Senin, 26 Juni 2017
MASLAHAH DAN RUANG LINGKUPNYA
Pos baru pada ASWAJA MUDA BAWEAN
Maslahah dan Ruang Lingkupnya
oleh Muhammad SyamsudinSeperti kebanyakan ulama ushul dan ulama fiqh, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam[1] menjelaskan dalam karyanya bahwa kata kunci dari teori mashlahat adalah menyandarkan logika hukum kepada kaidah hukum Islam yang berbunyi: “mendahulukan kemashlahatan dan meniadakan kemafsadatan” (jalb al-mashalih wa dar al-mafasid). Ia menjelaskan di awal bab pembahasannya bahwa secara substansi mashlahat terkait dengan dua aspek (jalb al-mashalih ila al-darain) yakni urusan dunia (al-dunyawiyah) dan akhirat (al-ukhrawiyah). Sedangkan mafsadat juga terkait dengan persangkaan-persangkaan yang membawa manusia kepada keburukan-keburukan yang bertentangan dengan akal dan syari’at.Menurut ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam, baik kemashlahatan maupun kemafsadatan dapat diketahui dengan dua jalan, yakni melalui nash (al-Quran dan hadits) dan akal (al-ra’yu). Hal ini terkait dengan prinsip umum tujuan-tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’at) bahwa suatu penetapan hukum akan dianggap benar tatkala ia dapat diukur dengan akal sehat (rasional), realistis, dan tidak bertentangan dengan nash. Akal menurutnya memegang peran kunci ijtihad untuk menentukan ukuran-ukuran penetapan hukum syara’.Misalnya, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam[2] telah membagi mashlahat dan mafsadat masing-masing menjadi empat bagian. Secara metodologis, menurutnya, mashlahat mencakup empat hal yakni: (1) terlihat, (2) ada sebab, (3) jelas, dan (4) dapat diukur. Secara hakiki, mashlahat juga dapat dibagi menjadi dua yaitu (1) mashlahat yang jelas (mashlahat al-muhkamah), dan (2) mashlahat yang terlihat (mashlahat al-zhahiriyah), sedangkan secara majazi adalah adanya hubungan sebab dan akibat (causality). Demikian pula mafsadat dibagi dua bagian, yakni secara hakiki, mafsadat mencakup dua yaitu samar (mafsadat al-mutasyabihat) dan mafsadat yang tersembunyi (mafsadat al-syiriyyah), sedangkan secara majazi adalah adanya hubungan sebab dan akibat (causality).Salah satu konsep penting dan fundamental yang dikembangkan oleh ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya adalah konsep mashlahat sebagai tujuan penetapan hukum Islam.[3] Betapa urgennya kedudukan mashlahat sebagai tujuan – kalau tidak malah merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi hukum Islam. Hal ini dapat dipahami dari buku‑buku ushul fikih yang ditulis baik sejak fase awal pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, fase pertengahan maupun pada fase modern ini dapat dipastikan buku‑buku tersebut memuat pembahasan tentang mashlahat sebagai tujuan syari’at sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi.Salah satu teori yang memperhatikan aspek mashlahat secara mutlak, baik terhadap masalah hukum Islam yang ada nash-nya maupun masalah hukum yang tidak ada nash-nya dalam pelbagai lapangan hukum mu’amalah. Misalnya saja, teori mashlahat yang demikian ini dikemukakan oleh ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam yang memandang bahwa masalah mu’amalah merupakan bidang kajian hukum Islam yang sangat luas karena di dalamnya memuat hukum keluarga Islam, hukum perdata, hukum pidana, peradilan Islam, politik dan ketatanegaraan.Jika ditelaah dari perspektif sejarah perkembangan hukum Islam, teori mashlahat tampaknya sudah diperkenalkan sejak abad pertama Islam. Contoh pertama, betapa seorang Rasulullah Saw berani memutuskan suatu perkara untuk tujuan hukum (kemashlahatan yang berlaku umum) ketika ia menya-takan “Jika saja Fatimah (anak Muhammad) mencuri, niscaya akan saya potong tangannya”. Ijtihad semacam ini memberi inspirasi kepada Umar bin Khattab dengan tidak memberlakukan hukum potong tangan kepada si pencuri karena alasan sedang kelaparan. Ijtihad Umar yang meniadakan hukuman “potong tangan” semata-mata karena adanya illat hukum “kelaparan”. Dalam konteks ini, tradisi ikhtilaf sangat perlu sebagai upaya mencari nilai mashlahat, karena perbedaan waktu dan tempatnya.Contoh kedua adalah teori mashlahat yang dikemukakan oleh Abu Hassan al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah menjelaskan bahwa khalifah hendaknya dipilih oleh ahl al-hall wa al-‘aqd. Konsep ahl al-hall wa al-‘aqd sendiri merupakan penafsiran dari lafadz ulil amri dalam QS An-Nisa ayat 59.[4] Menurut Imam Abu Hassan al-Mawardi, kepala negara hendaknya diangkat dan/atau dipilih oleh ahl al-hall wa al-‘aqd serta penyerahan mandat dari kepala negara sebelumnya. Kendati pernyataan ini cenderung terdensius dan bermuatan politis, tetapi kalangan pemikir saat ini dapat mencermati sebagai permainan politik kaum Quraisy untuk mempertahankan komunitasnya sebagai kelompok penguasa, sehingga peralihan kekuasaan diregulasi sedemikian rupa untuk kepentingan mereka.Contoh ketiga dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah menjelaskan bahwa sebuah pemerintahan Islam lebih baik dipimpin oleh seorang pemimpin yang kafir tetapi berlaku adil dan jujur, daripada dipimpin oleh seorang pemimpin Muslim tetapi korup dan zhalim.[5] Ini merupakan pernyataan kritis seorang Ibnu Taimiyah yang mengkritisi ketidakmampuan kaum Muslim untuk keluar krisis politik yang diakibatkan oleh sistem pemerintahan Islam yang korup dan zhalim di Damaskus, Syiria. Dengan kata lain, ungkapan ini meru-pakan pijakan dalam ijtihad politik Ibnu Taimiyah – yang dalam bahasa penulis ini disebut mashlahat fi al-siyasi.Ketiga contoh teori mashlahat di atas, mengilhami para pemikir hukum Islam untuk mengembangkan teori mashlahat di pelbagai bidang kajian hukum mu’amalah yang sangat luas. Oleh karena itu, kaidah fikih dar al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih dijadikan pijakan mendasar oleh ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam untuk perumusan teori mashlahat sehingga bisa mendukung pengembangan hukum Islam pada fase modern. Akan tetapi, yang peru digarisbawahi adalah sejauhmana teori mashlahat tersebut bisa dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum syara’ jelas akan terikat dengan syarat-syarat tertentu.Berkenaan dengan hal di atas, Izuddin bin Abd Salam telah menjelaskan tiga hal yang menjadi syarat terpenuhinya mashlahat, yaitu: pertama, keputusan hukum tidak dibenarkan bertentangan dengan dalil-dalil yang tercantum di dalam nash; kedua, tujuan pemberlakuan hukum hendaknya berlaku umum; dan ketiga, dapat diukur dengan akal sehat (logis dan empiris).Dalam karyanya, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam[6] telah menjelaskan konsep mashlahat dan mafsadat dengan menentukan ukuran-ukuran penetapan hukum syara’ ke dalam dua bagian penting, yakni masalah-masalah yang kecil dan sederhana (shaghir) dan masalah-masalah yang besar dan pelik (kabair). Masalah-masalah hukum yang termasuk dalam kategori kecil dan sederhana adalah problematika hukum Islam yang sudah jelas dan tegas diatur dalam nash dan tidak memerlukan lagi penafasiran akal.Misalnya, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam mengangkat sebuah contoh mengenai kewajiban melaksanakan shalat dan zakat dalam ibadah – sepanjang kedua aturan itu dapat dilaksanakan maka tidak ada halangan dan alasan apapun untuk membatalkan kedua hukum yang sudah jelas itu. Di sini, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam membuat pengecualian dalam hal keyakinan (al-Tauid), di mana suatu ketentuan hukum syari’at tidak boleh diabaikan oleh hukum lain di luar syari’at. Misalnya, berbuat musyrik tetap dilarang dalam syari’at.Sedangkan masalah-masalah hukum yang besar dan pelik mencakup atas problematika hukum Islam dalam bidang muamalah. Hukum-hukum muamalah, menurutnya amatlah luas, tidak hanya dalam bidang jual beli (ekonomi), tetapi juga pola hubungan antar individu dalam masalah politik (siyasah) dan peradilan (qadha) masuk dalam bagian besar hukum muamalah. Di sini, pertimbangan mashlahat menjadi sangat dominan tatkala nash tidak mengatur secara rinci aturan-aturan hukum yang terkait dengan masalah ekonomi, politik dan ketatanegaraan. Namun ia juga menggarisbawahi penggunaan mashlahat pada dua pertimbangan awal bahwa hukum syari’at harus mendahuluan kemashlahatan hukum syari’at baik duniawi maupun ukhrawi.Untuk mencapai tujuan kemashlahatan hukum syari’at baik duniawi maupun ukhrawi, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam sangat menonjolkan prinsip kehati-hatian (ikhtiyat fi al-syar’i). Gambaran paling sederhana untuk mengetahui kehati-hatian dalam mashlahat tampak dalam pemikiran ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam,[7] seperti ia jelaskan dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz II, pada halaman 189-204. Pada bagian tersebut, ia menjelaskan bahwa kehatian-hatian (ikhiyat) adalah prinsip etis dalam menetapkan hukum syara’ melalui metode mashlahat. Seperti dijelaskan pada bagian awal Juz I halaman 5-12 kitab tersebut, kaidah hukum yang menyatakan bahwa “mendahulukan kemaslahatan dan meniadakan kemafsadatan” (jalb al-mashalih wa dar al-mafasid), merupakan fondasi bagi penetapan hukum dan tujuan hukum syara’.Berbeda dengan di Juz I halaman 5-12, pembahasan mashlahat lebih detail dibahas pada Juz II halaman 189-204, yang mana ia lebih banyak menjelaskan bagaimana penggunaan metode mashlahat dalam penetapan hukum tidak menyalahi kemauan nash. Ia menyebutkan bahwa “kehati-hatian dalam memperoleh kemashlahatan dan meniadakan kemafsadatan” (ikhtiyat fi jalb al-mashalih wa dar al-mafasid) sebagai pijakan etika dan moral dalam menetapkan hukum syara’. Dalam hal ini, ia lebih banyak membahas ketentuan hukum taklif dan wadh’i yang ada dalam hukum Islam, yakni wajib, haram, sunat, makruh dan mandub dalam hukum taklifi; serta sabab, syarat dan mani’ dalam hukum wadh’i.Misalnya, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam[8] pada halaman 189-190 banyak menjelaskan bahwa kemaslahatan ditujukan untuk mencapai hakikat kebenaran hukum yang sesuai dengan tujuan syari’at, sedangkan kemafsadatan sangat erat kaitannya dengan sifat khilaf atau kekeliruan pada diri manusia dalam menetapkan hukum. Ia memberikan contoh penggunaan metode mashlahat dalam urusan ibadah. Seperti dalam kasus batalnya puasa di bulan ramadhan bagi seorang muslimah digantikan dengan puasa qadha di bulan lainnya atau membayar fidyah. Contoh lainnya dalam hukum pidana (jinayah), ia memberikan contoh pelaku pidana mati bisa bebas dari hukuman mati tatkala ia diberi ma’af oleh keluarga korban dan ia berkewajiban membayar denda (diyat).Namun dari kedua contoh tersebut, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam[9] telah menetapkan syarat mashlahat dengan sangat ketat demi alasan kehati-hatian dalam berijtihad. Misalnya, puasa qadha disyaratkan adanya sebab ketidakmampuan si perempuan untuk melaksanakan puasa sebulan penuh, sedangkan fidyah yang dibayarkan sebagai pengganti shaum ramadhan ditujukan untuk tujuan horizontal yakni adanya fungsi sosial dari ibadah shaum.Analisis berbeda ditunjukan oleh ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam dalam kasus hukuman mati. Pidana mati tidak serta merta mudah dilaksanakan tanpa melalui proses hukum yang lengkap dan teliti, misalnya pembuktian pelanggaran hukum yang berakibat kepada pidana mati bukan ditujukan untuk “balas dendam” keluarga si terbunuh kepada si pembunuh (pelaku), melainkan ditujukan untuk kepastian hukum dan penegakan hukum. Dengan kata lain, setiap putusan hukum, meskipun atas dasar tujuan mashlahat hendaknya mempertimbangkan kehati-hatian (ikhtiyat), bukan hanya dari segi hakikat hukum, tetapi juga tujuan dan dampak dari pemberlakukan hukum itu sendiri.Pemikiran ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam yang paling menarik adalah pada halaman 199-204, di manaia banyak menjelaskan penepan prinsip kehati-hatian dalam metode mashlahat. Pada bagian ini, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam telah menjelaskan bahwa kelemahan seorang mujtahid pada umumnya bukan semata-mata terletak pada keterbatasan menafsirkan teks hukum yang ada di dalam nash, tetapi juga merumuskan hukum-hukum syara’ yang terdapat di dalam nash tersebut. Seringkali, perumusan hukum syara’ itu hanya disandarkan kepada nash secara tekstual, tetapi tidak mempertimbangkan aspek hukum dalam realitas kehidupan secara kontekstual. Menurutnya, ini akan berakibat kepada suatu produk hukum yang tidak menghasilkan kemaslahatan. Karenanya, ikhtiyat dalam berijtihad mutlak diperlukan oleh seorang mujtahid.‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam telah memberikan salah satu contoh yang menarik dalam bidang fiqh ibadah, misalnya keabsahan ibadah seseorang tidak semata-mata terletak pada syarat-syarat yang terikat dengan ibadah itu, melainkan terkait pula dengan rukun-rukunnya. Seperti halnya, seseorang yang hendak melaksa-nakan shalat, ia diharuskan mengetahui syarat dan rukun shalat, sebab jika tidak mengetahui keduanya, maka shalatnya akan hampa dari makna shalat dan tidak menemukan hikmah shalat. Lebih detailnya, ia memberikan contoh kedudukan hukum shalat yang wajib dilaksanakan tepat waktu, tidak bisa diubah hukumnya menjadi sunat karena alasan sedang safar melalui jama’ atau qashar. Hukum shalat itu tetap wajib, tetapi pelaksanaannya menjadi relatif karena adanya sebab safar. Inilah yang dimaksud mashlahat oleh ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam, bahwa ketika hakikat hukum wajib itu tetap dalam wajibnya dan tidak merubahnya menjadi Sunat atau Mubah, maka dengan sendirinya seseorang telah menempatkan dirinya dalam kemaslahatan.[10]Selain menampilkan beberapa contoh diskursus penetapan hukum dengan metode mashlahat di atas, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam juga telah memberikan beberapa contoh penggunaan ikhtiyat hukum wajib dan Sunat dalam ibadah shalat melalui metode maslahatnya, antara lain:[11]Pertama, jika seseorang kesulitan mengetahui shalat itu ada lima waktu, maka ia dapat menentukan shalat wajib itu ada lima waktu dengan cara menetapkan empat shalat lainnya dihukumkan wajib. Dengan kata lain, meski ukuran kewajiban shalat itu hanya disebut sebagian, tetapi ukuran kewajiban itu bisa disebut wajib apabila yang wajib itu jumlahnya jauh lebih banyak.Kedua, jika seseorang melaksanakan lupa tentang jumlah ruku’ dan sujud atau rakaatnya, maka sebagai bentuk kehati-hatian ia memilih jumlah yang lebih sedikit untuk kesempurnaan shalatnya. Misalnya, jika seseorang shalat fardhu empat rakaat dan lupa bilangan rakaatnya antara tiga atau empat, maka hendaklah memilih yang tiga dan menambah satu rakaat lagi sehingga genaplah empat rakaat sampai shalatnya selesai. Prinsip ikhtiyat ini adalah mashlahat dalam ibadah.Ketiga, membuat batasan (sutrah) dalam barisan (shaf) shalat berjamaah antara laki-laki dengan perempuan. Batasan (sutrah) barisan laki-laki di depan barisan perempuan dibuat dengan tujuan mashlahat agar laki-laki yang sedang shalat tidak terganggu kekhusyuan dan keutamaan shalatnya karena melihat perempuan. Atas dasar itu, penempatan shaf laki-laki di depan shaf perempuan dalam shalat berjamaah merupakan ikhtiyat yang ditujukan untuk kemaslahatan.Keempat, hukum menyolatkan seseorang yang diragukan keislamannya. Ia menjelaskan bahwa setiap muslim punya kewajiban kepada si mati untuk meman-dikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan. Terlepas apakan si mati itu seorang muslim atau kafir, kewajiban memandikan, mengkafani dan menguburkan adalah kewajiban orang yang hidup kepada orang yang mati. Sedangkan larangan menshalatkan orang kafir sudah jelas dilarang di dalam nash. Terkecuali jika si mati itu tidak diketahui apakah dia seorang muslim atau bukan, maka kewajiban menshalatkan tetap dilaksanakan untuk tujuan memenuhi kewajiban menshalat orang yang mati. Adapun diterima atau tidaknya shalat kepada si mati sangat tergantung kepada niatnya itu sendiri. Namun aspek yang terpenting di sini adalah prinsip ikhtiyat menshalatkan orang yang mati lebih dari sekedar kewajiban bagi orang yang hidup, tetapi juga untuk kemashlahatan.Kelima, hukum melaksanakan zakat dua kali. Menurut ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam berzakat dua kali atau lebih bukan berarti membatalkan zakat yang pertama, tetapi untuk mencapai kesempurnaan dalam berzakat. Misalnya, jika seseorang mengeluar-kan zakat maal dari harta berharga atau binatang piaraan sejenis kambing dan domba, maka zakatnya adalah untuk tujuan melaksanakan kewajiban zakat. Hal ini didasarkan kepada prinsip ikhtiyat dalam muamalah bahwa mensucikan harta benada dengan membayar zakat, maka hukumnya adalah wajib, maka wajib pula mengeluarkan zakat atas semua harta benda.Keenam, hukum meragukan kesempurnaan manasik haji sebelum thawaf. Manasik haji akan dikatakan sempurna apabila telah terpenuhi semua syarat dan rukun haji mulai dari ihram, wukuf, thawaf, sa’i dan tahalul. Prinsip ikhtiyat digunakan oleh ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam dalam kasus ini dengan cara menetapkan sesuatu yang yakin daripada yang ragu atas dasar kaidah “sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan oleh sesuatu yang meragukan” (al-yakinu la yuzalu bi al-syak).Ketujuh, hukum menentukan masa iddah bagi seorang perempuan. Sama halnya dengan poin yang keenam bahwa prinsip ikhtiyat digunakan oleh Izuddin bin Abd Salam dengan cara menetapkan sesuatu yang yakin daripada yang ragu atas dasar kaidah “sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan oleh sesuatu yang meragukan” (al-yakinu la yuzalu bi al-syak). Maka masa iddah dapat dihitung dua kali pada batas akhir haidnya seorang peresmpuan (lebih kurang dalam fikih disebutkan selama 2 bulan 10 hari).Kedelapan, hukum mengetahui kematian seseorang. Keyakinan seseorang telah mati bisa diketahui salah satunya dengan penglihatan dan kebisaaan. Keduanya bisa diukur dengan akal sehat maupun panca indera. Dengan kata lain, akal dan panca indera dapat dijadikan alat untuk mengetahui kematian seseorang.Kesembilan, hukum bersuci (mandi) sebelum melaksanakan shalat. ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam menjelaskan bahwa syarat sahnya shalat adalah suci. Maka untuk memenuhi keabsahan shalat seseorang disunatkan mandi, tetapi tidak berarti setiap orang harus melaksanakan mandi sebelum shalat. Karena kesahan shalat tidak hanya diukur melalui sucinya seseorang dari hadats, melainkan pula dari terpenuhinya semua syarat dan rukun shalat. Sedangkan kewajiban atau sunat mandi adalah untuk kehati-hatian dalam beribadah shalat di mana seseorang yang hendak shalat seharusnya dalam keadaan suci.Kesepuluh, hukum mandi wajib sebelum shalat. Sama halnya dengan poin ke sembilan, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam telah menjelaskan bahwa syarat sahnya shalat adalah suci. Maka untuk memenuhi keabsahan shalat seseorang disunatkan mandi wajib, tetapi tidak berarti setiap orang harus melaksanakan mandi wajib sebelum shalat. Karena kesahan shalat tidak hanya diukur melalui sucinya seseorang dari hadats kecil dan besar, tetapi juga dari terpenuhinya semua syarat dan rukun shalat. Sedangkan mandi wajib ditujukan untuk orang yang berhadats besar dan kehati-hatian dalam beribadah shalat, di mana seseorang yang hendak shalat seharusnya dalam keadaan suci.Kesebelas, hukum mandi wajib sebelum puasa. Sama halnya dengan poin ke sembilan dan kesepuluh, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam menjelaskan bahwa syarat sahnya puasa adalah suci. Maka untuk memenuhi keabsahan puasa seseorang disunatkan mandi wajib, tetapi tidak berarti setiap orang harus melaksanakan mandi wajib sebelum puasa. Karena kesahan puasa tidak hanya diukur melalui sucinya seseorang dari hadats kecil dan besar, tetapi yang terpenting adalah terpenuhinya semua syarat dan rukun puasa. Sedangkan mandi wajib ditujukan untuk mensucikan diri dan kehati-hatian bersiap-siap melaksanakan ibadah puasa baik puasa wajib maupun puasa sunat, di mana seseorang yang akan melaksanakan puasa hendaknya dalam keadaan suci baik lahir maupun bathin.Selain menetapkan syarat kemaslahatan, ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam juga telah memberikan beberapa contoh penggunaan ikhtiyat sebagai persyaratan dan mempertimbangkan meniadakan kemafsadatan, antara lain:[12]Pertama, hukum bersuci dengan air yang sudah tercampur najis sebaiknya dihindari, karena ia dapat menimbulkan keragu-raguan akan kesucian air tersebut. Tentu saja yang dimaksud adalah mengambil air baru yang lebih suci lebih utama daripada menggunakan air yang diduga sudah tercampur najis;Kedua, hukum menikahi wanita yang diduga masih satu muhrim (terikat hubungan darah-keluarga) sebaiknya dihindari untuk tujuan kehati-hatian. Di dalam nash tegas diatur bahwa haram hukumnya menikahi perempuan yang sedarah dan sesusu. Ada kemungkinan pernikahan dengan wanita yang satu muhrim terpengaruh oleh hubungan sedarah dan sesusu. Alangkah lebih baik jika menikahi perempuan yang bukan muhrim;Ketiga, menemukan uang yang diduga halal padahal dalam kenyataannya dekat kepada haram, sebaiknya tidak diambil karena lebih besar mafsadatnya daripada mashlahatnya. Prinsip ini didasarkan kepada keraguan atas keabsahan pemilik uang yang ditemukan tersebut. Uang temuan sebaiknya tidak digunakan sebagai alat tukar karena ia termasuk barang yang syubhat;Keempat, apabila menemukan barang/benda berharga yang tidak jelas pemiliknya di tanah orang lain, hendaknya tidak diambil disebabkan ada dugaan bahwa barang/benda berharga itu milik si pemilik tanah. Apapun benda berharga yang terdapat di tanah orang lain sangat mungkin merupakan milik orang lain. Karenanya mengambil barang berharga di tanah milik orang lain harus dihindari;Kelima, hukum pernikahan sejenis (perempuan dengan perempuan dan laki-laki dengan laki-laki) dilarang bukan karena alasan sebab dan syarat nikah, tetapi bertentangan dengan nash dan kebisaaan yang lazim. Dengan kata lain, apa-apa yang menyimpang dari kemauan nash dan adat berarti juga terlarang secara syari’at maupun adat;Keenam, hukum mengubah jenis kelamin laki-laki atau perempuan pada diri seseorang dilarang karena bertentangan dengan nash dan kebisaaan. Dengan kata lain, apa-apa yang dipandang merubah ketentuan yang sudah diatur di dalam nash, berarti juga terlarang untuk melakukannya;Ketujuh, hukum berlomba mengadu burung dilarang karena lebih besar mafsadatnya (judi) dari pada mashlahatnya. Judi merupakan perbuatan tercela dalam kehidupan dunia. Artinya, apa-apa yang dilarang menurut nash karena besar madharatnya, berarti juga terlarang secara syari’at karena tidak lebih besar mashlahatnya;Kedelapan, hukum shalat dalam keadaan haid terlarang karena alasan seseorang yang hendak shalat seharusnya dalam keadaan suci. Sama dengan di poin tujuh bahwa apa-apa yang sudah tegas dilarang menurut nash karena besar madharatnya, berarti juga terlarang secara syari’at karena tidak lebih besar mashlahatnya;Kesembilan, hukum seseorang berperilaku menyerupai laki-laki dan perempuan terlarang karena dapat berakibat kepada perubahan dari perilaku dan kepribadian yang sebenarnya. Yang dimaksud adalah apa-apa yang telah dilarang menurut nash karena besar madharatnya, berarti juga terlarang secara syari’at karena tidak lebih besar mashlahatnya.Kesepuluh, hukum larangan menikah dari orang tua kepada anaknya. Pernyataan larangan nikah dari orang tua kepada anaknya sebaiknya dihindari untuk tujuan meniadakan unsur paksaan harus menikah atau larangan nikah. Larangan nikah dibolehkan untuk menghindari zina antara dua orang yang sudah memasuki usia dewasa. Tetapi larangan nikah bisa berakibat buruk bagi kepribadian seorang anak perempuan dari kesempatan mendapatkan calon suami yang diinginkan oleh dirinya; danKesebelas, hukum bersaksi dalam pembagian waris. Di sini ada dua pandangan: (a) dibolehkan bersaksi dalam bagian waris untuk tujuan adanya pihak ketiga yang menjadi saksi; (b) bersaksi cukup dari suami kepada istrinya atau sebaliknya. Namun saksi hanya dibolehkan jika benar-benar diperlukan, karena bagian waris dalam Islam sudah diatur jelas di dalam nash. Selebihnya saksi hukum boleh jadi diperlukan dalam upaya penyelesaian kasus-kasus sengketa waris.Berdasarkan uraian tersebut, peneliti dapat merumuskan bahwa metode mashlahat yang dikembangkan oleh ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam sangat mempertimbangkan penggunaan prinsip kehati-hatian dan keseimbangan antara pengertian, sumber, prinsip, asas dan kaidah hukum Islam berikut pula tujuan-tujuan hukumnya secara seimbang. Keseimbangan yang dimaksud di sini adalah kemaslahatan itu tidak semata-mata mengikuti kemauan nash, tetapi juga harus mempertimbangan akal dan kenyataan. Sehingga setiap bentuk produk hukum akan tercapai tujuan pemberlakuannya bukan hanya karena alasan melaksanakan syari’at, tetapi juga karena adanya tuntutan dari realitas kehidupan manusia itu sendiri.[1] ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz I, ( Beirut: Dar al-Muasasah, 660 H), hlm. 5-6.[2] Ibid. hlm. 12-15.[3] Ibid, hlm. 12-15.[4] Abu Hassan al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Beirut: Dar al-Maktabah al-Arabiyah, t.th), hlm. 131-135.[5] Ibnu Taimiyah, Siyasah al-Syar’iyyah fi al-Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyat (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyyat, 1966)[6] ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz I,..op. cit., hlm. 20-21.[7] ‘Izzu al-Din bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz II, ( Beirut: Dar al-Muasasah, 660 H), hlm. 189-204.[8] Ibid.[9] Ibid.[10] Lihat penjelasan Izuddin bin Abd Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam ( Beirut: Dar al-Muasasah, 660 H), paragraf 2 halaman 200.[11] Ibid. hlm. 200-202.[12] Ibid, hlm. 202-204.Muhammad Syamsudin | 26 Jun 2017 pukul3:41 pm | Kategori: KISWAH | URL: http://wp.me/p7197d-rKKomentar Lihat semua komentar SukaBerhenti berlangganan dari agar tidak lagi menerima pos dari ASWAJA MUDA BAWEAN.Ubah pengaturan email Anda di Kelola Langganan.Sulit mengeklik? Salin dan rekatkan URL ini ke peramban Anda: https://aswajamudabawean.wordpress.com/2017/06/26/maslahah-dan-ruang-lingkupnya/Terima kasih telah mengudara bersama WordPress.com
Kamis, 01 Juni 2017
BIDAHNYA DZUL-KHUWAISHIRAH
Pos : Bid’ahnya Dzul KhuwaishirahURL : https://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/06/01/bidahnya-dzul-khuwaishirah/Ditulis : 1 Juni 2017 pukul 10:09 pmPenulis : mutiarazuhudTag : bulan Ramadhan, ghairu mahdhah, halal bil halal, hari raya, idul fitri, Kebiasaan, Lebaran, mengakhiri, mengawali, saling memaafkan, sebelum RamadhanKategori : Islam, Umumhttps://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2017/06/bidah-dzul-khuwaishirah.png&h=392Bid’ahnya orang-orang seperti Dzul KhuwaishirahApakah bid’ah dalam urusan agama yang dilakukan oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim sehingga mereka kelak diusir dari Telaga Rasululah ?Selain dosa besar mereka menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka, dosa besar orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah mereka tidak menepati janjinya “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya” yakni mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’aa dan RasulNya dan mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/05/29/sahabat-yang-diusir/Rasulullah telah bersabda bahwa kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah melarang atau mengharamkan hanya karena pertanyaan saja bukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.Rasulullah bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)Mereka yang merasa atau mengaku mengikuti Salaf atau mengikuti pemahaman para Sahabat namun kenyataannya mereka mengikuti salafnya adalah mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed bani Tamim.Contohnya mereka yang melarang kebiasaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan dengan saling memafkan atau bahkan ada pula yang melarang kebiasaan pulang mudik ketika hari Raya karena menurut mereka perkara tersebut tidak pernah dicontohkan atau dilakukan oleh Rasulullah.Para ulama mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/Oleh karenanya kebiasaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan dengan kebiasaan saling memafkan hukum asalnya adalah mubah (boleh).Dengan puasa di bulan Ramadhan kita berupaya meraih ampunan dari Allah Ta’ala maka tidak ada masalah kita mengawali dan mengakhiri bulan ramadhan dengan saling memaafkan sesama manusia sebagai wujud hablumminnannasRasulullah bersabda, , “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’,Memang minta maaf dilakukan ketika melakukan kesalahan namun ada kesalahan yang dilakukan tidak dzahir atau bathin seperti bergunjing atau perbuatan hati seperti berprasangka buruk dan lain-lain yang tidak disengaja.Kesalahan antar manusia dapat menghambat seseorang mengakhiri kehidupannya seperti kisah seorang anak yang wafat setelah dimaafkan oleh ibundanyaOleh karenanya setelah jenazah disholatkan dianjurkan permintaan maaf kepada para hadirin dan teman keseharian atas kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan mayit.Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” menyampaikan Asy-Syaikh Abdul Ghaffar Al-Qushi berkata dalam kitabnya, Al-Wahid, “Syaikh Abdul ‘Aziz pernah bercerita bahwa di Damaskus terdapat seorang lelaki yang berjanji ingin melaknat Ibnu ‘Arabi setiap hari selepas Shalat Ashar sebanyak sepuluh kali. Setelah itu ia meninggal dunia. Ibnu ‘Arabi datang bersama kerumunan manusia untuk menjenguk jenazahnya, lalu pulang dan duduk di rumah salah seorang sahabatnya. Beliau lalu menghadap kiblat. Ketika waktu makan siang tiba, makanan dihidangkan untuk beliau, tapi beliau tak mau makan. Beliau masih terus berada dalam keadaan seperti itu dan melakukan shalat, hingga waktu makan malam tiba. Setelah itu beliau menoleh dengan wajah gembira, lalu meminta makanan itu. Ketika ditanya tentang yang baru saja diperbuat, beliau menjawab, “Aku berjanji kepada Allah untuk tidak makan dan tidak minum sampai Dia mau mengampuni dosa-dosa lelaki yang dulu melaknatku ini. Aku terus-menerus seperti itu sambil membaca kalimat La Ilaha Illallah sebanyak tujuh puluh ribu kali. Akhirnya aku melihat lelaki itu, ia telah diampuni dosanya.”Para Imam Mujtahid telah mengingatkan jangan sampai salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya karena hal itu termasuk perbuatan menyekutukan AllahFirman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)Bahkan Adz Dzahabi murid Ibnu Taimiyyah sendiri dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.Jadi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah pelaku bid’ah dalam urusan agama yakni menganggap baik sesuatu sehinga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNyaRasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) yang berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusiaDari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)Rasulullah shallallau alaihi wasallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)Firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah dalam urusan agama..Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNyaFirman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNyaPara Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur3. Melarang dirinya untuk menikahNamun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”Begitupula pada masa sekarang bermunculan orang-orang yang gagal paham tentang bid’ah akibat salah memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.Ada pula mereka yang melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta'ala dan RasulNya berbekal hadits yang terbukukan dan shahih saja.Hal yang perlu kita ingat, tidak semua hadits-hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits, seperti hadits-hadits terkait amal kebaikan yang disampaikan secara turun temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) yakni amalan yang dipraktikan dan diwariskan secara turun temurun sejak zaman Nabi sampai sekarang atau hadits-hadits terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni hadits-hadits yang harus disampaikan secara langsung melalui lisan dalam bentuk bimbingan karena kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya.Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah ilmu seperti “Hai’atil Maknun”Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan ilmu yang tidak dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia sebagai “Haiatul Maknun” artinya “perhiasan yang sangat indah” yang diterima oleh para ulama AllahDari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-SalamBegitupula suatu hadits dianggap dhaif atau bahkan maudhu oleh seorang ahli hadits sangat dipengaruhi oleh jumlah hadits yang diketahui dan dihafalnyaSebagai contoh, Hadits :“ Jika telinga seorang dari kalian berdenging, maka sebutlah aku dan bersholawatlah atasku serta ucapkan, Semoga Allah menyebutkanya dengan kebaikan bagi orang yang menyebutku “. (HR. Ath-Thabrani)Hadits ini disebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddin oleh al-Ghazali. Hadits ini dinilai palsu oleh Ibnul Jauzi dan al-Albani karena ada perawi bernama Muhamamd bin Ubaidillah bin Abu Rafi’ Al-Hasyimi Al-Kufi yang dinilai Munkarul hadits oleh sebagian ulama jarh. Namun jumhur ulama hadits menilainya dhaif. Asy-Syakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah menilainya dhaif. Al-Iraqi juga menilai sanadnya dhaif. Al-Ijluni juga menilainya dhaif dan ulama hadits lainnya. Bahkan az-Zabidi sendiri memiliki pandangan berbeda yang menguatkan hadits tersebut, ia berkomentar :“ Akan tetapi al-Haitsami mengatakan, “ Isnad ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabirnya bernilai hasan “. Ini membatalkan hujjah orang yang menilai hadits ini dhaif apalagi menilainya palsu seperti Ibnul Jauzi dan al-‘Uqaili. Al-Munawi menukil dalam syarh Jami’nya bahwasanya hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya dengan lafadz tersebut dari Abi Rafi’, sedangkan beliau (Ibnu Khuzaimah) termasuk orang yang valid di dalam mentakhrij hadits, maka ketahuilah itu “.Ini artinya az-Zabidi memiliki penilaian berbeda terhadap riwayat hadits tersebut, di mana al-Iraqi dan ulama lainnya menilainya dhaif dan Ibnul Jauzi menilainya palsu, namun az-Zabidi menilainya hasan dengan bersandar pada hujjah al-Haitsami.Begitupula tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan (menghilangkan) keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhaif sebagai hadits yang palsu karena ketidak tahuan maka berarti mendustakan ucapan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan hukumnya kufur.Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi mengatakan dalam al Ilal al Mutanahiyah, “Dalam sanadnya terdapat banyak perawi yang tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk dihukumi palsu. (al Ilal al Mutanahiyah, 2/65)Begitupula Ibn Hajar, Tabyin al-‘ajab, hlm. 29; al-Suyuti, al-Jami’ al-saghir, jil. 1, hlm. 312 tidak menghukumi hadits dhaif karena perawi tidak dikenal sebagai hadits palsu.Jadi Al-Imam al-Hafizh sekelas mereka tidaklah berani menghukumi hadits dhaif (lemah) karena perawi tidak dikenal sebagai hadits palsu.Hadits palsu sudah pasti bukan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. sedangkan hadits dhaif karena perawi tidak dikenal belum tentu bukan berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.Begitupula kita temukan mereka yang melarang yang tidak dilarang oleh Allah Ta’ala dan RasulNya dengan perkataan manusia seperti, “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”Perkataan tersebut bukan firman Allah Ta’ala dan bukan sabda Rasulullah maupun bukan pula perkataan para Sahabat.Bahkan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firmanNya,“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormatQutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.Perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) namun perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’anBagi umat Islam, kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatanBid’ah bukan hukum dalam Islam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/14/bidah-bukan-hukum-islam/Penjelasan dalam bentuk video tentang bid’ah bukan hukum dalam Islam dapat disaksikan pada http://www.youtube.com/watch?v=ft_lPw-gRXgHukum dalam Islam yang membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan adalah hukum taklifi yang lima yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram sebagaimana yang telah disampaikan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/06/24/bidah-dan-hukum-taklifi/Imam Syafi’i berkata bahwa perkara baru (bid’ah atau muhdats) atau perkara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)Pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 (selengkapnya padahttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf) menjelaskan****** awal kutipan *******Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.Beliau berkata: “Bid‟ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Bid‟ah tersebut adakalanya):1. Bid‟ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.2. Bid‟ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.3. Bid‟ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.4. Bid‟ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.5. Bid‟ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid‟ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid‟ah.Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid‟ah.****** akhir kutipan *****Di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari bahwa Imam Ibnu Abdis Salam mencontohkan bid’ah hasanah dan hukumnya wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebagai syarat dasar untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah.Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholatDalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubahHal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama mazhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan (Firqah) Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.Ibadah ada dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhahPrinsip ibadah mahdhah diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariatPrinsip ibadah mahdhah adalah harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah perkara terlarang.Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.Ibadah mahdhah bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.Sedangkan prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena AllahIbadah ghairu mahdhah bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah ada yang dicontohkan oleh Rasulullah namun tidak harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkanDalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.Jadi perkara baru (BID’AH atau MUHDATS) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat, tanyakan dalil laranganNya karena Tuhan tidak lupa.Salah seorang menyampaikan pendapatnya bahwa kalau pegangannya adalah tidak dilarang oleh Allah dan RasulNya maka boleh sholat Subuh sepuluh raka’at.Sholat Subuh adalah termasuk IBADAH MAHDHAH. Perkara baru (BID’AH atau muhdats) dalam IBADAH MAHDHAH adalah terlarang sebagaimana yang telah disampaikan di atas.Terlarang sholat subuh sepuluh rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqihاَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.BID’AH (perkara baru) dalam IBADAH MAHDHAH disebut juga BID’AH dalam ISLAM atau BID’AH dalam URUSAN AGAMAImam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam ISLAM yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”Berikut contoh riwayat yang menjelaskan tentang BID’AH dalam ISLAM atau BID’AH dalam URUSAN AGAMA.Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”Jadi yang dimaksud oleh Imam Malik dengan perkataannya “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam ISLAM” atau BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH adalah mereka yang menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mereka yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNyaContoh pertama BID’AH dalam IBADAH GHAIRU MAHDHAH, seseorang membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1 Juz tidak akan masuk neraka karena tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya.Kebiasaannya membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1 Juz adalah SUNNAH HASANAH (bid’ah hasanah) atau contoh (teladan) atau perkara baru (muhdats atau bid’ah) atau kebiasaan baru yang baik yakni contoh atau kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Sedangkan kegiatan membaca Al Qur’an 1 Juz hukumnya sunnah (mandub), berpahala.Contoh kedua, mereka ada yang mempunyai kebiasaan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya adalah mubah (boleh) sehingga tidak akan masuk neraka karena mereka tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya.Namun hukum asal berubah dari mubah menjadi haram kalau dalam daurah atau taklim mereka gemar mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.Kebiasaan membiasakan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya mubah (boleh) sedangkan kebiasaan gemar mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka hukumnya haram, berdosaHukum asal perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, adat atau budaya adalah mubah (boleh) selama tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.Contoh pertama, hukum asalnya dari mubah (boleh) menjadi sunnah (mandub) berpahala sedangkan contoh kedua, hukum asalnya dari mubah (boleh) menjadi haram, berdosa.Dasar hukum yang membolehkan mengkhususkan waktuAl-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik walaupun sedikit secara rutin, konsisten atau istiqomah.Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.Oleh karenanya ketika kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh).Namun karena tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala atau sunnah (mandub)Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasailSholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.Pada hakikatnya, Rasulullah pun memperingati hari kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa hari Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya.Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa hari Senin dan KamisDari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalahHari dilahirkan RasulullahHari diangkat menjadi RasulullahHari diturunkan Al Qur’anHari dilaporkannya amal para hamba AllahAlasan puasa Kamis adalah hari dilaporkannya amal para hamba AllahJadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As SunnahPeringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-QasthalaniyPeringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelakAllah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Q
WALISONGO PEREKAT PERSAUDARAAN ISLAM DAN PERSATUAN NASIONAL
Tanggapi pos ini dengan menuliskannya di atas garis ini
Pos baru pada Aswaja Muda Bawean
Manhaj Beragama ala Walisongo Perekat Persaudaraan Islam dan Persatuan Nasional 2
oleh Muhammad Syamsudin
KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL KEBANGSAAN
Manhaj Beragama ala Walisongo
Perekat Persaudaraan Islam dan Persatuan Nasional
PWNU Jawa Timur dan Masjid Agung Sunan Ampel, 11 Mei 2017 M/14 Sya’ban 1438 H
D. Toleransi Terhadap Perbedaan Cabang-Cabang Agama (Furu’uddin)
Sejauh mana perbedaan dalam persoalan cabang-cabang agama (furu’uddin) dan thariqah dapat ditoleransi ?
Perbedaan dalam persoalan cabang-cabang agama (furu’uddin) dan thariqah dapat ditoleransi ke-mu’tabar-annya dalam pengertian dapat diterima perbedaanya dan tidak boleh saling menyalahkan, apabila masih dapat dicakup oleh ukuran syara’ (mizan as-syar’i). Jadi untuk memvonis suatu ajaran, amaliah dan thariqah telah menyimpang atau tidak, harus diukur dengan menggunakan ukuran syari’at. Karena itu, perbedaan dalam hal-hal yang tidak sampai menyimpang dari mizan as-Syar’i, apalagi semisal hanya beda redaksi wirid karena beda sanad/guru, seharusnya tetap di terima dan dihargai sebagai wujud akhlak karimah. Adapun bila perbedaan yang mestinya bisa diterima ternyata berdampak timbulnnya kemungkaran atau perpecahan, maka harus dilakukan upaya-upaya pencegahan agar persaudaraan Islam tetap terjaga dengan baik dan utuh tanpa saling menyalahkan substansi perbedaanya.
قالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: «اخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ» )جامع المسانيد والمرسيل للسيوطي جز 1 ص 124 )
Nabi SAW bersabda, perbedaan di antara umatku adalah rahmat.
عن ابن عبّاس مرفوعاً: «اخْتِلاَفُ أَصْحَابِـي رَحْمَةٌ لَكُمْ». )الدرر المنتثرة للسيوطي جز 1 ص 69)
Diriwayatkan dari Ibni Abbas hadits marfu’, perbedaan para sahabatku adalah rahmu bagi kalian.
وأما الاختلاف في الفروع فرحمة اذ لولا اختلاف العلماء في بعض المسائل لبقيت علي اجتهاد واحد وهوما اتفقوا عليه وكان العمل بقول وحكم واحد وفي ذلك حرج عظيم ومشقة زائدة (انارة الدجي ص 35 )
Adapun perselisihan dalam persoalan furu’ (cabang agama) adalah rahmat, sebab andaikata tidak terjadi perbedaan ulama’ dalam sebagian persoalan, niscaya persoalan akan tetap (mandeg) pada satu ijtihad, yaitu hukum yang telah mendapat kesepakatan, dan pengamalan harus menggunakan satu pendapat hukum, padahal hal demikian itu mengandung kesulitan yang besar dan beban berat yang selalu bertambah.
عن عمر ابن عبد العزيز قال ماسرني لو ان اصحاب محمد لم يختلفوا لأنهم لولم يختلفوا لم تكن رخصة (انارة الدجي ص 35)
Dari Umar bin Abdil Aziz ia berkata, tidak menggembirakan diriku kalau para sahabat Muhammad itu tidak berselisih, karena kalau mereka tidak berselisih tidak terdapat rukhshah (keringanan).
غاية الوصول بشرح لب الأصول ص 164
وإذا خطر لك شيء فزنه بالشرع فإن كان مأمورا فبادر فإنه من الرحمن فإن خفت وقوعه على صفة منهية بلا قصد لها فلا عليك
إيقاظ الهمم – (1 / 91)
قال الجنيد رضي الله عنه الطرق كلها مسدودة إلا على من اقتفى أثر الرسول صلى الله عليه وسلم
الفوائد الجنية حاشية المواهب السنية ص: 579-580
القاعدة الخامسة والثلاثون: لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه
مرقاة صعود التصديق بشرح سلم التوفيق ص : 60 – 61 (طه فوترا)
(وقال سيدنا عبدالله ابن علوى الحداد – رضي الله عنه – ونفعنا به فى كتابه النصائح الدينية) والدعوة التامة (ما معناه) -إلى أن قال- (وهذه أوصاف يجب أن يتحلى) أى يتزين (بها) أى بالأوصاف ويتصف بها (كل مؤمن وهى) أى الأوصاف (قوله) أى قوله – رضي الله عنه – (قبل هذا) الكلام (بقليل) أى بكلام يسير (أن يكون خاشعا) أى متواضعا لله بقلبه وجوارحه -إلى أن قال- (آمرا بالمعروف) الشامل للإيمان وقول الحق ومكارم الأخلاق وصلة الرحم (ناهيا عن المنكر) بحسب قدرته مع الأمن على نفسه أو ماله وأعلى ذلك إزالته باليد وأوسطه باللسان حيث عجز عن الأول وأضعفه بالقلب حيث عجز عنهما وذلك إذا كان المنكر مجمعا عليه أو اعتقد الفاعل تحريمه أفاد ذلك الرملى
تفسير الثعالبي – (ج 3 / ص 255)
قال ابْنُ عَطَاءَ اللّه في «التنوير» : قال الشيخ أبو الحسنِ الشاذليُّ رحمه اللّه تعالى : أَكْرِمِ المؤمنين؛ وإن كانوا عصاةً فاسقينَ ، وَأَمُرْهُمْ بالمعروف ، وانههم عن المنكر ، واهجرهم رحمة بهم؛ لا تعزُّزاً عليهم
بداية الهداية – (1 / 22)
الخامسة: الصدق: فلا تصحب كذابا، فإنك منه على غرور، فإنه مثل السراب، يقرب منك البعيد، ويبعد منك القريب. ولعلك تعدم اجتماع هذه الخصال في سكان المدارس والمساجد، فعليك بأحد أمرين: إما العزلة والانفراد؛ ففيها سلامتك.. وإما أن تكون مخالطتك مع شركائك بقدر خصالهم، بأن تعلم أن الاخوة ثلاثة: أخ لآخرتك فلا تراع فيه إلا الدين، وأخ لدنياك فلا تراع فيه إلا الخلق الحسن، وأخ لتأنس به فلا تراع فيه إلا السلامة من شره وفتنته وخبثه.
مرقاة صعود التصديق في شرح سلم التوفيق ص61
وقد سئل حسن بصري مرة عن حسن الخلق المشار اليه بقوله صلى الله عيه وسلم وخالق الناس بخلق حسن، فقال: هو السخاء والعفو والاحتمال. وقد سئل أمير المؤ منين علي رضي الله عنه عن ذلك أيضا فقال: موافقة الناس في كل شيء ماعدا المعاصي. ذكر ذلك عبد الوهاب الشعراني في تنبيه المغترين انتهى
E. Manhaj Islam Aswaja An-Nahdliyyah Menyikapi Realitas Kebhinnekaan
Bagaimana manhaj Islam Aswaja an-Nahdliyyah menyikapi realitas ke-bhinneka-an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Realitas keberagaman manusia dalam agama, keyakinan, suku bangsa, bahasa, harta kekayaan dan lain sebagainya adalah merupakan sunatullah yang telah menjadi keniscayaan. Andaikan Allah hendak mempersatukan manusia dalam satu agama misalnya tentu sangat mampu, namun realitanya tidak demikian. Hal ini tujuannya agar manusia saling mengenal satu sama lain guna menciptakan persatuan yang kokoh dan harmonis, bukan mendorong agar mengedepankan sikap fanatisme yang mengarah pada perpecahan.
Memandang realitas ke-bhinneka-an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Manhaj Islam Aswaja an-Nahdliyyah menerapkan empat sikap, yaitu:[1]
Sikap akomodatif, dalam arti kesediaan menampung berbagai kepentingan, pendapat dan aspirasi dari berbagai pihak.
Sikap selektif, dalam arti adanya sikap cerdasdan kritis untuk memilih kepentigan yang terbaikdan yang ashlah serta anfa’ dari beberapa pilihan/alternatif yang ada.
Sikap integratif, dalam arti kesediaan menyelaraskan, menyerasikan dan menyeimbangkan berbagai kepentingan dan aspirasi tersebut, secara benar, adil dan proporsional.
Sikap kooperatif, dalam arti kesediaan untu hidup bersama dan bekerja sama dengan siapapun di dalam kegiatan yang bersifat mu’amalah, bukan yang bersifat ibadah.
مقدمة ابن خلدون جز 1 ص 37-38
أَنَّ أَحْوَالَ الْعَالَمِ وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ وَتِيرَةٍ وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ الْأَيَّامِ وَالْأَزْمِنَةِ، وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ. وَكَمَا يَكُونُ ذٰلِكَ فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ وَالْأَمْصَارِ، فَكَذٰلِكَ يَقَعُ فِي الْآفَاقِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالدُّوَلِ سُنَّةُ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ.
تفسير ابن كثير – (ج 7 / ص 385)
فجميع الناس في الشرف بالنسبة الطينية إلى آدم وحواء سواء، وإنما يتفاضلون بالأمور الدينية، وهي طاعة الله ومتابعة رسوله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى بعد النهي عن الغيبة واحتقار بعض الناس بعضًا، منبها على تساويهم في البشرية: { يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا } أي: ليحصل التعارف بينهم، وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (48)
فتح القدير – (ج 7 / ص 20)
الفائدة في التعارف أن ينتسب كل واحد منهم إلى نسبه ، ولا يعتري إلى غيره . والمقصود من هذا أن الله سبحانه خلقهم كذلك؛ لهذه الفائدة لا للتفاخر بأنسابهم ، ودعوى أن هذا الشعب أفضل من هذا الشعب ، وهذه القبيلة أكرم من هذه القبيلة ، وهذا البطن أشرف من هذا البطن . ثم علل سبحانه ما يدل عليه الكلام من النهي عن التفاخر ، فقال : { إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ الله أتقاكم } أي : إن التفاضل بينكم إنما هو بالتقوى ، فمن تلبس بها فهو المستحق؛ لأن يكون أكرم ممن لم يتلبس بها ، وأشرف وأفضل ، فدعوا ما أنتم فيه من التفاخر بالأنساب ، فإن ذلك لا يوجب كرماً ، ولا يثبت شرفاً ، ولا يقتضي فضلاً
تفسير ابن كثير – (ج 4 / ص 361)
{ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (119) }
يخبر تعالى أنه قادر على جعل الناس كُلِّهم أمة واحدة، من إيمان أو كفران (1) كما قال تعالى: { وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا } [يونس: 99] . وقوله: { وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ } أي: ولا يزال الخُلْفُ بين الناس في أديانهم واعتقادات مللهم ونحلهم ومذاهبهم وآرائهم. قال (2) عكرمة: { مُخْتَلِفِينَ } في الهدى (3) . وقال الحسن البصري: { مُخْتَلِفِينَ } في الرزق، يُسخّر بعضهم بعضا، والمشهورُ الصحيح الأول. وقوله: { إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ } أي: إلا المرحومين من أتباع الرسل، الذين تمسكوا بما أمروا به من الدين (4) . أخبرتهم به رسل الله إليهم، ولم يزل ذلك دأبهم، حتى كان النبي صلى الله عليه وسلم الأمي خاتم الرسل والأنبياء، فاتبعوه وصدقوه، ونصروه ووازروه، ففازوا بسعادة الدنيا والآخرة؛ لأنهم الفرقة الناجية، كما جاء في الحديث المروي في المسانيد والسنن، من طرق يشد بعضها بعضا
فتح القدير – (ج 3 / ص 497)
{ وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ الناس أُمَّةً وَاحِدَةً } أي : أهل دين واحد ، إما أهل ضلالة ، أو أهل هدى . وقيل : معناه : جعلهم مجتمعين على الحق غير مختلفين فيه ، أو مجتمعين على دين الإسلام دون سائر الأديان ، ولكنه لم يشأ ذلك فلم يكن ، ولهذا قال : { وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ } في ذات بينهم على أديان شتى ، أو لا يزالون مختلفين في الحق أو دين الإسلام . وقيل : مختلفين في الرزق : فهذا غنيّ ، وهذا فقير { إِلاَّ مَن رَّحِمَ رَبُّكَ } بالهداية إلى الدين الحق ، فإنهم لم يختلفوا ، أو إلا من رحم ربك من المختلفين في الحق أو دين الإسلام ، بهدايته إلى الصواب الذي هو حكم الله ، وهو الحق الذي لا حق غيره ، أو إلا من رحم ربك بالقناعة
أحلى المسامرة في حكاية الأولياء العشرة ص 23-24
ثم قال السيد رحمة أنه لم يوجد في هذه الجزيرة مسلم إلا أنا وأخي السيد رجا فنديتا وصاحبي أبو هريرة. فنحن أول مسلم في جريرة جاوه … فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا. وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم امتثالا لقوله تعالى: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ الآية (النحل: 125) وقوله تعالى: وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ (الحجر: 88)، وقوله تعالى: وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17).وهكذا ينبغي أن يكون أئمة المسلمين ومشايخهم على هذه الطريقة حتى يكون الناس يدخلون في دين الله أفواجا.
F. Manhaj Islam Aswaja an-Nahdliyyah Menyikapi Isu-isu Bernuansa SARA yang disinyalir Mengarah pada Pembubaran NKRI dan Pancasila
Bagaimana manhaj Islam Aswaja an-Nahdliyyah menyikapi isu-isu bernuansa SARA yang disinyalir terkandung agenda politik yang mengarah kepada pembubaran NKRI dan Pancasila?
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 (PBNU) adalah sudah menjadi konsesus bangsa Indonesia melalui para tokoh pendiri negara. Sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun di atas empat pilar bangsa telah terbukti dan teruji ketangguhannya bagi eksistensi negeri ini sampai sekarang dan semoga sampai hari kiamat. Sistem tersebut bukan ditemukan secara kebetulan, namun disarikan dari sirah Rasulullah Saw saat membangun negara dan mempersatukan bangsanya, sebagai strategi dakwah yang terbukti sangat efektif. Strategi dakwah demikian itulah yang secara substantif dipraktikan ulama’ khususnya Wali Songo dan generasi penerusnya hingga pada saatnya bangsa Indonesia harus merdeka terlepas dari penjajah asing. Para tokoh bangsa terutama ulamanya memilih sistem negara bangsa bukan negara agama.
Karena itu, provokasi dan gerakan apapun meski diatasnamakan jihad, namun disinyalir mengandung agenda politik yang mengarah pada pembubaran NKRI dan Pancasila merupakan tindakan makar (bughat) dan haram hukumnya. Karena jika dilakukan sudah pasti menimbulkan kekacauan dalam berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, bahkan bisa memicu perang saudara yang justru semakin menjauhkan dicita-citakan dakwah Islam.[2] Para pelakunya harus diperingatkan agar kembali pada persatuan nasional demi keutuhan NKRI dan kejayaan Pancasila sebagai dasar Negara. Sementara di sisi lain pemerintah harus melakukan upaya-upaya serius dalam menindaknya sesuai hukum yang berlaku.[3]
شرح النووي على مسلم ج 12 ص 229
ومعنى الحديث : لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ، ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا محققا تعلمونه من قواعد الإسلام ، فإذا رأيتم ذلك فأنكروه عليهم ، وقولوا بالحق حيث ما كنتم ، وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين ، وإن كانوا فسقة ظالمين .
الإمــامــة الــعــظــمـى عند اهل السنة والجماعة ، ص : 502، مــا نــصـــه :
ذَهَـــبَ غَــالِــبُ أهْـــلِ الــسُّــنـَّـةِ وَالــجَــمَــاعَــةِ إلَـَى أنـَّــهُ لا يَــجُــوزُ الــخُـــرُوجُ عَــلـَـى أئِــمَّــةِ الــظُّـلْــمِ وَالــجَــوْرِ بِــالــسَّــيْــفِ مَــا لـَـمْ يَـصِــلْ بِــهِــمْ ظُــلـْـمُــهُــمْ وَجَـــوْرُهـُـمْ إلـَى الـكـُـفْــرِ البـَـوَاحِ أوْ تـَـرْكِ الــصَّــلاةِ وَالــدَّعـْـــوَةِ إلـَـيــهَــا أوْ قِــيـَـادَةِ الأُمـَّـةِ بِــغـَـيْــرِ كِــتـَـابِ اللهِ تـَــعــالـَى كـَـمـَـا نـَـصَّــتْ عَــلَــيــهـَـا الأحَــادِيــثُ الــسَّــابِـــقـَـةُ فِــي أسْــبَــابِ الــعَـــزْلِ
التشريع الجنائ الاسلامى جز 2 ص :677 , ف : الشيخ عبد القادر عودة , ط : مؤسسة الرسالة
ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الاربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للامر بالمعروف والنهي عن المنكر لان الخروج على الامام يؤدي عادة الى ماهو انكر مما فيه وبهذا يمتنع النهي عن المنكر لان مشروطه لايؤدي الانكار الى ماهو انكر من ذلك الى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام
Bagian 1: Manhaj Beragama ala Walisongo Perekat Persaudaraan Islam dan Persatuan Nasional (Bag 1 )
Download File: Keputusan Bahtsul Masail Kebangsaan (Manhaj Beragama ala Walisongo Perekat Persaudaraan Islam dan Persatuan Nasional)
Ditetapkan di:
Surabaya
Tanggal: 1
1 Mei 2017 M/14 Sya’ban 1438 H
Musahhih:
KH. Abdul Matin Jauhari, KH. Ali Mas’adi, dan KH. Romadlon Khotib
Perumus:
KH. Ahmad Asyhar Shofwan M.Pd.I, KH. Atholillah Anwar, KH. Azizi Hasbullah, KH. MB. Firjhaun Barlaman, KH. Mujab Masyhudi, Ph.D., KH. Achmad Shampton Masduqie
Moderator:
Ahmad Muntaha AM
Notulen:
Ust. M. Lukmanul Hakim dan Ust. M. Ma’ruf Khozin
[1] Keputusan Muktamar NU Ke-29 di Cipasung Tasikmalaya 4 Desember 1994, tentang Pandangan dan Tanggungjawab NU terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Baca Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, (Surabaya: Khalista, 2011), 756.
[2] Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim tahun 2006 di Al-Hikam Malang, tentang Jihad dalam Kehidupan Bernegara dan Bermasyarakat. Baca PW LBM NU Jawa Timur, NU Menjawab Problemaika Umat, 630
[3] Keputusan Muktamar NU Ke-29 di Cipasung Tasikmalaya 4 Desember 1994, tentang Pandangan dan Tanggungjawab NU terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Baca Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha, (Surabaya: Khalista, 2011), 757.
By Maulana| May 29th, 2017|Categories: Kebangsaan|Tags: Aswaja, Bahtsul Masail, Indonesia, Islam Nusantara|0 Comments
Share This Story, Choose Your Platform!
FacebookTwitterLinkedinRedditGoogle+PinterestVk
About the Author: Maulana
Related Posts
Manhaj Beragama ala Walisongo Perekat Persaudaraan Islam dan Persatuan Nasional
Gallery
Manhaj Beragama ala Walisongo Perekat Persaudaraan Islam dan Persatuan Nasional
May 29th, 2017 | 0 Comments
Download: File Keputusan Bahtsul Masail Kebangsaan Manhaj Beragama ala Walisongo
Gallery
Download: File Keputusan Bahtsul Masail Kebangsaan Manhaj Beragama ala Walisongo
May 29th, 2017 | 0 Comments
Press Rilis Seminar dan Bahtsul Masail Kebangsaan
Gallery
Press Rilis Seminar dan Bahtsul Masail Kebangsaan
May 11th, 2017 | 0 Comments
Santri Garuda
Gallery
Santri Garuda
May 4th, 2017 | 0 Comments
Tafsir Ayat-Ayat ‘Tegas’ Terhadap Non Muslim Dalam Konteks Keindonesiaan
Gallery
Tafsir Ayat-Ayat ‘Tegas’ Terhadap Non Muslim Dalam Konteks Keindonesiaan
May 1st, 2017 | 0 Comments
Leave A Comment
Comment
Notify me of follow-up comments by email.
Notify me of new posts by email.
Banyak Dibaca
Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim
...
