Jumat, 31 Maret 2017
POLITIK DAN AGAMA
Pos : Politik dan agamaURL : https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/03/31/politik-dan-agama/Ditulis : 31 Maret 2017 pukul 4:03 pmPenulis : mutiarazuhudTag : Barus, Islam Nusantara, Jokowi, Liberalisme, Pemisahan, PLURALISME, Politik dan agama, Presiden, pusat peradaban, Radikalisme, seklurisme, Sekularisme, Tapanuli Utara, titik nol, tuguKategori : Islam, Politik, Umumhttps://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2017/03/politik-dan-agama.jpg&h=864Umat Islam dalam berpolitik jangan lupakan agamaPresiden Jokowi ketika di Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara, Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara mengakui masih ada gesekan kecil yang terjadi saat pemilihan kepala daerah. Hal ini tak terlepas dari persoalan suku hingga agama. Ia pun menegaskan persoalan politik dan agama harus dipisah, tidak boleh disatukan."Inilah yang harus kita hindarkan. Jangan sampai dicampuradukkan antara politik dan agama, dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," katanya sebagaimana contoh berita pada http://news.detik.com/berita/d-3456602/jokowi-politik-dan-agama-harus-dipisah-betulTerkait pernyataan itu, Mayjen TNI Purnawirawan, Kivlan Zein menilai bahwa pemisahan agama dari politik tidak bisa dibenarkan. Menurutnya, Islam bukan hanya agama yang memperhatikan ibadah saja, tapi juga kehidupan dunia sebagaimana yang diberitakan pada http://www.nasional.in/2017/03/mayjen-tni-nabi-di-masjid-mengatur.htmlBerikut kutipan berita selanjutnya***** awal kutipan *****“Jadi agama Islam ini bukan agama hanya untuk akhirat. Pernyataan itu adalah pernyataan blunder, kalau agama harus dipisah dari politik,” katanya dalam diskusi bertema ‘Mewaspadai Ideologi Anti Islam’ di Bekasi, Selasa (28/03).Kivlan menjelaskan dalam Islam juga diatur bagaimana berpolitik yang baik. Bagaimana mengatur negara adil, musyawarah, ekonomi, bahkan hubungan antar individu.“Politik, ekonomi, politik, budaya, masuk dalam Islam. Jadi Islam dan politik jangan dipisahkan. Islam berjuang untuk dunia dan akhirat,” tuturnya.Ia juga menolak pernyataan bahwa masjid dilarang untuk kegiatan politik. Zaman Nabi, kata dia, masjid digunakan untuk segala urusan.“Nabi Muhammad hijrah pertama membangun masjid. Di situ mengatur politik, militer, pengajian. Itu Islam,” tandasnya.***** akhir kutipan *****Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Ma'ruf Amin menyampaikan bahwa agama dan politik mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan dan justru harus saling menguatkan."Agama dan politik itu kan saling mempengaruhi, politik kebangsaan itu kan juga harus memperoleh pembenaran dari agama, kalau tidak bagaimana?" ujarnya saat menghadiri Refleksi Kebangsaan 71 Tahun Muslimat NU di Hotel Crowne Plaza, Jakarta Selatan, Senin (27/3). Sebagaimana contoh berita pada http://www.opinibangsa.id/2017/03/menanggapi-pernyataan-jokowi-ini.htmlBerikut kutipan berita selanjutnya***** awal kutipan *****"Mungkin yang dimaksud Pak Presiden itu kalau paham-paham yang bertabrakan hingga menimbulkan masalah. Tapi kalau tidak ada pembenaran dari agama bagaimana? Jadi agama, Pancasila dan negara itu saling menopang dan menguatkan," ucapnya.Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut menuturkan paham-paham yang dapat menimbulkan masalah salah satunya, yaitu paham radikalisme agama. Menurut dia, hal itu dapat mengganti Pancasila jika tidak segera diatasi. Begitu juga dengan halnya radikalisme sekuler yang juga tidak membolehkan agama ikut campur."Padahal agama dan politik itu mesti ada penguatan kalau tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan. Karena itu harus saling menguatkan tapi bukan dalam pengertian agama yang radikal kalau radikalisme agama itu menjadi sesuatu yang merusak," kata Kiai Ma'ruf.***** akhir kutipan *****Jadi paham-paham yang dapat menimbulkan masalah di NKRI diantaranya adalah paham radikalisme agama dan radikalisme sekuler.Pengertian radikalisme agama adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara kekerasan akibat mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka menyalahkan atau menganggap sesat atau bahkan mengkafirkan dan menghalalkan darah umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti contoh “bom bunuh diri” di masjid.Pada kenyataannya radikalisme yang diperlihatkan ISIS, Al Qaeda dan turunannya maupun mereka yang merasa sebagai mujahidin adalah akibat mereka mengembalikan kepada Allah (Al Qur’an) dan RasulNya (As Sunnah) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/01/11/terorisme-dan-wahabisme/Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang berguru atau mengambil pendapat dari orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar”Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitanAl-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60); “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqahaMantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59) atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.Pernyataan yang disampaikan oleh Presiden di atas, memang mengingatkan kita kepada para pengikut paham Sekularisme.Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwanya No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang kesesatan paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama dapat diunduh (download) pada http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/12.-Pluralisme-Liberalisme-dan-Sekularisme-Agama.pdfDefinisi sekularisme agama dalam fatwa MUI di atas adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.Potongan sabda atau potongan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sering disalah gunakan untuk pembenaran paham Sekulerisme adalah ”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”. (HR. Muslim 4358)Hadits selengkapnya,Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin ‘Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian’ (HR Muslim 4358)Kaum sekulerisme berpendapat urusan dunia tidaklah diurus oleh agama, terbukti dalam hadits tersebut Rasulullah salah memberikan nasehat dalam penanaman kurma berikut contoh pernyataan mereka selengkapnya,**** awal kutipan *****“Ketika Nabi shallalahu alaihi wasallam memberikan nasihat tentang cara mengawinkan pohon kurma supaya berbuah, ini bisa dianggap bahwa beliau sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi yang di mana beliau tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan untuk itu.Tapi ternyata dalam masalah menanam kurma ini pendapat beliau keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul. Maka para petani kurma itu mengadu lagi kepada Nabi saw, meminta pertanggungjawaban beliau. Dan beliau menyadari kesalahan advisnya waktu itu dan dengan rendah hati berkata, “Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tapi kalau itu berkaitan dengan urusan dunia kamu, maka “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum”, kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.Rasulullah mengakui keterbatasannya. Rasulullah bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman beliau pun beliau bukanlah orang yang paling tahu.Jadi tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah untuk mengetahui segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di jaman modern ini…! Tentu tidak mungkin kita harus mencari-cari semua aturan tetek-bengek dalam hadist beliau. Itu namanya set-back. Lha wong di jamannya saja Rasulullah menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat beliau dalam ‘urusan duniamu’ tersebut.”**** akhir kutipan *****Dalam hadits di atas Rasulullah hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Hal ini dapat kita ketahui terkait firman Allah Azza wa Jalla, “subhaana alladzii khalaqa al-azwaaja kullahaa mimmaa tunbitu al-ardhu” , “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi” (QS Yaa Siin [36]:36).Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan tanggapan Rasulullah.Sedangkan makna perkataan Rasulullah, “wa antum a’lamu bi amri dunyakum”, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” , yang dimaksud “urusan dunia” khusus urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama, seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahuan manusia dalam membantu perkawinan kurma.Urusan agama maupun urusan dunia termasuk urusan politik atau bernegara kita harus mempergunakan dasar hukum bagi umat Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan ada lima yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.Sedangkan perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut menurut para fuqaha adalah merupakan amrun mubah sebagaimana contoh yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/Contohnya para koruptor yang mengaku muslim yang menyalahgunakan kekuasaan atau politik untuk memperkaya diri mereka, boleh jadi karena mereka “memisahkan” atau melupakan urusan agama.Orang-orang yang mengikuti paham Sekularisme yang mengaku muslim pada umumnya adalah mereka yang mengikuti paham liberal atau yang disebut dengan liberalisme yakni sebagaimana yang didefinisikan dalam fatwa MUI adalah orang-orang yang memahami Al Qur’an dan Hadits menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.Mereka juga yang mengusung paham Pluralisme Agama yang didefinisikan dalam fatwa MUI di atas adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’Gus Dur sangat menghormati pluralis (keberagaman) namun orang-orang disekeliling Gus Dur, ada yang salah memahaminya dan bahkan menyebut atau menggelari Beliau sebagai bapak Pluralisme.Kita sebaiknyan dapat membedakan antara pluralitas (pluralis/keberagaman) agama dengan pluralisme.Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.Gus Dur sangat menghormati pluralis (keberagaman).Gus Dur adalah tokoh Islam terdepan dalam memerangi sikap-sikap intoleran terhadap penganut agama lain namun bukan tokoh Islam yang membenarkan agama selain IslamSyaiful Arif dalam diskusi dan bedah buku hasil karyanya bertajuk “Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” di hotel Akmani, Jl. KH Wahid Hasyim No. 91, Jakarta (12/11/2013) menyampaikan pendapatnya bahwa penyematan “Gus Dur Bapak Pluralisme” dinilai kurang tepat sebagaimana yang diberitakan pada http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,48190-lang,id-c,nasional-t,Penyematan++Gus+Dur+Bapak+Pluralisme++Dinilai+Kurang+Tepat-.phpx“Saya tidak sependapat dengan penyematan gelar tersebut. Pasalnya, Gus Dur itu sangat konsen memperjuangkan kemanusiaan. Ketika beliau membela minoritas non-muslim, Tionghoa, Ahmadiyah, dan lain-lain, maka yang dibela adalah manusianya. Bukan institusi Tionghoa dan Ahmadiyahnya”. kata Arif.Jadi yang diperjuangkan oleh Gus Dur adalah kemanusiaannya yakni mengakui, menghormati, toleran, merangkul, membela keberagaman manusia dengan keyakinannya (pluralis) bukan memperjuangkan membenarkan agama selain Islam atau memperjuangkan membenarkan pemahaman firqah Ahmadiyah dan firqah-firqah lainnya yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).Dalam fatwa MUI di atas telah pula diingatkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikanFirman Allah Ta’ala yang artinya,“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maa-idah [5]:8 )“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )Ironisnya, firman Allah Ta’ala surat Al Mumtahanah ayat 8 digunakan dalam sidang lanjutan dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017), oleh salah seporang saksi ahli yang diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa untuk meringankan terdakwa yakni kiai Masdar Farid Mas’udi yang kini juga menjabat rais syuriah PBNU 2015-2020 dan wakil ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyampaikan pendapatnya bahwa tidak boleh memaknai surat Al Maidah ayat 51 secara terpisah dari surat Al Mumtahanah ayat 8. Menurut dia, surat Al Mumtahanah memperjelas kriteria pemimpin yang boleh dipilih. Dua ayat itu harus dilihat secara holistik (satu kesatuan / menyeluruh) sebagaimana contoh berita pada http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/29/rais-syuriah-pbnu-sebut-kriteria-pemimpin-non-muslim-yang-tak-boleh-dipilihSebagaimana dalam Fatwa MUI di atas surat al Mumtahanah ayat 8 sebagai dasar hukum pergaulan sosial bukan sebagai kriteria memilih pemimpin non muslim sebagaimana yang telah dikutip pula dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/03/30/qs-al-mumtahanah-8/Para saksi ahli yang diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa tampaknya berubah-ubah pendapatnya, dalam sidang kali ini, saksi ahli sepakat bahwa “auliya” dalam surat Al Maidah ayat 51 adalah terkait dengan memilih pemimpin.Sedangkan dalam sidang sebelumnya, Selasa 21Maret 2017 , Kiai Ahmad Ishomuddin yang juga dosen di Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, Lampung mengatakan bahwa dia telah melakukan riset terhadap puluhan kitab tafsir. Namun, dalam seratusan halaman, tidak ada satu pun yang menyebut makna dari kata Auliya adalah pemimpin.“Ya silakan, tetapi dalam riset saya terhadap sekitar 30 kitab tafsir, saya membawa sekitar 111 halaman dari puluhan kitab tafsir, tidak ada satu pun saya mendapati bermakna pemimpin” ujarnya sebagaimana yang diberitakan pada http://metro.news.viva.co.id/news/read/896443-ahli-agama-kata-auliya-di-al-maidah-51-bermakna-teman-setiaPada kenyataannya dengan mudah kita temukan dalam kitab tafsir Jalalain karya Imam Suyuthi yang menurut para ulama diakui sebagai salah seorang pembaharu (mujaddid) untuk abad ke 9 sebagaimana yang dinubuatkan oleh Rasulullah akan lahir setiap 100 tahun sekali menyampaikan tafsirnya sebagaimana yang kami kutip dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/03/25/pemimpin-yang-diikuti/****** awal kutipan ******yaa ayyuhaal ladziina aamanuu laa tattakhidzuul yahuuda wal nashaaraa awliyaa-a, (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintaiba’dhuhum awliyaau ba’dhin , (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran.waman yatawallahum minkum fa-innahu minhum , (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka.inna allaaha laa yahdiil qawmazhzhaalimiina, (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka.****** akhir kutipan *****Sedangkan pada ayat selanjutnya (QS Al Maidah [5]: 52) yang menjelaskan keadaan atau saat turunnya (asbabun nuzul) ayat (QS Al Maidah [5]: 51), Imam Suyuthi menyampaikanFirman Allah Ta’ala,Fataraal ladziina fii quluubihim maradhun, (Maka kamu lihat orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit) yakni lemah akidahnya seperti Abdullah bin Ubai gembong munafik ituyusaari’uuna fiihim, (bersegera kepada mereka) untuk mengambil mereka sebagai pemimpinyaquuluuna, (seraya katanya) mengemukakan alasan dari sikap mereka itu.nakhsyaa an tushiibanaa daa-iratun, ( “kami takut akan mendapat giliran bencana.”) misalnya giliran musim kemarau, kekalahan, sedangkan urusan Muhammad tidak berketentuan sehingga tidak dapat membela kami. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala,:fa’asaa allaahu an ya/tiya bialfathi, (Semoga Allah mendatangkan kemenangan) kepada rasul-Nya dengan mengembangkan agama-Nya,aw amrin min ‘indih, (atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya) misalnya dengan membuka kedok orang-orang munafik dan menyingkapkan rahasia merekafayushbihuu ‘alaa maa asarruu fii anfusihim (sehingga mereka atas apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka) berupa keragu-raguan dan mengambil orang-orang kafir itu sebagai pemimpinnaadimiina (menjadi menyesal) (tafsir Jalalain QS Al Maidah [5] : 52)Jadi jelaslah bahwa Allah Ta’ala telah berfirman tentang siapa yang dimaksud orang-orang munafik tersebut yang menjadikan orang-orang kafir sebagai “teman dekat” atau “teman sekutu” adalah menjadikan pemimpin yang diikuti dan dicintai karena mereka takut akan mendapatkan bencana atau kesukaran hidup di dunia alias “demi kepentingan dunia” sehingga mereka meragukan dan meninggalkan kepemimpinan Rasulullah.Dalam keputusan Bahtsul Masail PCNU Kota Surabaya 25 September 2016 bahwa memilih pemimpin non muslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden menjadi haram sebab memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya sebagaimana yang diberitakan pada http://www.muslimoderat.com/2016/09/bahtsul-masail-surabaya-haramkan-pilih.html?m=1Berikut kutipan pertimbangannya*****awal kutipan *****1) Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non muslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong non muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum.Meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non muslim―baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya—baik dalam ucapan maupun perbuatan—terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan.Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.2) Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin 1) terdapat khilaf, seperti menjadikan non muslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat—yang lemah—yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin non muslim.Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas non muslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada.Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin non muslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar.Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.3) Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat.4) Asumsi memilih pemimpin non muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.5) Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: “Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim”, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat beberapa ulama, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.6) Asumsi bahwa penafsiran kata ‘auliya dengan makna pemimpin/penguasa—dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan non muslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim, tidak sepenuhnya benar.Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada non muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah.***** akhir kutipan *******Khalifah Umar bin Khattab pernah menyuruh Abu Musa Al Asy’ari memecat sekretarisnya karena ia Nasrani lalu Umar membaca surat Al Maidah 51 sebagaimana yang tercantum dalam tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. tafsir Ibn Abi Hatim dan sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.Kisah tersebut dicantumkan pula dalam Tafsir al-Qurtubi ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala yang artinya,Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS Ali Imran [3] : 118)Ucapan sayyidina Umar dalam Tafsir al-Qurtubi, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.Firman Allah Ta’ala“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )Gus Sholah mengingatkan bahwa NU sudah menggariskan di dalam Muktamar NU bahwa sikap NU seperti apa. Rais Amm juga sudah punya sikap. Jangan ada aktivis NU mengambil sikap berbeda. Itu tidak sehat sebagaimana berita yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/01/24/jangan-sikap-berbeda/Begitupula KH A Hasyim Muzadi mempertanyakan bahwa yang mimpin PBNU Rais ‘Aam apa Rais AwamKH A Hasyim Muzadi menyampaikan kenyataan bahwa Rais ‘Aam Syuriah PBNU sebagai pemimpin yang punya otoritas paling tinggi ternyata tak dihormati bahkan dilawan oleh jajaran Tanfidziah PBNU.Ia mencontohkan kasus penyikapan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap melakukan penistaan terhadap surat al-Maidah 51 dan ulama. Dalam hal ini KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjabat Rais Am Syuriah PBNU menghukumi Ahok telah menistakan agama Islam tapi dilawan secara terbuka oleh Nusron Wahid sebagai ketua PBNU.Kemudian ternyata Nusron Wahid tidak lagi menjadi bagian dari ketua PBNU sebagaimana kabar yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/10/31/nusron-bukan-dipecat/Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin meluruskan rumor yang menyatakan bahwa Nusron Wahid dipecat sebagai ketua PBNU. Menurutnya, PBNU tak pernah memecat mantan ketua umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor itu.Nusron mengundurkan diri secara otomatis dari kepengurusan NU sejak ia kembali aktif di Golkar sebagai Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu pada Mei 2016. Pengunduran diri ini adalah konsekuensi logis dari AD/ART dan Peraturan Organisasi Nahdlatul Ulama yang melarang pengurus NU merangkap jabatan di partai politik.Saat dikonfirmasi, Nusron mengatakan sudah mengajukan pengunduran diri secara resmi pada bulan Juli lalu, sehari setelah dilantik jadi pengurus DPP Golkar, dan PBNU menghormati pilihannya.Untuk itulah sebagaimana yang disarankan oleh KH Said Aqil Siradj bahwa meskipun telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada umat Islam, proses hukum terhadap Ahok harus terus berjalan.“Kalau minta maaf, kita maafkan. Tetapi proses hukum harus berjalan. Ahok harus diperiksa, salah atau tidak nanti ketahuan. Periksa dari awal, dari nol, praduga tak bersalah,” kata Kang Said sebagaimana yang diberitakan pada http://www.nu.or.id/post/read/72274/soal-ancaman-pribadi-ketum-pbnu-lebih-baik-ahok-diproses-hukumKalau kita mengamati penegakkan hukum di negeri ini, contoh akibat sebuah pernyataan seorang perempuan kristen yang dituduhkan sebagai melecehkan agama Hindu dapat dijatuhi hukuman 14 bulan penjara sebagaimana yang diberitakan pada http://www.bekasimedia.com/di-bali-perempuan-kristen-dipenjara-14-bulan-karena-menghina-agama-hindu/Setelah menerima laporan dari Suliati, polisi Bali menjadikan Rusgiani tersangka dan dikenai pasal 156 KUHP, yang menyatakan bahwa “orang yang menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau lebih kelompok penduduk Indonesia harus dihukum dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.Rusgiani mengaku mengeluarkan pernyataan itu spontan dan disampaikan di hadapan tiga orang temannya. “Tidak ada maksud menghina atau pun menodai ajaran agama Hindu, ujar Rusgiana sebagaimana yang diberitakan pada http://news.detik.com/berita/2400764/hina-agama-hindu-ibu-rumah-tangga-di-bali-dibui-14-bulanPembelaan Rusgiani bahwa “tidak ada maksud menghina atau pun menodai ajaran agama Hindu” tidak dapat menyelamatkan dirinya dari penjara.Hal yang harus kita ingat bahwa kasus Ahok,bukanlah masalah keberagaman (pluralitas) agamabukanlah masalah tafsir Al Maidah 51bukanlah masalah demokrasi,bukanlah masalah toleransi,bukanlah masalah bhinneka tunggal ika,Namun Ahok sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa pokok permasalahan adalah pernyataannya “dibohongin pakai surat Al Maidah” dan Ahok tidak merasa bersalah atas pernyataannya tersebut sebagaimana berita yang kami arsip (salin) dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/03/24/pokok-masalah-ahok/***** awal kutipan *****“‘Kalimat dibohongin pake surat Al Maidah” dengan kalimat “dibohongin (oleh) surat al-Maidah” memiliki dua arti yang sangat berbeda,” kata Ahok“Yang pertama, (maknanya) Al Qur’an adalah obyek yang dipakai untuk tindakan kebohongan, sedangkan kalimat yang kedua Al Qur’an adalah subyek, artinya Al Qur’an yang berbohong,” lanjutnya.Dengan begitu, Ahok merasa tidak ada yang salah dengan ucapan ‘dibohongin pakai Al Maidah ayat 51. Karena itu Ahok juga merasa tak perlu meminta maaf dengan ucapan itu.****** akhir kutipan *****Jadi sidang kasus Ahok tidak perlu berlarut-larut dan fokus menyidangkan terhadap pernyataannya, “dibohongin pakai surat Al Maidah”Para hakim atau jaksa dalam sidang tersebut dapat mengajukan pertanyaan contohnya,“Saudara Ahok, anda menyatakan “dibohongin pake surat Al Maidah”, apakah para politisi menggunakan pandapat atau fatwa para ulama (fuqaha) dalam kampanye agar umat Islam tidak memilih Ahok sebagai Gubernur “pakai” (berdasarkan) (QS Al Maidah [5] : 51) adalah upaya pembohongan ?”Kalau Ahok menjawab “TIDAK” atau bukan upaya pembohongan maka Ahok bersalah atau menistakan agama karena dia menyatakan “dibohongin pake surat Al Maidah”Kalau Ahok menjawab “YA” atau upaya pembohongan maka Ahok bersalah atau menistakan agama karena bukanlah upaya pembohongan melainkan hak para politisi menggunakan pandapat atau fatwa para ulama (fuqaha) dalam kampanye agar umat Islam tidak memilih Ahok sebagai Gubernur “pakai” (berdasarkan) (QS Al Maidah [5] : 51)Silahkan para “pembela” Ahok menafsirkan (QS Al Maidah [5] : 51) sebagaimana yang mereka inginkan namun umat Islam boleh tidak memilih Ahok sebagai Gubernur “pakai” (berdasarkan) (QS Al Maidah [5] : 51) sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/10/19/dasar-tak-memilih-ahok/Hal yang dilarang adalah menyalahgunakan ayat bukan menggunakan ayat.Tidak boleh melarang umat Islam menggunakan ayat Al Qur’an maupun Hadits untuk menjalani kehidupan seperti berpolitik sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/10/16/larang-gunakan-al-quran/Apalagi yang menggunakan ayat adalah para fuqaha yakni ulama yang faqih atau berkompeten dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits berdasarkan cara instibat yang dicontohkan oleh Imam mazhab yang empat maka fatwa mereka wajib diikuti oleh orang-orang yang mengaku muslim.Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha.Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa imanBagi umat Islam, jika berbeda pendapat maka kembalikanlah kepada Allah Ta’ala (Al Qur’an) dan RasulNya (Hadits) dengan mengikuti “ulil amri di antara kamu” yakni para fuqaha karena Rasulullah melarang kita mengikuti akal pikiran sendiri.Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin***** awal kutipan *****Pasal 1Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.Pasal 17Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satuTidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara merekaPasal 36 ayat 1Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam***** akhir kutipan *****Selengkapnya piagam Madinah pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/03/piagam-madinah.pdfDalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.Pemberontakan DI / TII ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam.Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam.Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal.Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia.Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain.Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954).Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan.Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakukan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha.Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei.Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.Begitupula terhadap umaro (penguasa negeri) yang mengaku muslimpun namun tidak mentaati para fuqaha atau kebijakan umaro (penguasa negeri) menurut pendapat para fuqaha, ada yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka wajib kita ingkari dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan.Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])Sedangkan bagi yang mampu melenyapkan kemungkaran atau ingin mengganti penguasa negeri yang diingkari maka lakukanlah dengan cara-cara yang baik mengikuti hukum konstitusi yang berlaku dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS Al Baqarah [2]:11)Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)WassalamZon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830Berikan sebuah komentar untuk pos ini: https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/03/31/politik-dan-agama/#respond-- WordPress.com | Terima kasih karena terbang bersama WordPress!Kelola Langgananhttps://subscribe.wordpress.com/?key=6
Rabu, 08 Maret 2017
SIFAT WAJIB BAGI ALLAH ( SIFAT 20 )
Tekan tanda tanya untuk melihat tombol pintasan yang tersedia
Mamienk safnaPublikMar 09, 10.56Http://mamienksafna.blogspot.comPertama kali dibagikan oleh Refaldy Aditya20 Sifat Wajib Kepada Allah Beserta Dalil NaqlinyaGolongan sesat WAHABI selalu mengatakan kesalah Tauhid Asyairah ( Tauhid sifat 20 ), Tauhid sifat 20 mereka katakan bid’ah karena tidak ada masa Nabi Muhammad SAW.Pertanyaan : Apakah benar Tauhid sifat 20 yang dicetus lalu dirangkum dalam kitab oleh Imam Asy’ri adalah bid’ah ? 1 . WujudDalilnya :ان ربكم الله الذى خلق السموات والارض Artinya: sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang yang menciptakan langit dan bumi(Q.S.Al- A’raf : 54)2. QidamDalilnya :هو الاول والاخر والظاهر والباطن وهو بكل شيئعليم (الحديد 3)Artinya :Dialah yang pertama dan yang akhir dan yang zahir dan yang batin , dan Ia maha mengetahui dengan segala sesuatu (Q.S Al-Hadid 3)3. BaqaDalilnya :كلّ شيئ هالك الاّ وجهه (القصاص : 88)Artinya : Setiap sesuatu itu akan binasa kecuali Za tNYa (Q.S Al-Qishas : 88)4. Mukhalafatuhu li Al-HawaditsDalilnya :ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير (الشورى 11)Artinya :Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang maha mendengar dan maha melihat (Q.S Asy-Syura 11)5. Qiyamuhu bi NafsihiDalilnya :فإِنّ اللّه غنيّ عن العالمين Artinya : Sesungguh Allah SWT terkaya dari sekalian Alam. ( Q.S Ali Imran : 97 )6. WahdaniyahDalilnya :قل هو الله أحدArtinya : Katakanlah wahai Muhammad, Allah itu satu(Q.S Al-Ikhlas : 1 )7. QudrahDalilnya :إِنّ اللّه على كل شيْء قديرArtinya : Sesungguh Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu ( Q.S Al-Baqarah : 20 )8. IradahDalilnya : اذا أراد شئا أن يقول له كن فيكون (يس :82) Artinya: Apabila mengiradah Ia (Allah) akan sesuatu, Bahwa Ia berkata Jadi maka jadi ia(Q.S Yasin :82)9. IlmuDalilnya :والله عليم حكيمArtinya : Dan Allah Maha mengetahui dan Maha bijaksana.( Q.S An-Nisa : 26 )10. HayahDalilnya :الله لااله الا هو الحي القيوم (البقرة : 255)Artinya :Allah tiada Tuhan selainNya yang Maha hidup dan Maha kekal (Q.S Al-baqarah : 255)11. Sama’12. BasharDalilnya :انه هو السميع البصير (بنى اسرائيل :1)Artinya :Sesungguhnya Allah Maha melihat lagi Maha mendengar ( Q.S Bani Israil : 1)13 . KalamDalilnya :وكلم الله موسى تكليماArtinya : Sungguh telah berkalam oleh Allah SWT dengan Nabi Musa AS. )Q.S An-Nisa : 164 )14. Qadirun15. Muridun16. Alimun17. Hayyun18. Sami’un19. Bashirun20. MutakallimunDalil no 14-20 itu sama dengan dalil no 7-13.
tidak ada plus satutidak ada komentarbelum pernah dibagikanDibagikan kepada publikTambahkan komentar...
Mamienk safnaPublikMar 09, 10.56Http://mamienksafna.blogspot.comPertama kali dibagikan oleh Refaldy Aditya20 Sifat Wajib Kepada Allah Beserta Dalil NaqlinyaGolongan sesat WAHABI selalu mengatakan kesalah Tauhid Asyairah ( Tauhid sifat 20 ), Tauhid sifat 20 mereka katakan bid’ah karena tidak ada masa Nabi Muhammad SAW.Pertanyaan : Apakah benar Tauhid sifat 20 yang dicetus lalu dirangkum dalam kitab oleh Imam Asy’ri adalah bid’ah ? 1 . WujudDalilnya :ان ربكم الله الذى خلق السموات والارض Artinya: sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang yang menciptakan langit dan bumi(Q.S.Al- A’raf : 54)2. QidamDalilnya :هو الاول والاخر والظاهر والباطن وهو بكل شيئعليم (الحديد 3)Artinya :Dialah yang pertama dan yang akhir dan yang zahir dan yang batin , dan Ia maha mengetahui dengan segala sesuatu (Q.S Al-Hadid 3)3. BaqaDalilnya :كلّ شيئ هالك الاّ وجهه (القصاص : 88)Artinya : Setiap sesuatu itu akan binasa kecuali Za tNYa (Q.S Al-Qishas : 88)4. Mukhalafatuhu li Al-HawaditsDalilnya :ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير (الشورى 11)Artinya :Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang maha mendengar dan maha melihat (Q.S Asy-Syura 11)5. Qiyamuhu bi NafsihiDalilnya :فإِنّ اللّه غنيّ عن العالمين Artinya : Sesungguh Allah SWT terkaya dari sekalian Alam. ( Q.S Ali Imran : 97 )6. WahdaniyahDalilnya :قل هو الله أحدArtinya : Katakanlah wahai Muhammad, Allah itu satu(Q.S Al-Ikhlas : 1 )7. QudrahDalilnya :إِنّ اللّه على كل شيْء قديرArtinya : Sesungguh Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu ( Q.S Al-Baqarah : 20 )8. IradahDalilnya : اذا أراد شئا أن يقول له كن فيكون (يس :82) Artinya: Apabila mengiradah Ia (Allah) akan sesuatu, Bahwa Ia berkata Jadi maka jadi ia(Q.S Yasin :82)9. IlmuDalilnya :والله عليم حكيمArtinya : Dan Allah Maha mengetahui dan Maha bijaksana.( Q.S An-Nisa : 26 )10. HayahDalilnya :الله لااله الا هو الحي القيوم (البقرة : 255)Artinya :Allah tiada Tuhan selainNya yang Maha hidup dan Maha kekal (Q.S Al-baqarah : 255)11. Sama’12. BasharDalilnya :انه هو السميع البصير (بنى اسرائيل :1)Artinya :Sesungguhnya Allah Maha melihat lagi Maha mendengar ( Q.S Bani Israil : 1)13 . KalamDalilnya :وكلم الله موسى تكليماArtinya : Sungguh telah berkalam oleh Allah SWT dengan Nabi Musa AS. )Q.S An-Nisa : 164 )14. Qadirun15. Muridun16. Alimun17. Hayyun18. Sami’un19. Bashirun20. MutakallimunDalil no 14-20 itu sama dengan dalil no 7-13.
tidak ada plus satutidak ada komentarbelum pernah dibagikanDibagikan kepada publikTambahkan komentar...
TELAAH KRISIS KONSEP BERFIKIR ASWAJA ANNAHDLIYAH ( FIKRAH ASWAJA AL NAHDLIYAH )
Banyak pengikut Ahlussunnah wal jama’ah di dunia. Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyah mengaku sebagai Aswaja. Sayyid Alwi Al Maliki juga Aswaja. Ulama’ Universitas Al Azhar Mesir juga didominasi Aswaja. Front Pembela Islam [FPI] juga Aswaja. Muhammadiyah juga Aswaja. Bahkan Salafi Wahabi, akhir-akhir ini juga mengaku Aswaja. Tidak ketinggalan pula Hizbut Tahrir, dan beberapa ormas yang lain, semuanya mengaku Aswaja. Karena banyaknya Aswaja-aswaja ini, apa yang membedakan Aswajanya NU dengan Aswaja yang lain? Ini yang hendak dijawab oleh tulisan ini.A. Pengertian Ahlusssunnah Wal JamaahAswaja versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al–Jama’ah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.[1] Jama’ahmengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.[2]Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.[3]Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari,Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[4] Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy,Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[5]Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimilikiAhlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh)agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.[6]B. Ahlusssunnah Wal Jamaah dalam konteks IndonesiaDi Indonesia, yang paling dominan adalah mengikuti Imam Asy’ari dalam aspek aqîdah, Imam Syâfi’i dalam aspek fiqh, dan Imam Ghazâli dalam aspek tasawuf. Karya-karya mereka dikaji di pesantren, madrasah, majlis ta’lim, masjid, mushalla, dan lain-lain. Imam Asy’ari terkenal dengan kemampuannya menggabungkan dimensi rasionalitas Mu’tazilah (karena lama menjadi pengikut Mu’tazilah) dan tradisionalitas Jabariyah (fatalistik). Teori kasb(upaya/usaha) adalah buktinya. Teori ini dimunculkan sebagai mediasi antara kaum rasionalis dan tradisionalis, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berusaha, namun hasil akhirnya berada dalam kekuasaan Allah[7].Imam Syâfi’i terkenal dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas ahlu al-ra’yi (pengikut Imam Hanafi di Irak) dan tradisionalitas ahlu al-hadîs (pengikut Imam Mâlik di Madinah). Konsep qiyâs (analogi) danistiqrâ’ (penelitian induktif) dalam menjawab masalah-masalah aktual adalah pemikiran cemerlang Imam Syâfi’i yang menggemparkan jagat intelektualitas pada masa itu.Sedangkan Imam Ghazâli terkenal dengan kemampuannya menggabungkan rasionalitas filosof, formalitas ahli fiqh, dan esoteritas kaum sufi. Ihyâ’ Ulûmiddîn adalah master pieceAl-Ghazali yang mengandung kedalaman kajian aqîdah, filsafat, fiqh, tasawuf, sosial dan politik dalam satu kesatuan yang holistik. Tasawuf falsafidan amali digabungkan dalam satu pemikiran dan tindakan yang membawa perubahan positif bagi masa depan dunia dan akhirat.[8]C. Prinsip-prinsip AhlussunnahWal Jamaah di sepanjangsejarah dan perkembangannyaDalam sejarah perkembangannyaAhlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip dalam mengamalkan ajarannya. Diantaraprinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik dengan penjabaran sebagai berikut: 1. Bidang AqidahAswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka. 2. Bidang Istinbath Al-Hukm(Pengambilan Hukum Syari’ah)Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:a) Al-Qur’anAl-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm)tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.b) As-SunnahAs-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.c) Ijma’Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalahKesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2: 143.d) QiyasQiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihadpara Ulama.Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyassangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i. 3. Bidang TasawufImam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik 4. Bidang Sosial PolitikBerbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara.Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah[9]:a. Prinsip Syura (musyawarah)Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya.Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.Lima pokok atau prinsip tersebut yaitu: 1. Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya. 2. Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara. 3. Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia. 4. Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Naslberarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya. 5. Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.d. Prinsip Al-Musawah (KesetaraanDerajat)Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya.Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.D. Karakteristik Ahlusssunnah Wal Jamaah Dalam Mensikapi Perkembangan ZamanAda lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain : 1. At-TawassuthTawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan 2. Al I’tidalI’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela. 3. At-TasamuhTasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan. 4. At-TawazunTawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain. 5. Amar Ma’ruf Nahi MunkarAmar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.E. Eksistensi Ahlussunnah Wal Jamaah di era GlobalisasiDalam menapaki kehidupan modern kader Ahlusssunnah Wal JamaahNahdliyah di masa depan harus selalu tanggap mampu menguasai tiga bidang di atas sekaligus. Ahli di bidang aqîdah, fiqh, dan tasawuf yang membawa perubahan dan kemajuan besar bagi peradaban dunia. Tidak hanya itu, kaderAhlusssunnah Wal Jamaah juga harus menguasai tafsir, hadis, dan pemikiran para pemikir Islam dalam semua bidang, karena Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi, khulafâ’ al-râsyidîn, dan golongan mayoritas umat (al-sawâdu al-a’dham). Mengikuti jejak pemikiran dan perjuangan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ahmad Shidiq, KH. Ali Ma’shum, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Musthofa Bisyri, dan KH. Sa’id Aqil Siradj adalah langkah terbaik untuk mengembangkan Ahlusssunnah Wal Jamaah secara dinamis dan produktif. Semangat membaca dari berbagai sumber pengetahuan, baik Barat maupun Timur, mengapresiasi pemikiran dan budaya lokal, menulis buku dan kitab, berjuang mencerdaskan umat dan menyejahterakan rakyat, dan aktif melakukan kaderisasi adalah kunci sukses dalam mengembangkanAhlusssunnah Wal Jamaah. KaderAhlusssunnah Wal Jamaah juga harus mampu menepis tuduhan sepihak yang dilontarkan kelompok lain yang mengatakan bahwa banyak praktek budaya yang dilakukan warga NU termasuk bid’ah tersesat yang ancamannya adalah masuk neraka.Agar semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang sekaligus menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin.Aswaja harus diposisikan sebagai metode berpikir dan bertindak yang berarti menjadi alat (tools) untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Sebagai alat, maka sikap proaktif untuk mencari penyelesaian menjadi lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil.Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif, namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi kreativitas. Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah (tematik) atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawurlintas disiplin keilmuan empiric danWaqi’iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif). Menurut Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikanaswaja sebagai manhaj al-fikr ataumanhaj al-amal: 1. Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru; 2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual(madzhab qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis(madzhab manhajy); 3. Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok(ushul) dan mana yang cabang(furu’); 4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif; 5. Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya.Menurut KH. Said Agil Siradj,Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. BaginyaAhlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakniAhlussunnah Waljamaah bukan sebagaimazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr (pendekatan berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh tuntutan realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul ‘Ulama memiliki manhajAhlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul ‘Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain[10] : 1. Fikrah Tawassuthiyah (polapikir moderat), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa bersikap tawazun(seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. 2. Fikrah Tasamuhiyah (polapikir toleran), artinya Nahdlatul ‘Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda. 3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul ‘Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al ashlah). 4. Fikrah Tathawwuriyah (polapikir dinamis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. 5. Fikrah Manhajiyah (polapikir metodologis), artinya Nahdlatul ‘Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul ‘Ulama.Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan Nahdlatul ‘Ulama nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat moderat, toleran, dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir Nahdlatul ‘Ulama tidak tradisionalis, ortodok, ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual di lingkungan Nahdlatul ‘Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul ‘Ulama yang menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam bertindak sebagaimana laporan penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul ‘Ulama Ke-26 di Semarang (1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994).Jika aswaja dipahami dengan benar dan menjadi acuan bertindak dalam kehidupan maka akan mampu memfilter pengaruh globalisasi dan masuknya budaya luar yang dapat memicu munculnya sikap adopsi budaya yang negatif seperti tidak toleran terhadap perbedaan, kekerasan, dan berbagai macam bentuk sikap negatif lainnya yang kesemuanya dapat menodai karakter kelompok Islamaaswaja yang dikenal memiliki sikap kearifan, moderat, menghargai budaya lokal, menghargai perbedaan dan anti kekerasan.F. KesimpulanDefinisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang dirumuskan para ulama klassik memiliki potensi untuk didiskusikan ulang, sehingga beberapa ulama berpengaruh di NU mencoba menafsirkan kembali doktrin aswaja. Hal yang paling disoroti yaitu tentang pelabelan aswaja sebagai madzhab, menurut Said Aqil, jika aswaja NU difahami sebagai sebuah madzhab, maka konsep tersebut akan mempersempit makna ke arah institusional. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menjawab perkembangan zaman harus dimaknai sebagai manhaj al fikr sehingga bersifat dinamis sekaligus sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan namun tetap selektif dan protektif dalam merespon perkembangan tersebut.Para Kyai yang mencoba menafsirkan kembali aswaja mempunyai tujuan yang sama, yaitu mensejahterakan umat dan membawa mereka ke arah kemajuan. Para kyai ini mencoba memformulasikan pemikiran pemikiran mereka dengan realitas, sehingga apa yang mereka hasilkan bersifat visioner, kontemporer dan sangat memihak kepada masyarakt kecil.Usaha Reinterpretasi ini lebih mengarah kepada penafsiran ulang dan redefinisi terhadap konsep aswaja yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.DAFTAR PUSTAKAAlarna, Badrun, (2000), cet. 1, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja,Yogyakarta : Tiara WacanaAl-Asy’ari, Abi al-Hasan Ali ibn Ismail, (t.th).al-Ibanah An Ushul al-Diyanah,Beirut : Dar al-Kutub al-IlmiyyahAsmani, Jamal Makmur, (2014), Manhaj Pemikiran Aswaja, dalamhttp://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/Hasyim, Yusuf, (2014), Aswaja Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhajidalam,_http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/aswaja-annahdliyah-dari-madzhabi-menuju-manhaji/LIM, FKI (2010), cet. 2, Gerbang Pesantren,Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, Kediri: Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. LirboyoMadjid, Nurcholis, (2000), cet. 4, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, , hlm. 282-84 .Misrawi, Zuhairi, (2010), cet. 1,Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : KompasNasir, Sahilun A. (2010), cet. 1 Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,Jakarta : Rajawali Press[1], FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3[2] Badrun Alarna, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000, cet. 1, hlm. 33[3] Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14[4] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1, hlm. 107[5] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press, 2010, cet. 1, hlm. 190[6] Jamal Makmur Asmani, Manhaj Pemikiran Aswaja,dalamhttp://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di akses Selasa, 8 Januari 2014[7] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban,Jakarta : Paramadina, 2000, cet. 4, hlm. 282-84 . Dalam karyanya Imam Asy’ari menegaskan bahwa usaha seorang hamba itu diciptakan oleh Allah. Baca Imam al-Asy’ari, al-Luma’ fi aal-Raddi Ala Ahl al-Ziaghi wa al-Bida’i, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000 M./ 1421 H., cet. 1, hlm. 43[8] Jamal Makmur Asmani, op.cit.
[9] Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr,dalam http://halmahera21.wordpress.com/2009/07/06/ahlussunnah-wal-jama%E2%80%99ah-sebagai-manhajul-fikr/diakses 8 Januari 2014
[10] Yusuf Hasyim, Aswaja Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhaji dalamhttp://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/aswaja-annahdliyah-dari-madzhabi-menuju-manhaji/ di aksesSelasa, 8 Januari 2014
[9] Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr,dalam http://halmahera21.wordpress.com/2009/07/06/ahlussunnah-wal-jama%E2%80%99ah-sebagai-manhajul-fikr/diakses 8 Januari 2014
[10] Yusuf Hasyim, Aswaja Annahdliyah; Dari Madzhabi Menuju Manhaji dalamhttp://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/aswaja-annahdliyah-dari-madzhabi-menuju-manhaji/ di aksesSelasa, 8 Januari 2014
Senin, 06 Maret 2017
DAKWAH DITOLAK
Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu
Dakwah ditolak
oleh mutiarazuhud
Mengapa dakwah mereka ditolak
Entah mengapa, tiba-tiba blog tempat menyimpan arsip (salinan) tulisan-tulisan kami di media sosial seperti Facebook yakni blog http://mutiarazuhud.wordpress.com yang biasanya dikunjungi rata-rata 2.000 s/d 3.000 viewer per hari mendapatkan lonjakan kunjungan hampir 2 x lipat, yakni
Sabtu, 4 Maret 2017 sebanyak 5.570 viewer
Minggu, 5 Maret 2017 sebanyak 6.347 viewer
Senin, 6 Maret 2017 sebanyak 5.853 viewer
Alhamdulillah, blog tersebut sampai dengan postingan ini disampaikan telah dikunjungi 4.171.054 viewer.
Setelah ditelusuri ditengarai (diduga) lonjakan tersebut akibat banyak sekali pengunjung yang mencari tahu tentang ust Khalid Basalamah.
Kemungkinan besar ada kaitannya dengan berita penolakan ceramah beliau di Sidoarjo sebagaimana yang diberitakan pada http://www.nu.or.id/post/read/75865/ini-penyebab-ceramah-khalid-basalamah-ditolak-di-sidoarjo-
Berita senada diberitakan pada http://makassar.tribunnews.com/2017/03/04/detik-detik-upaya-pembubaran-tabligh-akbar-dan-evakuasi-ustadz-khalid-basalamah
Dakwah ulama mereka ditolak, salah satunya adalah karena mereka menganggap sesat atau bahkan mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Salah satu ciri khas mereka adalah mengkafirkan kedua orang tua Rasulullah.
Berikut contoh ceramah ulama panutan mereka, Khalid Basalamah dalam sebuah video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=4FIZCE3Tmx8
Pada menit ke 37:20 Khalid Basalamah ketika menjawab pertanyaan “apakah Ayah dan Ibu Nabi shallallahu alaihi wasallam termasuk orang kafir ?”
Beliau menjawab “Ya, Ayah dan Ibu Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggal dalam keadaan menyembah berhala”
Pernyataan tersebut adalah sebuah kedustaan karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah bersabda (yang dapat diartikan) bahwa “Ayah dan Ibunya menyembah berhala”.
Salah seorang pengikut beliau mengatakan bahwa ustadz basalamah cuma menukil perkataan Imam Nawawi sebagaimana yang terlihat dalam gambar di atas yang bersumber dari status mas Abdul Basit pada http://www.facebook.com/fawwaz.arkan/posts/1463666740310282
Dalam kasus Ahok , kami berbeda pendapat dengan mas Abdul Basit namun kami sependapat dalam perkara mereka mengkafirkan orang tua Rasulullah.
Mereka mengkafirkan orang tua Rasulullah akibat mereka salah memahami Al Qur'an dan Hadits karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Adapula mereka mengutip pendapat Imam Nawawi sebagai berikut
Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”
Pendapat Imam Nawawi tersebut adalah pendapat terhadap orang tua si penanya bahwa “tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya bahwa orang yang mati pada masa fatrah jika menyembah berhala maka ia berada di neraka”
Sedangkan orang tua Nabi pada masa fatrah dan tidak pula menyembah berhala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menuturkan doa Nabi Ibrahim yang artinya, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku, daripada menyembah berhala-berhala” (QS Ibrahim : 35)
Ibnu Mundzir meriwayatkan dalam tafsirnya dengan sanad shahih dari Ibnu Jarir tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku, orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (QS Ibrahim : 40)
Ibnu Jarir berkata, “Di antara keturunan Ibrahim alaihissalam terdapat sekelompok manusia yang senantiasa berada di atas fitrah, selalu menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengingat di antara keturunan Nabi Ismail ada yang menyembah berhala berarti jelas bahwa Nabi Ibrahim dalam doanya mengkhususkan sekelompok manusia di antara keturunannya senantiasa berada di atas fitrah, tetap berpegangan pada agama yang tidak lenyap meski waktu berganti hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus RasulNya, Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Ibnu Abbas berkata, “Di antara Adam dan Nuh bersela sepuluh abad, mereka semua berada di atas syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, setelah itu mereka berselisih lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Nabi”
As- Suyuthi dalam Al-Hawi dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya menyebutkan, antara Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Adam alaihissalam terdapat empat puluh sembilan keturunan”
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan” (QS Ash Shaffat : 77)
Selanjutnya As-Suyuthi menyebutkan serangkain atsar yang secara keseluruhan bisa diketahui bahwa keturunan Nabi shallallahu alaihi wasallam mulai dari Nabi Adam alaihissalam semuanya beriman, selanjutnya tauhid terus berlanjut pada keturunan Ibrahim dan Ismail alahissalam.
Jadi jalur “keturunan” Nabi Adam alaihissalam sampai Nabi Ibrahim alaihissalam terus sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang terjaga suci dari kotoran syirik dan kekafiran
Berikut contoh riwayat yang menginformasikan bagaimana Ibunda Rasulullah Sayyidah Aminah terjaga dari kekufuran sebagimana contoh informasi dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=189857864382154
***** awal kutipan *****
Diriwayatkan oleh Ibn Saad dan Baihaqi dari Ibn Ishak, dia berkata: “Aku mendengar bahwa di saat Aminah hamil, ia berkata: Aku tidak merasa bahwa aku hamil dan aku tidak merasa berat sebagaimana dirasakan oleh wanita hamil lainnya, hanya saja aku tidak merasa haid dan ada seseorang yang datang kepadaku. Apakah engkau merasa hamil? Aku menjawab: Tidak tahu. Kemudian orang itu berkata: Sesungguhnya engkau telah mengandung seorang pemuka dan Nabi dari umat ini, dan hal itu pada hari Senin, dan tandanya dia akan keluar bersama cahaya yang memenuhi istana Basrah di negeri Syam, apabila sudah lahir berilah nama Muhammad?
Aminah berkata: “Itulah yang membuatku yakin kalau aku telah hamil. Kemudian aku tidak menghiraukannya lagi hingga di saat masa melahirkan dekat, dia datang lagi dan mengatakan kata-kata yang pernah aku utarakan? Aku memohon perlindungan untuknya kepada Dzat yang Maha Esa dari kejelekan orang yang dengki?”
“Kemudian aku menceritakan semua itu kepada para wanita keluargaku, mereka berkata: Gantunglah besi di lengan dan lehermu? Kemudian aku mengerjakan perintah mereka, tidak lama besi itu putus dan setelah itu aku tidak memakainya lagi.”
****** akhir kutipan ******
Dalam riwayat tersebut Sayyidah Aminah memohon perlindungan hanya kepada Dzat yang Maha Esa.
“Besi itu putus” adalah salah satu bentuk penjagaan dari Allah Azza wa Jalla agar Sayyidah Aminah terhindar dari kekufuran.
Jadi kedua orang tua Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sampai kepada Nabi Adam alaihissalam senantiasa terjaga oleh Allah Azza wa Jalla, senantiasa berada di atas fitrah, selalu menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun pada masa fatrah (masa kosong dari kenabian).
Berikut contoh ulama dari kalangan pengikut paham Wahabisme sendiri yakni Muhammad Al Amin Assyinqiti yang menyatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah adalah ahli surga.
Contoh biografi dari Muhammad Al Amin Assyinqiti dapat dibaca pada http://abumusa81.wordpress.com/2013/01/09/biografi-ringkas-syaikh-muhammad-al-amin-asy-syinqithi/
Berikut kutipan penjelasan Assyinqiti bahwa kedua orang tua Rasulullah selamat di akhirat kelak sebagaimana informasi pada http://generasisalaf.wordpress.com/2016/02/22/kedua-orang-tua-nabi-saw-selamat-di-akhirat/
***** awal kutipan *****
Syaikh Abdullah memperlihatkan kepada syaikh Assyinqiti buku syarah Imam Nawawi tentang hadits – sesungguhnya bapak ku dan bapak kamu masuk neraka.
Syaikh assyinqiti berkata: saya sudah tahu hadits ini.
Syaikh abdullah azzahim berkata: kemarin antum menyampaikan di pengajian Nabawi bahwa kedua orang tua Nabi termasuk ahli fatrah.
Syaikh Assyinqiti menjawab: iya. Karena jawaban saya berdasarkan al Qur’an yang qot’iy matan dan qot’iy dilalah.
Saya tidak bisa menolak nash yang qot’iy matan dan qot’iy dilalah dengan nash yang zhanniy matan dan zhanniy dilalah ketika mentarjih, hadits ini termasuk khabar ahad.
Sama dengan hadits Abi Hurairah riwayat Muslim: saya minta izin ke Allah utk mengunjungi ibuku saya diberi izin, lalu saya minta kepada allah utk di ampuni dosa nya namun tidak diizinkan.
Hadits di atas zhanniy matan maka tidak bisa menolak qot’iy matan yaitu firman Allah:
( al isra’: 15)ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَث رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Jelas sekali ayat diatas qot’iy matan dan qot’iy dilalah.
Berbeda dengan hadits: إن أبي وأباك في النار،
hadits ini zhanniy matan dan zhanniy dilalah.
Ada kemungkinan أبي maknanya paman nabi: Abu Thalib. Karena orang arab kadang kadang memanggil paman dengan الأب، bisa kita temukan pemakaian ini di dalam al Qur’an
1. Qot’iy matan dan qot’iy dilalah: Al Baqarah: 133:
قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيم
َ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.
Nabi Ismail adalah pamannya nabi Ya’qub. Clear: Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim.
2. Qot’iy matan dan zhanniy dilalah: Al An’am:84-86.
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (84) وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ (85) وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ (86)
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami berikan petunjuk dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh), yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dan Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, dan Ismail, Al-Yasa’, Yunus, dan Lut. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).”
Secara Nash Al Qur’an, Ibrahim merupakan ayah bagi Luth padahal berdasarkan hadits beliau merupakan paman nya.
Karena itu kasus arab Badui yg bertanya: dimana ayahku?? Rasulullah menjawab: ayah mu masuk neraka, beliau berpaling mau pulang dlm keadaan sedih. Rasulullah menyuruh sahabat memanggil nya ketika datang, beliau berkata: sesungguhnya bapak ku dan bapak kamu masuk neraka. Maka yg di maksud dengan أبي di hadits adalah paman nabi Abu Thalib.
Kemudian syaikh Assyinqiti berkata: kejelasan dalam masalah ini: kedua orangtua Nabi Muhammad saw termasuk ahli fatrah, definisi ahli fatrah: kaum yang tidak mendapatkan peringatan sebelumnya juga tidak mendapatkan Risalah kenabian setelahnya.
Dalam kontek ini: ayah Nabi ( Abdullah) meninggal ketika Rasulullah dalam kandungan, sementara ibu Rasulullah wafat ketika beliau berumur 6 tahun ( sepakat ulama sirah). kalau begitu kedua duanya termasuk ahli fatrah.
Di antara jamaah yang hadir ada yang berkata: “Orang Arab ketika itu mengikuti agama Ismail berarti mereka sudah ada yang memberi peringatan.
Syaikh assyinqiti berkata: “anda yakin dengan apa yang anda ucapkan?”
Jamaah: “ya saya yakin”
Syaikh Assyinqiti berkata: bagaimana pendapatmu surat Yasin :6 ?
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ
Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.
Huruf ما disini faedahnya menafikan peristiwa, dasar nya ada huruf الفاء pada ayat فهم غافلون artinya ada illat karena belum di beri peringatan.
Syaikh Assyinqiti berkata: Bagaimana pendapat anda tentang firman Allah swt dlm surat Al Qashas : 46 ?
وَمَا كُنْتَ بِجَانِبِ الطُّورِ إِذْ نَادَيْنَا وَلَٰكِنْ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (Kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat.”
Bagaimana pendapat anda tentang firman Allah swt dlm surat Assaba’ :44 ??
وَمَا آتَيْنَاهُمْ مِنْ كُتُبٍ يَدْرُسُونَهَا وَمَا أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ قَبْلَكَ مِنْ نَذِيرٍ
Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka baca dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutus kepada mereka sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun.
Bagaimana pendapat anda tentang firman Allah swt dlm surat Assajadah
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۚبَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ
Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: “Dia Muhammad mengada-adakannya”. Sebenarnya Al Qur’an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.
Yang benar bahwa ahli fatrah, orang idiot dan anak-anak musyrikin yang mati ketika masih kecil mereka akan di datang kan api pada hari kiamat di padang mahsyar, api tersebut di minta utk melahap nya, Allah mengetahui diantara mereka ada yang menjadi ahli surga maka api tersebut berubah menjadi dingin dan mereka masuk kedalam kelompok kanan ( ahli surga).
Dan Allah juga tahu siapa diantara mereka yg menjadi ahli neraka maka bergabung lah dengan kelompok kiri (ahli neraka) Ibnu Katsir menyebutkan penjelasan itu ketika menafsirkan surat Al Isra’: 15.
***** akhir kutipan *****
Di atas Assyinqiti menjelaskan bahwa dia tidak bisa menolak nash yang qot’iy matan dan dilalah dengan nash yang zhanniy matan dan dilalah
Nash yang bersifat qot’iy (pasti) adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
Nash atau dalil yang bersifat qot’iy dapat dipahami dengan mudah dan umumnya cukup dengan makna dzahir saja dan penolakan terhadapnya berarti bentuk kekufuran.
Sedangkan nash yang bersifat zhanniy (kuat dugaan) adalah lafadz lafadz yang mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan menggunakan tata bahasa Arab.
Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA mengingatkan bahwa “kita tidak boleh menyakiti hati Beliau (Rasulullah) dengan memvonis bahwa kedua orang tua beliau kafir. Sedangkan dalil yang kita dapat masih belum melahirkan kesimpulan yang pasti. Maksudnya masih belum tegas menyatakan bahwa mereka itu kafir” sebagaimana yang dipublikasikan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1138173832&=kafirkah-orang-tua-rasullulloh.htm
Ust Ahmad Sarwat di atas mengingatkan bahwa kita tidak boleh menyakiti hati Rasulullah akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir.
Jadi mereka yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena mereka selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir dapat berakibat dilaknat oleh Allah dan amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah .
Telah berkata sebagian ulama: “Telah ditanya Qodhi Abu Bakar bin ‘Arobi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengenai seorang laki-laki yang berkata bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka. Maka, beliau menjawab bahwa orang itu terlaknat, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan melaknat mereka di dunia dan akherat dan menyiapkan bagi mereka itu adzab yang menghinakan”. (QS. Al-Ahzab: 57).
Dan tidak ada perbuatan yang lebih besar dibandingkan dengan perkataan bahwa bapak Nabi berada di dalam neraka.
Betapa tidak! Sedangkan Ibnu Munzir dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seseorang berkata: “Engkau anak dari kayu bakar api neraka’, maka berdirilah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan marah, kemudian berkata yang artinya: “Bagaimana keadaan kaum yang menyakiti aku dalam hal kerabatku, dan barangsiapa menyakiti aku maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.
Di atas Assyinqiti menjelaskan hadits yang kalau dipahami selalu dengan makna dzahir adalah
“sesungguhnya bapakku dan bapakmu masuk neraka”,
“ada kemungkinan أبي maknanya paman Nabi, karena orang Arab kadang kadang memanggil paman dengan الأب، bisa kita temukan pemakaian ini di dalam al Qur’am”
Begitupula Prof, DR Ali Jum’ah, mantan mufti agung Mesir dalam kitab berjudul “Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammiqadlayahum” yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Khatulistiwa Press (http://www.khatulistiwapress.com) dengan judul Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ yang berisikan jawaban ilmiah terhadap pemahaman dan cara dakwah kaum “salafi-wahabi” menjelaskan bahwa orang Arab yang dijelaskan dalam ilmu tata bahasa Arab, ketika menyebut kata ayah, dapat pula yang dimaksud adalah paman.
Contohnya firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan ? sesungguhnya aku meihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata “(QS Al An’am [6]:74)
Para ahli tafsir atau mufassirin telah menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan “Abiihi” (bapaknya) ialah “pamannya” karena ayahnya Nabi Ibrahim alaihisalam sebenarnya bernama Tarih atau Tarikh.
Ibnu Mundzir meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu Juraij, ia berkata “Azar bukanlah ayah Ibrahim, Ibrahim adalah putra Tairakh atau Tarikh bin Fakhur bin Falih, orang Arab biasa menyebut ayah untuk paman seperti yang Allah Ta’ala sampaikan dalam firmanNya pada (QS Al Baqarah : 133)
Begitupula Imam Nawawi terhadap sabda Rasulullah “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka” menjelaskan
. وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ أَبِي وَأَبَاك فِي النَّار ) هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة
Dan sabdanya shallallahu alaihi wasallam : (Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka) ia daripada bentuk luwesnya pergaulan (Rasulullah) untuk menghibur (si penanya) dengan mengatakan sama-sama tertimpa musibah (maksudnya neraka) dengan cara menyamarkan antara bapak kandung dengan bapak dalam artian paman.
As-Suyuthi menjelaskan bahwa redaksi (matan) hadits “Sungguh bapakku dan bapakmu berada di neraka” tidak disepakati oleh para perawi.
Redaksi (matan) tersebut hanya disebut oleh Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Masih ada redaksi (matan) lainnya seperti yang disampaikan oleh Thabarani dan Baihaqi, riwayat dari Ibrahim bin Sa’ad Az-Zuhri dari Amir bin Sa’ad dari ayahnya ketika Rasulullah menjawab pertanyaan si Badui, “Lantas bapakmu di mana” dan Rasulullah menjawab, “saat kau melintasi makam orang kafir, sampaikan kabar gembira neraka kepadanya”
Thabrani dan Baihaqi memberi tambahan di akhir hadits, “Si Badui kemudian masuk Islam, setelah itu kemudian berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan suatu hal berat padaku; sehingga tidaklah aku melintasi makam orang kafir melainkan aku sampaikan berita gembira neraka padanya”.
Oleh karenannya matan (redaksi) yang disampaikan oleh Thabrani dan Baihaqi sebaiknya dijadikan pedoman dan lebih diprioritaskan dari yang lain karena tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan sabda Rasulullah lainnya.
Berikut penjelasan para ulama terkait hadits ahad yang kalau dipahami dengan makna dzahir maka artinya adalah
“Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampun untuk ibuku maka Dia tak mengizinkanku, kemudian aku minta izin untuk menziarahi kuburnya maka Dia mengizinkan aku”.
Al-Allamah Al Arif Billah Syaikh Zaki Ibrahim menyampaikan “bahwasanya istighfar adalah bagian dari penghapusan dosa, maka seseorang tidak akan berdosa selama masa dakwah Islam belum sampai kepadanya. Maka tidak perlulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memintakan ampun untuk orang yang belum terhitung telah melakukan dosa dan Allahpun juga tak akan mengiqobnya sebagai dosa. Maka memintakan ampun kepada ibunya, adalah suatu hal yang sia-sia, dan bukanlah daripada sifat para Nabi melakukan suatu hal yang sia-sia.
Berikut kutipan penjelasan Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab “At-Tajul Jami’ lil Ushul fii Ahaditsir Rasul”
***** awal kutipan *****
Dari Abu Hurairah beliau berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam berziarah ke makam ibunya dan beliau menangis. Begitupula orang-orang yang berada di sekitarnya pada menangis. Kemudian, beliau berkata: Aku meminta idzin kepada Tuhanku supaya aku bisa memintakan ampunan untuknya. Namun aku tidak diidzinkan oleh-Nya. Terus aku meminta idzin kepada-Nya supaya aku bisa menziarahinya. Kemudian, Dia mengidzinkan aku untuk menziarahi ibuku. Berziarahlah ke makam-makam !! Karena, berziarah itu dapat mengingatkan mati. Hadits riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i “.
Maksud hadits tersebut di atas sebagai berikut: Ketika Nabi Muhammad saw menziarahi ibunya yang bernama Sayyidah Aminah binti Wahab, beliau menangis karena ibunya tidak beragama Islam dan tidak mendapat kesenangan di dalamnya, dan Allah tidak mengidzinkan Nabi shallallahu alaihi wasallam memintakan ampunan untuk ibunya. Karena, permintaan ampunan itu syaratnya harus beragama Islam. Sedangkan ibunda Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat dalam keadaan menganut agama kaumnya sebelum beliau diangkat jadi Rasul. Hal ini bukan berarti ibunda Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak masuk surga, karena ibunda Nabi shallallahu alaihi wasallam itu termasuk ahli fatrah (masa kekosongan atau vakum antara dua kenabian).
Menurut ulama jumhur bahwa ahli fatrah itu adalah orang-orang yang selamat (orang-orang yang selamat dari api neraka dan mereka tetap dimasukkan ke dalam surga). Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Isra ayat 15:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولاً۬
Artinya: “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul“.
Bahkan berlaku dan absah menurut ahli mukasyafah bahwa Allah Ta’ala menghidupkan kembali kedua orangtua Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah beliau diangkat jadi Rasul. Kemudian, mereka beriman kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena itu, sudah pasti mereka termasuk ahli surga.
***** akhir kutipan *****
Prof DR Ali Jum’ah menjelaskan, “dalam hadits tersebut tidak ada keterangan yang jelas bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di neraka. Tidak dizinkannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memintakan ampunan bagi ibunya tidak menunjukkan bahwa ia seorang musyrik. Jika tidak, tentu Rabb-nya tidak akan mengizinkan Beliau untuk menziarahi makam ibnunya, karena menziarahi kuburan orang-orang musyrik itu dilarang oleh Allah Azza wa Jalla”.
Memang ada sebagian pihak menisbatkan kepada Imam Nawawi dalam syarah Muslim berpendapat bahwa boleh menziarahi mereka (non muslim) namun kita berpegang bahwa setiap pendapat itu mungkin diterima dan mungkin ditolak kecuali kalam shohobu hadzal Maqam (Imam Malik sambil menunjukkan tangannya ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) dan begitupula Imam Nawawi tidak menshorihkan atau menjelaskan secara gamblang dengan perkataannya bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah kafir.
Pendapat Imam Muslim sendiri yang meriwayatkan hadits tersebut di dalam shohihnya, yang mana hadits tersebut terletak dalam Bab: Isti’dzanun Nabi Rabbahu fi Ziyarati Qobri Ummihi (Minta Izinnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Allah untuk Menziarahi Makam Ibunya).
Dalam pemahaman tersebut juga menjadikan bukti bahwa ibunda Nabi shallallahu alaihi wasallam bukanlah orang musyrik dan ahli neraka adalah Allah mengizinkan Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk menziarahinya.
Sedangkan kita tahu bahwa Allah melarang kita berdiri di sisi kuburan (menziarahi) orang-orang kafir sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan janganlah kamu mensholati seorang dari mereka yang wafat selama-lamanya, dan janganlah kamu berdiri di sisi kuburnya (janganlah menziarahinya). Sesungguhnya mereka meng-kufuri Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam kedaan fasiq “. (QS At Taubah [9] : 84)
As-Suyuthi dalam tafsirmya berkata: “dan janganlah berdiri diatas kuburnya untuk menguburkannya atau untuk menziarahinya.”
Al-Alusi al-Baghdadi berkata: “dari perkataan sebagian dari mereka dapat dipahami bahwa kata ‘di atas’ berarti ‘di samping’, artinya janganlah berdiri di samping kuburannya untuk menguburkannya atau menziarahinya”.
Begitupula di atas telah disampaikan sabda Rasulullah, “saat kau melintasi makam orang kafir, sampaikan kabar gembira neraka kepadanya”
Imam Suyuthi penutup amirul mukminin fil hadits menyampaikan, “ Adapun hadits tersebut maka tidak mesti diambil daripadanya hukum kafir berdasarkan dalil bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga ketika di awal-awal Islam dilarang untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang mukmin yang ada hutangnya tapi belum dilunaskan karena istighfar Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan dijawab Allah dengan segera, maka siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang doanya akan sampailah kepada derajat yang mulia di surga, sementara orang yang berhutang itu tertahan pada maqomnya sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana yang ada dalam hadits (jiwa setiap mukmin terkatung dengan hutangnya sampai hutangnya itu dilunaskan). Maka seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam bersamaan dengan posisinya sebagi seorang wanita yang tak pernah menyembah berhala, maka beliaupun tertahan dari surga di dalam barzakh karena ada sesuatu yang lain diluar kufur. (At-Ta’zhim wal Minnah Suyuthi hal 29 cet. Dar Jawami’ Kalim Kairo)
Jadi dapat kita simpulkan bahwa mereka yang keukeuh (bersikukuh) atau ngeyel mengkafirkan orang tua Nabi akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir maka mereka terjerumus mengingkari nash yang qot’iy matan dan dilalah
Contohnya mereka secara tidak langsung mengingkari pula firman Allah Ta’ala yang artinya, “dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang sholeh”. (QS Ali Imran [3] : 39)
Imam Suyuthi radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, “Aku telah menyelami dengan semua bacaan maka aku mendapati bahwa semua ibu para Nabi adalah wanita-wanita yang beriman, maka lebih pastilah lagi ibunya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga wanita yang beriman. (Imam Suyuthi, Abawai Rasulillah fil Jannah hal. 29)
Terkait kedua orang tua Rasulullah, As Suyuthi menjelaskan bahwa beberapa hadits dengan redaksi (matan) berbeda namun intinya sama menjelaskan bahwa orang tua dan kakek-nenek Nabi shallallahu alaihi wasallam suci dari kotoran syirik dan kekafiran, tidak ada di antara mereka yang kafir karena orang kafir tidak laik disebut manusia terbaik, suci atau bersih, orang kafir disebut najis.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai oran-orang yang beriman, sesungguhnya, orang-orang yang musyrik itu najis (QS At Taubah : 28)
Ibnu Hajar Al Makki menjelaskan, hadits-hadits secara redaksi dan inti dengan tegas menjelaskan bahwa kakek nenek Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai ke Adam alaihissalam adalah manusia-manusia terbaik dan mulia. Orang kafir tidak bisa disebut manusia terbaik, mulia ataupun suci tapi najis.
Seperti itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala membersihkan RasulNya dengan menjaganya di balik tulang-tulang punggung dan rahim-rahim suci, seperti itu juga saat masih kecil, beranjak remaja hingga dewasa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyucikannya dengan kenabian.
Rasulullah bersabda, Allah telah memindahkan aku dari sulbi-sulbinya para lelaki yang suci ke dalam rahim wanita-wanita yang suci yang tidak mencemariku sama sekali noda-noda jahiliah yaitu syirik dan menyembah berhala
Rasulullah bersabda, Aku senantiasa dipindahkan dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci ke dalam rahim-rahim wanita-wanita yang suci.
Rasulullah juga bersabda “ Allah Subahanhu wa Ta’ala menempatkanku di kelompok yang terbaik lalu aku terlahir di antara kedua orang tuaku, aku tidak pernah tersentuh oleh perzinahan jahiliyah, aku terlahir dari pernikahan bukan perzinahan sejak Nabi Adam hingga sampai pada ayah dan ibuku, karena itu aku adalah yang terbaik nasab dan ayahnya di antara kalian”
As-Suyuthi menjelaskan Muhib Ath-Thabari dalam Dzakha’ir Al ‘Uqba dan Bazzar dalam musnadnya, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata
Sekelompok orang dari kaum Quraisy bertamu ke kediaman Shafiyah binti Abdul Muthalib, mereka membangga-banggakan dan menyebut-nyebut kejahiliyahan, kemudian Shafiyah binti Abdul Muthalib berkata. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berasal dari kalangan kami” Mereka menyahut, “pohon kurma tumbuh di tanah sepi”. Shafiyah lantas melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau marah kemudian naik ke mimbar dan menyampaikan, ” Wahai kalian semua, siapa aku ” para hadirin menjawab “Engkau utusan Allah”, Rasulullah bersabda, “Sebutkan nasabku!” mereka menjawab “Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.” Beliau kemudian bersabda , “Ada apa dengan sekelompok kaum yang mencela asal usulku, demi Allah, asal-usul dan tempatku yang terbaik di antara kalian”
Berikut contoh lain kesalahpahaman ustadz mereka Khalid Basalamah dalam memahami Al Qur'an dan Hadits akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamanya selalu dengan makna dzahir sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=XWR57GnZu3w
Pada menit 14:07 Beliau berpendapat bahwa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”
Pada menit 14:49 Beliau berpendapat bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di singgasana”.
Paham Wahabisme adalah pemahaman atau ajaran ulama Najed dari bani Tamim yakni Muhammad bin Abdul Wahhab penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Berikut kutipan catatan kaki (footnote) ketika menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia.
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Kutipan di atas dapat pula dilihat secara online pada http://www.quranonline.net/ebooks-quran/ebook-quran-indonesian-translation.html
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Contoh lain mereka yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai Telapak Kaki (Qadamur Rahman) akibat memahami selalu dengan makna dzahir terhadap riwayat seperti berikut,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)
Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.
Jadi pada kenyataannya mereka beribadah bukan kepada Allah Azza wa Jalla melainkan beribadah kepada sesuatu yang diyakininya (dii’tiqodkan) bersandarkan selalu berpegang pada nash secara dzahir atau berdasarkan pemamaham mereka selalu dengan makna dzahir.
Contohnya mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan sebagaimana tulisan salah satu ulama panutan mereka yang dipublikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan bukan aqidah atau pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau pemahaman mereka sendiri menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap dalil yang mereka baca.
Dengan mereka mengatakan bahwa pemahaman atau aqidah yang mereka sampaikan adalah pemahaman atau aqidah para Sahabat (Salafush Sholeh) maka termasuk fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Di sisi yang lain ada yang mengatakan bahwa kedua tangan Allah adalah kanan dan kiri.
Berikut kutipan beberapa kesimpulan mereka akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir .
***** awal kutipan *****
– Allah Ta’ala terikat arah kiri dan kanan!
– Allah Ta’ala mempunyai lima jari!
– Allah Ta’ala mempunyai mata dan telinga!
– Allah Ta’ala memiliki kaki!
– Allah Ta’ala memiliki betis!
– Allah Ta’ala memiliki pantat!
– Allah Ta’ala mempunyai pinggang!
– Allah Ta’ala mempunyai wajah!
– Seseorang yang berada di dataran tinggi, maka dia akan lebih dekat dengan Allah Ta’ala ketimbang mereka yang berada di dataran rendah!
***** akhir kutipan ******
Dalil dari kesimpulan mereka di atas dapat dibaca dalam tulisan mereka yang kami arsip (salin) pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/09/18/bukanlah-hanabila/
Pada kenyataannya mereka mengikuti orang-orang yang semula bermazhab Hambali yang kemudian menjadi imam atau guru besar kaum musyabbihah karena mereka selalu berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama tersebut.
Contoh terjemahannya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Ibn al Jawzi di atas menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Begitupula Rasulullah melarang kita untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/30/bertanya-tanpa-berpikir/
Rasulullah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Mereka yang mengingkari Allah dan hukumnya ‘aashin yakni berbuat durhaka kepada Allah akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir.
Berikut kutipan tulisan syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” sebagaimana yang dikutip pada http://santri.net/aqidah-akhlak/aqidah/hukum-mengitiqadkan-allah-swt-seperti-makhluk/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Akibat mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Imam Sayyidina Ali berkata ”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (terbatas) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya akibat mereka tidak mau mengikuti aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/19/pencatut-istilah-aswaja/
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
mutiarazuhud | 7 Maret 2017 pukul 11:52 am | Tag: Basalamah, ceramah, Dakwah, ditolak, Khalid | Kategori: Islam, Umum | URL: http://wp.me/ptHza-4aa
Komentar Lihat semua komentar Suka
Berhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu.
Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.
Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda:
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/03/07/dakwah-ditolak/
Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com
Langganan:
Komentar (Atom)
