1, hal. 91; al-Masyhadi, Kanz al-Daqaiq, Juz 1, hal. 349).Tetapi, Anda harus ingat, bahwa di akhir hadis ini, pada beberapa sumber, Rasulullah SAW. melanjutkan dengan kalimat begini:لا أغني عنكم من الله شيئاً ،وعنه صلى الله عليه وآله وسلم مَنْ أبطأ به عملُه، لم يُسرع به نسبُه“Aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah.” Dari Rasulullah SAW.: “Barang siapa yang amalannya kurang lagi lamban, maka nasabnya tak dapat menutupi kekurangannya.” (Al-Jashshash, Ahkam al-Quran, Juz 1. Hal. 1)Yang lebih jelas lagi adalah kisah Imam Ali al-Ridha di dalam kitab Uyun Akhbar al-Ridha. Saat itu Imam Ali al-Ridha berada di Khurasan di majelisnya. Saudara Imam Ali al-Ridha yang bernama Zaid bin Musa juga hadir di sana. Di hadapan para jamaah, Zaid bin Musa membangga-banggakan silsilahnya. Imam Ali al-Ridha berkata kepada Zaid, “Wahai Zaid, engkau telah tertipu dengan omongan orang-orang bodoh Kufah; sesungguhnya Fathimah al-Zahra’ telah menjaga kemaluannya yang mulia, maka Allah mengharamkan atas dzurriyyahnya neraka! Demi Allah, itu semua khusus untuk al-Hasan dan al-Husan, serta anak kandung Fathimah. Jika engkau menyangka bisa bermaksiat kepada Allah dan masuk surga, sedangkan Musa bin Ja’far harus mentaati Allah, berpuasa di siang hari, beribadah di malam hari agar bisa masuk surga. Demi Allah, tidak ada seorang pun memperoleh sesuatu dari Allah kecuali dengan ketaatannya. Sedangkan engkau menyangka dapat memperoleh pahala dari Allah dengan maksiat, sungguh buruk apa yang kausangka itu. Kisahnya ditulis dalam Uyun Akhbar al-Ridha, Juz 1, hal. 275, dan kitab Ma’ani al-Akhbar, hal. 106, seperti di bawah ini:ما روي عن الإمام الرضا في عيون أخبار الرضا ، يقول الراوي: كنت بخراسان مع علي بن موسى الرضا في مجلسه وزيد بن موسى (أخو الإمام) حاضر قد أقبل على جماعة في المجلس يفتخر عليهم ويقول: نحن ونحن! وأبو الحسن مقبل على قوم يحدِّثهم، فسمع مقالة زيد، فالتفت إليه فقال: يا زيد أغرّك قول ناقلي الكوفة: “إنّ فاطمة أحصنت فرجها فحرّم الله ذريتها على النار! فوالله ما ذاك إلا للحسن والحسين وولد بطنها خاصة، إن كنت ترى أنك تعصي الله وتدخل الجنة ، وموسى بن جعفر أطاع الله ودخل الجنة فأنت إذا أكرم على الله عزوجل من موسى بن جعفر ، والله ما ينال أحد ما عندالله عزوجل إلا بطاعته ، وزعمت أنك تناله بمعصيته فبئس ما زعمت.Untuk diketahui, bahwa hadis dengan matan “inna Faathimah ahshanat farjaha faharramallahu dzurriyyatahu ‘ala al-naar” diriwayatkan oleh ulama-ulama besar seperti al-Suyuthi dalam Ihya’ al-Mayyit bifadhail ahlil bayt 35: 38, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Dar Quthni dalam al-Ilal al-Waridah, al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abi Nuaim dalam Hilyatul Auliya’, al-Khathib dalam Tarikh Baghdad, Ibnu Asakir dalam Faidh al-Qadir, al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal, al-Muhib al-Tabari dalam Dakhair al-Uqba, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Mathalib al-‘Aliyah bi Zawaidi al-Masanid al-Tsamaniyah, al-Zarqani dalam Syarh al-Mawahib, dan al-Muttaqi Hindi dalam Kanz al-Ummal, Hadis ini habis-habisan dicerca sebagai hadis palsu penuh kebohongan. Padahal, setelah membaca keterangan dari Imam ahlul bayt, menjadi teranglah bahwa yang dimaksud dalam hadis ini adalah al-Hasan dan al-Husain, yang memang dijamin oleh al-Quran di dalam Qs. al-Ahzab ayat 33.Syaikh Husain al-Khosn menjelaskan arti dari hadis ini, bahwa diharamkannya dzurriyyah Rasulullah SAW—berdasarkan manthuq al-Khabar—karena Fathimah telah menjaga kemaluannya. Maka, penjagaan Siti Fathimah atas kemaluannya ini adalah illah bagi diharamkannya dzurriyyahnya atas neraka. Ini karena illah yang dinash-kan mengumumkan hukum kepada seluruh sumber-sumber keberadaannya. Maka, menjadi lazim pengharaman neraka atas keturunan wanita yang menjaga kemaluannya. Cara berpikir ini tidak mungkin terjadi alias mustahil. Oleh karena itu, yang betul adalah Siti Fatimah dan dzurriyyahnya (al-Hasan dan al-Husain) memang orang-orang yang ma’sum, seperti yang telah dibahas oleh Qs. al-Ahzab 33, tentu saja dengan mengetahui sebab turunnya dari riwayat-riwayat yang mutawatir yang dimuat dalam Shahih Muslim, kitab Fadhā`ilus Shahābah, bab Fadhā`il Ahli Bayt al-Nabi SAW; Isa Al-Halabi; Syarah An-Nawawi; Shahih Tirmizi; Musnad Ahmad bin Hanbal; Al-Mustadrak, Al-Hakim; Al-Mu’jamuz Shaghīr, karya Ath-Thabarani; Syawāhidut Tanzīl,karya Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi; Khashā`ish Amīrul Mu`minān, karya An-Nasa’i Asy-Syafi’i; Tarjamatul Imam Ali bin Abi Thalibdalam Tārīkh Dimasyq, karya Ibnu ‘Asakir Asy-Sayarifi’i; Kifāyatut Thālib,karya Al-Ganji Asy-Syafi’i; Musnad Ahmad; Usdul Ghābah fī Ma’rifatis Shahābah, karya Ibnu Atsir Asy-Syafi’i; Dzakhā`irul ‘Uqbā,karya Ath-Thabari Asy-Syafi’i; Asbābun Nuzūl,karya Al-Wahidi; Al-Manāqib, karya Al-Kharazmi Al-Hanafi; Tafsīr Ath-Thabari; Ad-Durrul Mantsūr; Ahkāmul Qurān,karya Al-Jashshash; Manāqib Ali bin Abi Thalib,karya Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i; Mashābīhus Sunnah,karya Al-Baghawi Asy-Syafi’i; Muhammad Ali Shabih; Misykātul Mashābīh, karya Al-‘Amri; Al-Khasysyāfkarya Az-Zamakhsyari; Tadzkiratul Khawwāsh,karya As-Sibth bin Al-Jauzi Al-Hanafi; Mathālibus Sa`ūl,karya Ibnu Thalhah Asy-Syafi’i; Ahkāmul Qurān,karya Ibnu ‘Arabi; Tafsir Al-Qurthubi; Tafsir Ibnu Katsir; Al-fushūlul Muhimmah karya Ibnu Shabbagh Al-Maliki; At-Tashīl li ’Ūlūmit Tanzīl, karya Al-Kalbi; At-Tafsīrul Munīr li ma’ālimit Tanzīl, karya Al-Jawi; Al-Ishābah, karya Ibnu Hajar Asy-Syafi’i; Al-Itqān fī ‘Ulūmil Qurān, karya As-Suyuthi; Ash-Shawā’iqul Muhriqah, karya Ibnu Hajar; Muntakhab Kanzul ‘Ummāl Musnad Ahmad bin Hanbal; As-Sīrah An-Nabawiyah, karya Zaini Dahlan; Is’āfur Rāghibīn, karya Ash-Shabban; Ihqāqul Haqq, karya At-Tustari; Fadhā`ilul Khamsah; Al-Istī’āb,karya Ibnu Abdul Bar; dan Yanābī’ul Mawaddah, karya Al-Qundusi Al-Hanafi;Terakhir adalah riwayat dari Abu Ja’far al-Baqir, bahwasannya ada seseorang dari Yamamah bernama Juwaibir. Dia pergi ke Madinah tak lama setelah dia mendengar berita tentang kemunculan Islam. Disanalah dia menyatakan diri memeluk agama Islam. Pada suatu hari Rasulullah berkata kepadanya, “Juwaibir, alangkah baiknya jika engkau beristeri dan membentuk sebuah keluarga serta mengakhiri kehidupan membujang.”Lalu Juwaibir menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai harta dan rupa yang tampan. Siapakah orang yang bersedia untuk memberi wanita untuk aku nikahi? Dan siapa pula yang mau menjadi isteri seorang miskin, pendek dan hitam sepertiku?”Rasulullah SAW. bersabda, “Wahai Juwaibir, Allah SWT mengubah nilai kehormatan seseorang lewat agama Islam. Banyak orang yang pada masa jahiliyah dihormati, tetapi dari sisi Islam ia tidak memiliki nilai dan kedudukan. Banyak pula yang kelihatan tidak berarti dan tak punya kedudukan, tetapi Islam menaikkan kedudukan dan martabatnya. Melalui Islam, Allah SWT menghapuskan nilai-nilai jahiliyah dan kebanggaan karena keluarga dan keturunan. Kini semua manusia sama, baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, arab atau ajam. Mereka semua satu derajat. Tidak ada satu pun yang lebih tinggi dari yang lain kecuali karena ketaqwaan dan amal perbuatan mereka. Bagiku, orang yang lebih mulia darimu hanyalah orang yang memiliki taqwa dan amal yang lebih baik darimu. Kini lakukanlah apa yang aku perintahkan.” Kemudian Rasulullah SAW. bersabda: “Wahai Juwaibir, pergilah ke rumah Ziad bin Labid, dia adalah orang terhormat dari Bani Bayadhah. Katakana kepadanya, ‘Aku adalah utusan Rasulullah SAW. kepadamu.’ Dan dia (Rasulullah SAW) bersabda kepadamu, ‘Nikahkanlah anakmu Dzalfa’ kepada Juwaibir.’Singkat cerita, Ziad bin Labid menikahkan anaknya dengan Juwaibir. Rasulullah berkata kepada Ziad, “Wahai Ziad, Juwaibir ini seorang mukmin; sedangkan mukmin adalah sekufu bagi seorang mukminah, seorang muslim sekufu bagi muslimah, maka kawinkanlah dia wahai Ziad, dan janganlah engkau membencinya.”Demikian pembahasan mengenai dzurriyyah Rasululah SAW. Intinya, mereka adalah keturunan Rasulullah SAW. yang seharusnya kita perlakukan dengan lembut dan kasih-sayang. Tetapi, kelembutan dan kasih-sayang ini tidak menyebabkan kedudukan mereka berada di atas hukum Islam maupun hukum negara. Seorang waliyullah pastilah memiliki tanda-tanda. Salah-satu tanda-tanda yang menonjol yang dapat dilihat dari waliyullah adalah perilakunya mencerminkan perilaku Allah dalam sifat-sifat yang boleh dimiliki oleh selain Allah. Kekasih Allah termulia adalah Sayyiduna Muhammad bin Abullah SAW. Waliyullah tertinggi adalah Ali bin Abi Thalib. Setidaknya, perilaku dan tutur kata seorang wali terlihat dari perilaku agung Nabi Muhammad SAW. Jika Anda mendapati orang seperti akhlaknya Nabi SAW., walaupun dia bukan siapa-siapa bagimu atau bagi kebanyakan orang, namun sesungguhnya orang seperti itu adalah waliyullah, minimal dalam term “orang yang berakhlak mulia” saja: harus diingat bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW. mengenai akhlak mulia ini sering sekali menyamakannya dengan orang-orang yang rajin berpuasa dan bermujahadah di malam hari secara istiqamah; levelnya berada di tempat tertinggi dalam Islam. Sebaliknya, jika Anda menemukan orang-orang–walaupun–bersurban dan mengatasnamakan Allah dalam segala tindak-tanduknya, namun perilaku dan ucapannya jauh berbeda dengan ajaran Rasulullah SAW., maka ketahuilah dia bukanlah siapa-siapa yang perlu dihiraukan. Seorang ulama tak akan takut penjara karena memperjuangkan Islam, seperti Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Luar Batang, beliau tidak mau dikeluarkan dari penjara berdasarkan ketakutan Belanda saat itu. Habib Luar Batang ini, dengan karamahnya, menghilang dari penjara di malam hari. Demikian juga dengan Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, beliau tidak takut penjara; di dalam penjara–malahan–beliau menampakkan karamahnya yang agung. Begitulah para habaib yang sesungguhnya; habaib yang patut dicintai karena di dalam diri mereka mengalir rasa cinta yang luar biasa kepada ummat manusia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar